Ujian Calistung SD Menyesatkan

Dispendik Wajib Menertibkan Sekolah yang Melanggar

Rabu, 25 Juli 2012 – 07:43 WIB

JAKARTA - Meski telah dilarang, banyak sekolah dasar (SD) masih saja menjalankan ujian masuk baca, tulis, dan berhitung (calistung) saat penerimaan siswa baru lalu. Kenyataan ini membuat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) meradang.

Direktur Jenderal Pendidikan Dasar (Dirjen Dikdas) Kemendikbud Suyanto menegaskan, praktek ujian calistung di SD sangat menyesatkan. Hal itu melanggar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Praktek ujian calistung ini juga melanggar surat edaran yang dirilis beberapa waktu lalu.

"Harusnya dinas pendidikan kabupaten dan kota menegur dan menertibkan SD-SD yang bandel itu," kata Suyanto saat dihubungi kemarin. Dia menilai ujian calistung mengacaukan sistem pendidikan nasional secara sistemik. Dampaknya lebih besar ketimbang praktek pungutan liar yang juga masih marak terjadi.

Karena SD menerapkan ujian calistung, hal itu menuntut taman kanak-kanak (TK) menerapkan pembelajaran calistung. Alhasil, anak-anak TK yang secara perkembangan otak belum waktunya mendapatkan materi bersifat kognitif, sudah dijejali dengan materi calistung.

Kemendikbud menerjunkan tim pemantau penerimaan siswa baru untuk kawasan DKI Jakarta dan sekitarnya. Hasilnya, tim menemukan banyak sekali SD yang memberlakukan ujian calistung. Celakanya, pelanggaran itu ternyata mendapatkan restu dari Dinas Pendidikan DKI Jakarta.

Fakta lainnya adalah bahwa mayoritas sekolah yang menjalankan ujian calistung adalah SD negeri berlabel SSN (Sekolah Standar Nasional) dan RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional). Selain itu, ujian calistung juga ditemukan di SD-SD swasta. "Saya rasa motif utama pelaksanaan ujian calistung di sekolah-sekolah itu hanya untuk menjaga gengsi belaka," kata Suyanto.

Suyanto menegaskan bahwa ujian calistung tidak boleh dilaksanakan. Seleksi masuk cukup melihat usia calon siswa. Seperti sudah ditetapkan, batas minimal anak masuk SD adalah usia 7 tahun.

Jadi jika jumlah peminat tidak sebanding dengan kuota atau daya tampung, Suyanto menyarankan sekolah menggunakan acuan usia. Jadi, yang paling tua usianya diprioritaskan dulu untuk diterima. "Jika tahunnya sama, bisa diurut dari bulannya. Jika bulannya masih sama, dilihat dari harinya. Jika masih sama juga, yang paling cepat mendaftar itu diprioritaskan," terangnya.

Suyanto mengatakan, secara kelembagaan Kemendikbud tidak bisa turun langsung untuk menertibkan SD-SD yang membandel tersebut. Dia meminta keseriusan dinas pendidikan setempat untuk menertibkan sekolah yang menerapkan ujian calistung. Dia juga mengingatkan orang tua siswa dan guru TK untuk tidak terjerumus pada kesesatan pembelajaran di TK.

"Orang tua jangan menuntut anak TK sudah bisa membaca, menulis, dan menghitung. Gurunya juga begitu, jangan," tandasnya. (wan/ca)


BACA ARTIKEL LAINNYA... Kemdikbud Klaim tak Ada PTN Komersil


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler