Ubah Naskah Drama Radio Jadi Novel Best Seller

Rabu, 16 Juli 2014 – 07:37 WIB
BUAH KETEKUNAN: Langit Kresna Hariadi di ruang kerjanya di perpustakaan Penerbit Tiga Serangkai, Solo. Foto: Bayu Putra/Jawa Pos

jpnn.com - GAJAH MADA menjadi buah bibir sebagian penikmat sastra Indonesia beberapa tahun belakangan. Kisah mahapatih Kerajaan Majapahit yang terkenal dengan Sumpah Palapa-nya itu banyak diburu sejak ditampilkan dalam sebuah novel. Begitu pula sejarah kejayaan Majapahit yang jadi menarik setelah dinovelkan.

Kemunculan novel yang terdiri atas lima seri itu tidak lepas dari peran Langit Kresna Hariadi. Dialah yang memopulerkan kembali ketokohan Gajah Mada serta sejarah Majapahit yang selama ini hanya beredar di buku-buku sejarah siswa sekolah dasar dan menengah. Karyanya mendapat apresiasi dari para penikmat sastra.

BACA JUGA: Kisah dr Irina Amongpradja: Dari Dokter Kini Ajari Anak-anak Pemulung

Ditemui di kantor Penerbit Tiga Serangkai Solo, Jawa Tengah, kemarin (15/7), pria 55 tahun tersebut menyambut Jawa Pos dengan ramah. Ruang kerja Langit, begitu pria asli Banyuwangi itu disapa, bukanlah ruangan tertutup yang privat.

Ruang kerja Langit di lantai 3 kantor penerbit buku-buku lawas tersebut sebenarnya adalah perpustakaan. Meski berada di antara tumpukan buku di sana-sini, Langit merasa nyaman bekerja di ruangan yang tidak begitu besar itu.

BACA JUGA: Terinspirasi Anak Kandung yang Jualan di Sekolah

Di meja kerja Langit bertumpuk buku karyanya yang menjadi best seller di toko-toko buku. Misalnya, Gajah Mada, Menak Jinggo, atau kisah Ken Arok.

’’Ini sedang saya siapkan yang edisi bahasa Inggris,’’ tutur Langit seraya meraih tumpukan kertas berisi naskah novel Gajah Mada dalam bahasa Inggris edisi pertama.

BACA JUGA: Produknya Tembus Pentagon dan Gedung Putih

Tidak bisa dimungkiri, novel-novel itulah yang melambungkan namanya di jajaran penulis sastra Indonesia saat ini. Meskipun, Gajah Mada bukanlah karya pertamanya. Sebelum menulis novel berlatar sejarah, Langit menghasilkan sejumlah karya sastra lain. Di antaranya, novel Balada Gimpul, Kiamat Para Dukun, dan Kiamat Dukun Santet.

Novel Gajah Mada, bagi Langit, adalah ’’kecelakaan’’ yang membawa berkah. Judul asli novel tersebut bukanlah Gajah Mada, melainkan Duaja Bhayangkara. ’’Duaja Bhayangkara saya buat atas pesanan sebuah perusahaan dalam bentuk naskah drama radio,’’ cerita dia.

Kala itu, 2005, Langit juga dikenal sebagai penulis naskah drama radio. Tapi, naskah drama Duaja tersebut mendadak urung digunakan. Langit akhirnya mengubahnya menjadi novel dengan judul yang sama.

Dia lalu menawarkannya ke sejumlah penerbit. Namun, tidak ada yang bersedia menerbitkan. Langit yang telanjur putus asa kemudian mendatangi Penerbit Tiga Serangkai di Solo.

Di luar dugaan, novel tersebut disambut positif. Tiga Serangkai bersedia menerbitkan. ’’Saya jual putus Rp 5 juta. Bila laku, ya alhamdulillah. Kalau tidak, ya sudah,’’ ujarnya mengenang saat-saat memperjuangkan buku masterpiece itu.

Oleh Tiga Serangkai, judul novel tersebut diubah menjadi Gajah Mada. Bukannya senang, Langit makin pesimistis karyanya bakal laku di pasar. Menurut dia, judul itu tidak sesuai dengan tema novel. ’’Saya sudah tidak bergairah mengetahui novel itu diganti judulnya.’’

Tapi, beberapa saat kemudian, kabar mengejutkan diterima Langit. Buku yang diprediksi tidak laku di pasar tersebut ternyata dengan cepat terjual habis. Cetak ulang pun dilakukan dan terus ludes. Buku Gajah Mada benar-benar menjadi best seller.

’’Saya kaget sekaligus gembira mendengar kabar novel saya ternyata digemari pembaca. Bahkan, penerbit kemudian meminta saya segera menyiapkan seri keduanya,’’ paparnya.

Hanya, untuk seri berikutnya, Langit tidak lagi menggunakan sistem jual putus seperti pada seri perdananya. Dia mulai berhitung secara proporsional dan profesional.

Kesuksesan mendadak itu, diakui Langit, membuat dirinya sempat jemawa dan serakah. Bahkan, dia sempat berkonflik dengan penerbit sehingga kemudian memutuskan untuk membuat penerbitan sendiri, LKH (Langit Kresna Hariadi) Production. Penerbit pribadi itu menerbitkan novel Candi Murca yang bercerita tentang sejarah Kerajaan Singasari.

Langit tidak sadar, kesuksesan novelnya membuat novelis serupa mulai bermunculan. ’’Bersamaan terbitnya Candi Murca, puluhan judul novel berbahan baku sejarah juga bermunculan. Akibatnya, saya merugi Rp 60 juta gara-gara salah perhitungan. Saya telanjur cetak 12 ribu eksemplar dan tidak bisa memasarkannya.’’

Dalam kondisi tertekan, Langit lalu mendatangi penerbit Tiga Serangkai lagi. Dia mengajak damai dan mendapat sambutan positif. Kedua pihak lalu bersepakat untuk bekerja sama kembali. Sejak itu, buku-buku Langit mengalir dari ruang perpustakaan penerbit legendaris tersebut.

Rupanya, kesuksesan novel-novel Langit menginspirasi para penulis lain untuk berkarya semacam. Pada 2012, dalam sebuah perhelatan sastra di Candi Borobudur, sedikitnya 130 novelis berlatar sejarah hadir.

Menurut Langit, saat itu para novelis menjadikan karya Langit sebagai tren. Meski begitu, dia belum bisa mengalahkan kehebatan penulis cerbung Api di Bukit Menoreh S.H. Mintardja yang kemudian dinobatkan sebagai pionir sastra sejarah.

Kesuksesan novel Gajah Mada bukan tanpa cela. Novel pertama Langit, Makar Dharmaputra, mendapat kritik tajam dari para sejarawan. Sebab, ada beberapa fakta sejarah yang keliru dalam novel tersebut. Di antaranya, setting waktunya yang salah sehingga membuat tokoh zaman Ken Arok hidup sezaman dengan Jayanegara.

Ada pula daerah pelarian Raja Jayanegara yang seharusnya Bedander disebut Kudadu. Lalu, dalam kisah kematian Jayanegara di tangan tabibnya, setting waktunya salah. Sebab, di novel disebutkan, Jayanegara dibunuh saat makar Dharmaputra. Padahal, pembunuhan itu berlangsung beberapa tahun setelah orang-orang yang makar ditumpas.

Banyaknya kesalahan pada novel itu membuat Langit terpukul. ’’Di satu sisi, buku itu laris. Namun, di sisi lain menunjukkan betapa bodohnya saya,’’ ujarnya menyesal.

Untuk menebus kesalahan tersebut, Langit melakukan riset lebih serius sebelum menulis novel-novel berikutnya. Misalnya, dia berkali-kali mendatangi situs Majapahit di Trowulan dan keliling Nusantara, termasuk ke Tumasek (Singapura), untuk mendapatkan gambaran tentang wilayah kekuasaan Majapahit.

Langit mengungkapkan, menulis novel sudah mendarah daging dalam hidupnya. ”Istri saya itu ada tiga. Istri pertama namanya Rina Riyantini, istri kedua laptop, dan istri ketiga kamera,” kelakarnya.

Sebagai penulis produktif, Langit memiliki beberapa kebiasaan aneh. Salah satunya soal tidur. Di kantornya, dalam sehari dia bisa terbuai mimpi sampai empat kali. ”Saya datang ke kantor tidak langsung kerja, tapi tidur dulu,” terangnya.

Setiap selesai menulis tiga halaman, Langit tidur lagi sekitar sepuluh menit sampai setengah jam untuk menyegarkan pikiran. Langit mengakui sempat mengalami gangguan psikologis.

Dia pernah takut gelap, takut berada di ruang sempit, bahkan ayah dua putri itu selalu khawatir dengan datangnya senja. Gangguan psikis tersebut baru hilang setelah dia menikahkan putri pertamanya, Poundra Swasty Ratu.

Langit mengungkapkan bahwa menulis merupakan sarana untuk melampiaskan emosi. Dia termasuk pengkhayal tingkat tinggi, bahkan khayalannya menjurus ekstrem, seperti berkhayal memukuli orang.

”Kalau saya tidak menulis, mungkin sekarang saya sudah dirawat di rumah sakit jiwa,” ucapnya dengan nada bergetar.

Khayalan ekstrem itu membuat Langit mampu mengelola konflik-konflik yang terjadi dalam sejarah Kerajaan Majapahit maupun Singasari menjadi kesatuan yang apik.

Langit mengatakan juga sempat ditawari membuat novel berlatar sejarah Sunda Galuh maupun kerajaan-kerajaan di Sumatera. Namun, karena ceritanya minim konflik, dia tidak menyanggupi. ”Kurang menarik,” ujarnya.

Di masa tuanya, Langit mengaku masih ingin terus menulis. ”Saya mau buat dua seri lagi novel Gajah Mada,” ucapnya.

Setelah itu dia akan melanjutkan novel Amurwa Bhumi sampai tidak mampu lagi menulis. Novel Amurwa Bhumi yang bercerita tentang sejarah Kerajaan Singasari akan dia jadikan puncak dari karya-karyanya.

Langit menambahkan, dirinya tidak lagi ingin disebut sebagai novelis sejarah. Sebab, hal itu membuat dia terbelenggu oleh keharusan menyajikan fakta sejarah sehingga sulit mengembangkan ide cerita. Padahal, novelis bermain pada ranah fiksi dan imajinasi. ”Sebut saja saya novelis bercita rasa sejarah,” tandasnya. (*/c5/c9/ari)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Enam Bulan Sekali Ganti Sepatu


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler