MEDAN - Sejumlah dokter di Medan tengah gundah gulana menghadapi Ujian Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI). Bagaimana tidak, meski sudah lulus menjadi dokter, tapi harus mengikuti UKDI yang merupakan ujian secara tertulis untuk mendapatkan sertifikat.
Bila tak lulus, si dokter tak diperbolehkan membuka praktik. Padahal, para dokter dulunya bila dilantik menjadi dokter, sudah bisa membuka praktik dengan leluasa.
Selain itu, UKDI yang diberlakukan awal 2009 juga sangat menguras kantong para dokter yang ingin memiliki sertifikasi.
"Ada biaya bimbingan, terus mediasi ke kampus dan bebereapa lainnya. Itu kalau sekali saja bimbingan dan lainnya mencapai Rp3,7 juta. Ini sudah ada yang 20 kali ikut ujian, gagal-gagal terus," kata Dr Adi Sitepu, Minggu (28/4), usai seminar dan diskusi kesehatan di ruang Patologi Anatomi lantai 3 Fakultas Kedokteran USU.
UKDI dianggap sebagai kegiatan mubazir dan sia-sia. Sebab, UKDI hanya ujian tertulis untuk mendapatkan sertifikat.
Tidak hanya sebagai kegiatan mubazir, ia bersama rekan-rekan dokter lainnya merasa dirugikan dan dianggap sebagai dukun bukan dokter.
"Bayangin saja, kami sudah selesai sekolah, tapi kami harus ikut UKDI lagi yang biayanya sangat mahal. Orang tua kami tahunya anaknya sudah lulus. Kami ini sudah kayak pelacur yang dikejar Satpol-PP, apa gak lebih nista kami ini," katanya di hadapan wartawan bersama puluhan dokter lainnya.
Menanggapi hal ini, Wakil Ketua IDI Cabang Medan dr Ramlan Sitompul SpTHT didampingi Sekretaris Umum Dr Edy Ardiansyah SpOG, juga membenarkan bahwa UKDI adalah kegiatan mubazir atau sia-sia.
"Saat di fakultas, dokter sudah mendapatkan kognitif untuk mengasah kemampuannya. Setelah itu, saat di lapangan dan bertemu masyarakat, para dokter sudah mendapatkan aspek psikomotorik dan afektif. Inilah yang didapat saat mengikuti internship. Sedangkan, UKDI hanya ujian satu hari untuk menerbitkan sertifikat kompetensi," katanya.
Lanjut Ramlan, dengan adanya UKDI terjadi stagnasi SDM dokter yang seharusnya dapat diberdayakan untuk pelayanan kesehatan, sehingga dapat membantu target pencapaian MDGs (Millenium Development Goals (MDGs) 2015 atau tujuan pembangunan mileenium.
"Dokter yang sudah dilantik dari fakultas kedokteran dan sudah wajib internship, tetapi ketika tidak lulus UKDI yang hanya ujian tertulis, maka dia tidak bisa buka praktik, akibatnya masyarakat terganggu," katanya.
Menurutnya, setelah berjalannya program internship, maka UKDI sebagai instrumen untuk menerbitkan sertifikat kompetensi tidak diperlukan lagi.
"Pada awalnya, sejarah UKDI dimulai dari transisi saat UU Praktik Kedokteran terbit, dimana diharuskan adanya sertifikat kompetensi dari Kolegium Dokter Indonesia untuk diregistrasi oleh Konsil Kedokteran Indonesia. Sertifikat kompetensi diterbitkan melalui uji kompetensi," ujarnya.
Diyakinkannya, para pengguna jasa kedokteran tidak perlu khawatir tentang dokter yang berpraktik karena seseorang setelah dinyatakan lulus dan dilantik menjadi dokter wajib mengikuti program magang atau internship tadi. Kemudian setelah ikut kewajiban internship, masih ada kewajiban lain untuk mengikuti Program Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (P2KB) IDI.
"Ini diselenggarakan oleh organisasi profesi yakni setiap dokter harus mengumpulkan 250 Satuan Kredit Partisipasi (SKP) selama kurun waktu 5 tahun yang terdiri dari ranah yang bernilai pendidikan," ujarnya.
Di antaranya, kata Ramlan, kegiatan pembelajaran seperti mengikuti seminar, kursus, workshop, baca artikel dan lainnya. Kegiatan profesional meliputi menangani pasien, membantu penyidikan dan identifikasi korban bencana.
"Kegiatan pengabdian masyarakat/profesi yakni kerja sosial, penyuluhan, kegiatan organisasi profesi dan kegiatan publikasi meliputi tulisan ilmiah dan populer di bidangnya. Kemudian kegiatan pengembangan ilmu meliputi yakni penelitian, mengajar, instruksi atau pembimbing dan menguji," katanya.
Untuk itu, IDI Medan mengusulkan mahasiswa kedokteran yang telah dilantik menjadi dokter umum dan belum lulus UKDI diserahkan kepada organisasi profesi untuk dilakukan evaluasi kemampuan profesi melalui modul atau pembinaan yang dibuat organisasi profesi.(put)
Bila tak lulus, si dokter tak diperbolehkan membuka praktik. Padahal, para dokter dulunya bila dilantik menjadi dokter, sudah bisa membuka praktik dengan leluasa.
Selain itu, UKDI yang diberlakukan awal 2009 juga sangat menguras kantong para dokter yang ingin memiliki sertifikasi.
"Ada biaya bimbingan, terus mediasi ke kampus dan bebereapa lainnya. Itu kalau sekali saja bimbingan dan lainnya mencapai Rp3,7 juta. Ini sudah ada yang 20 kali ikut ujian, gagal-gagal terus," kata Dr Adi Sitepu, Minggu (28/4), usai seminar dan diskusi kesehatan di ruang Patologi Anatomi lantai 3 Fakultas Kedokteran USU.
UKDI dianggap sebagai kegiatan mubazir dan sia-sia. Sebab, UKDI hanya ujian tertulis untuk mendapatkan sertifikat.
Tidak hanya sebagai kegiatan mubazir, ia bersama rekan-rekan dokter lainnya merasa dirugikan dan dianggap sebagai dukun bukan dokter.
"Bayangin saja, kami sudah selesai sekolah, tapi kami harus ikut UKDI lagi yang biayanya sangat mahal. Orang tua kami tahunya anaknya sudah lulus. Kami ini sudah kayak pelacur yang dikejar Satpol-PP, apa gak lebih nista kami ini," katanya di hadapan wartawan bersama puluhan dokter lainnya.
Menanggapi hal ini, Wakil Ketua IDI Cabang Medan dr Ramlan Sitompul SpTHT didampingi Sekretaris Umum Dr Edy Ardiansyah SpOG, juga membenarkan bahwa UKDI adalah kegiatan mubazir atau sia-sia.
"Saat di fakultas, dokter sudah mendapatkan kognitif untuk mengasah kemampuannya. Setelah itu, saat di lapangan dan bertemu masyarakat, para dokter sudah mendapatkan aspek psikomotorik dan afektif. Inilah yang didapat saat mengikuti internship. Sedangkan, UKDI hanya ujian satu hari untuk menerbitkan sertifikat kompetensi," katanya.
Lanjut Ramlan, dengan adanya UKDI terjadi stagnasi SDM dokter yang seharusnya dapat diberdayakan untuk pelayanan kesehatan, sehingga dapat membantu target pencapaian MDGs (Millenium Development Goals (MDGs) 2015 atau tujuan pembangunan mileenium.
"Dokter yang sudah dilantik dari fakultas kedokteran dan sudah wajib internship, tetapi ketika tidak lulus UKDI yang hanya ujian tertulis, maka dia tidak bisa buka praktik, akibatnya masyarakat terganggu," katanya.
Menurutnya, setelah berjalannya program internship, maka UKDI sebagai instrumen untuk menerbitkan sertifikat kompetensi tidak diperlukan lagi.
"Pada awalnya, sejarah UKDI dimulai dari transisi saat UU Praktik Kedokteran terbit, dimana diharuskan adanya sertifikat kompetensi dari Kolegium Dokter Indonesia untuk diregistrasi oleh Konsil Kedokteran Indonesia. Sertifikat kompetensi diterbitkan melalui uji kompetensi," ujarnya.
Diyakinkannya, para pengguna jasa kedokteran tidak perlu khawatir tentang dokter yang berpraktik karena seseorang setelah dinyatakan lulus dan dilantik menjadi dokter wajib mengikuti program magang atau internship tadi. Kemudian setelah ikut kewajiban internship, masih ada kewajiban lain untuk mengikuti Program Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (P2KB) IDI.
"Ini diselenggarakan oleh organisasi profesi yakni setiap dokter harus mengumpulkan 250 Satuan Kredit Partisipasi (SKP) selama kurun waktu 5 tahun yang terdiri dari ranah yang bernilai pendidikan," ujarnya.
Di antaranya, kata Ramlan, kegiatan pembelajaran seperti mengikuti seminar, kursus, workshop, baca artikel dan lainnya. Kegiatan profesional meliputi menangani pasien, membantu penyidikan dan identifikasi korban bencana.
"Kegiatan pengabdian masyarakat/profesi yakni kerja sosial, penyuluhan, kegiatan organisasi profesi dan kegiatan publikasi meliputi tulisan ilmiah dan populer di bidangnya. Kemudian kegiatan pengembangan ilmu meliputi yakni penelitian, mengajar, instruksi atau pembimbing dan menguji," katanya.
Untuk itu, IDI Medan mengusulkan mahasiswa kedokteran yang telah dilantik menjadi dokter umum dan belum lulus UKDI diserahkan kepada organisasi profesi untuk dilakukan evaluasi kemampuan profesi melalui modul atau pembinaan yang dibuat organisasi profesi.(put)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bacaleg Eks Narapidana Akan Dicoret
Redaktur : Tim Redaksi