Uduk Babi

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Senin, 20 Juni 2022 – 18:29 WIB
Dhimam Abror Djuraid. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Sejak kapan rendang punya agama? Pertanyaan ‘’slengekan’’ itu dilontarkan oleh pendakwah Miftah Maulana--atau lebih dikenal sebagai Gus Miftah—mengomentari ribut-ribut soal masakan Padang menu rendang babi. 

Maunya sekadar ‘’gojek’’ atau bercanda, tetapi berbuntut serius karena menjadi viral dan membuat sekalangan orang merasa tersinggung, terutama warga Minangkabau.

BACA JUGA: Viral Olahan Daging Babi pada Nasi Uduk Aceh, Wagub DKI Singgung Masalah Adat

Ribut-ribut soal rendang babi belum reda. Sekarang muncul lagi menu masakan nasi uduk dengan lauk babi. 

Seorang netizen mengunggah cerita mengenai pengalaman kulinernya di sebuah tempat kuliner di Jakarta yang menyajikan menu nasi uduk dengan lauk babi.

BACA JUGA: Dewi Membeli Nasi Uduk, Motornya Hilang Dalam Hitungan Menit, Videonya Viral

Tempat kuliner itu memakai nama ‘’Aceh’’ sebagai daya tarik marketing.

Sama dengan rendang yang identik dengan tradisi kuliner etnis Minangkabau di Sumatera Barat, nasi uduk sangat identik dengan tradisi kuliner Betawi di Jakarta. 

BACA JUGA: Bahas soal Rendang Babi, Gus Miftah Sampai Kutip Ayat Al-Quran

Nasi uduk merupakan olahan berbahan nasi yang diberi bumbu santan dengan tambahan daun salam, serai, cengkih, dan daun pandan. 

Nasi uduk disajikan dengan lauk yang bermacam-macam dari olahan daging dan ikan. 

Budaya Betawi juga sangat lekat dengan budaya Islam. Karena itu menu uduk babi bisa menyinggung perasaan masyarakat Betawi sebagaimana rendang babi menyinggung perasaan masyarakat Minang. 

Dari Betawi, budaya kuliner nasi uduk berkembang ke daerah-daerah lain dengan bermacam-macam variasinya. 

Di Melayu, ada varian yang mirip dengan nasi uduk yang disebut sebagai nasi lemak. 

Cara memasak dan bumbu yang dipakai hampir sama antara kedua menu. 

Nasi lemak lebih identik dengan budaya kuliner Melayu yang identik dengan Malaysia. 

Kuliner nasi lemak juga menjadi tradisi di wilayah semenanjung Sumatera termasuk Aceh. 

Atribusi nama Aceh untuk memasarkan nasi uduk babi akan memantik protes masyarakat Aceh yang identik dengan budaya Islam. 

Aceh sudah diakui secara nasional sebagai provinsi istimewa yang diberi hak menerapkan syariat Islam.

Kasus rendang babi belum berhenti meskipun polisi sudah memanggil pemilik gerai dan yang bersangkutan sudah meminta maaf. 

Polisi menyatakan tidak menemukan pasal-pasal pidana yang bisa menjerat pemilik gerai. 

Akan tetapi, Ikatan Keluarga Minang di Jakarta melaporkan kasus itu ke Polda Metro Jaya, dan meminta polisi mengusut tuntas supaya kasus semacam ini tidak terjadi lagi.

Berbagai reaksi bermunculan. Gus Miftah mengunggah konten di akunnya di media sosial dengan mengatakan bahwa Al-Qur’an memerintahkan umat Islam untuk mengonsumsi makanan halal dan baik yang tersedia di muka bumi. 

Aturan itu hanya berlaku bagi umat Islam. Umat lain tidak punya kewajiban mengonsumsi makanan halal, termasuk menu-menu dan jenis masakannya. Karena itu, umat lain boleh saja mengonsumsi menu lain yang tidak halal.

Di akhir unggahannya, Gus Miftah bertanya sejak kapan rendang punya agama. Narasi ini yang kemudian memantik reaksi dari banyak kalangan.

Ada yang mempertanyakan sejak kapan nama Miftah diberi atribut ‘’gus’’ padahal dia bukan anak kiai. 

Ustaz Adi Hidayat (UAH) membalas dengan argumen tajam. 

Kendati tidak merujuk langsung kepada Gus Miftah, tetapi UAH jelas merespons unggahan Gus Miftah. 

Menurut UAH, kalau ada pertanyaan sejak kapan rendang punya agama, jawabnya adalah sejak batik, calung, dan angklung punya kewarganegaraan. 

UAH melihatnya dari perspektif akulturasi budaya. Selama ini Indonesia mengeklaim batik sebagai produk budaya nasional, meskipun variannya berkembang luas di Asia Tenggara dengan berbagai macam motif khas daerah masing-masing. 

Di Afrika Selatan pun, sebagian masyarakat mengenal batik terutama karena mantan Presiden Nelson Mandela sering mengenakannya dalam berbagai kesempatan.

Ketika beberapa waktu yang lalu batik diklaim sebagai produk budaya Malaysia, publik Indonesia meradang dan memprotes keras. 

Hal yang sama juga terjadi ketika reog Ponorogo diklaim sebagai budaya Malaysia. 

Publik Indonesia sudah menganggap reog sebagai produk budaya asli Ponorogo, tetapi Malaysia mengklaim punya varian yang beda dengan pakem reog Ponorogo. 

Publik Indonesia tidak bisa menerima argumen itu. 

Varian reog yang diklaim oleh Malaysia kemungkinan dikembangkan oleh diaspora Jawa yang beremigrasi ke Malaysia dan memperkenalkan reog kepada masyarakat setempat. 

Meski demikian induk budaya reog tetap ada di Ponorogo, dan karenanya Malaysia tidak berhak mengeklaimnya. 

Reog adalah kesenian khas dengan menampilkan unsur barong, warok, bujang ganong, dan jathilan. 

Salah satu ikon khas reog menampilkan seorang penari pria yang memakai topeng singa dengan hiasan bulu burung merak sampai setinggi tiga meter, dengan total berat sampai puluhan kilogram. 

Pemeran reog harus mempunyai kekuatan fisik yang prima dan mempunyai kekuatan spiritual yang memadai.

Warok dan bujang ganong juga bagian dari tradisi mistis yang menggambarkan lelaki yang mempunyai kekuatan supranatural dan menjalankan ritual tertentu untuk memperoleh kekuatan batin. 

Bujang ganong adalah sekelompok remaja lelaki yang dalam tradisi lama dijadikan sebagai pasangan oleh para warok.

Menilik begitu kentalnya tradisi reog dengan budaya lokal Ponorogo maka klaim yang dilakukan oleh Malaysia sangatlah mentah. 

Bisa saja tradisi kesenian reog diadopsi oleh warga Malaysia, tetapi nilai-nilai budaya mistis yang sangat kental itu tidak akan bisa diadopsi begitu saja karena sudah menjadi bagian dari budaya spiritualitas lokal Ponorogo.

Budaya dan spiritualitas lokal tidak bisa dipisahkan begitu saja. 

Tradisi Islam menyebutkan istilah ‘’Al-adatu muhkamat’’ adat kebiasaan menjadi hukum. 

Rendang Padang dan nasi uduk adalah produk budaya kuliner lokal yang bersumber pada tradisi religius masyarakat setempat. 

Karena itu, memasukkan unsur asing yang bertentangan dengan nilai-nilai budaya lokal yang religius akan ditolak.

Budaya Minangkabau sangat lekat hubungannya dengan tradisi Islam. 

Ungkapan ‘’adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah’’ menunjukkan bahwa adat Minangkabau bersendikan pada ajaran syariat Islam yang bersumber pada Kitabullah Al-Qur’an dan Hadis. 

Ungkapan itu menunjukkan hubungan yang tidak terpisahkan di antara tiga unsur adat, syariat, dan Al-Qur’an.

Ada argumen yang mengatakan bahwa ungkapan itu baru diperkenalkan pada awal abad ke-19 oleh Kaum Paderi yang berfaham Wahabi.

Kemunculan gerakan Paderi di Sumatera Barat menyebabkan munculnya friksi antara kalangan tradisional yang sinkretis dengan kalangan pembaru yang membawa ajaran pemurnian dari Arab Saudi melalui para haji yang baru kembali ke tanah air.

Perbedaan pendapat antara kalangan pembaru dengan kalangan tradisional terjadi di berbagai tempat di wilayah Hindia Belanda ketika itu.

Penjajah Belanda kemudian menunggangi perbedaan pendapat ini untuk memecah belah kekuatan perlawanan dengan memihak kepada kalangan tradisional. 

Perbedaan pendapat ini menjadi perselisihan terbuka karena campur tangan Belanda. 

Akhirnya pecah perlawanan Perang Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk menyingkirkan Belanda.

Perang melawan penjajah Belanda di berbagai tempat selalu diidentikkan sebagai ‘’perang jihad’’ melawan penjajah Belanda yang kafir. 

Perang Paderi bukan sekadar perang agama tetapi juga perang budaya dan peradaban. 

Identitas budaya Minangkabau—termasuk budaya kuliner—menjadi bagian dari perlawanan melawan penjajahan budaya dan agama oleh Belanda.

Di Aceh, Teuku Umar dan Tjut Nyak Dhien mengangkat senjata melawan ‘’kape’’ orang kafir Belanda yang menginjak-injak kedaulatan bangsa dan agama. Mereka semua, para pejuang itu telah diakui sebagai pahlawan kemerdekaan nasional.

Sejarah menunjukkan bahwa kuliner bukan sekadar tradisi, tapi sudah menjadi identitas perlawanan melawan penjajahan. Memasukkan babi pada menu rendang dan uduk adalah pelecehan terhadap budaya Padang dan Aceh dan pencemaran terhadap sejarah nasional. (*)

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler