UKM Dipajaki Satu Persen

Senin, 13 Februari 2012 – 10:54 WIB
BOGOR – Meski mengundang kontroversi, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tak surut langkah untuk memungut pajak usaha kecil menengah (UKM). Usaha beromzet Rp 300 juta hingga Rp 4,8 miliar per tahun akan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) satu persen dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) satu persen.

Usaha yang memiliki omzet di bawah Rp 300 juta per tahun dikenakan PPh dan PPN masing-masing 0,5 persen. Sedangkan usaha mikro dipastikan tidak terkena potongan. ”Ini belum final karena belum diputuskan, hanya berdasarkan kajian terakhir yang kami lakukan,” kata Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany kepada wartawan di Bogor.

Dia menjelaskan, Ditjen Pajak sengaja menetapkan pajak untuk UKM berdasarkan omzet. Karena pengusaha kelas ini sulit menghitung laba bersih usaha mereka per tahun. ”Jadi UKM tinggal menghitung total omzet mereka, lalu dipotong satu persen untuk bayar pajak,” jelasnya.

Tak hanya perhitungan yang lebih mudah, cara pembayaran pajak juga dipermudah bagi UKM. Ditjen Pajak akan menggandeng perbankan membuat fitur pembayaran pajak lewat ATM. ”Kalau bisa bayar di ATM kan lebih mudah. Mereka tinggal masukkan NPKP (Nomor Pengusaha Kena Pajak), masukkan omzet, bisa langsung dipotong," jelas Fuad.

Dia mengakui, banyak kritik yang diarahkan kepadanya karena berencana memungut pajak UKM. Fuad dianggap hanya berani memungut pajak usaha kecil, tetapi tidak tegas kepada perusahaan raksasa. ”Kami maju terus karena ini soal keadilan. Buruh-buruh pabrik saja dipungut pajak, masa UKM yang penghasilannya lebih besar dari buruh tidak dipungut pajak,” kata Fuad.

Pada dasarnya, lanjut dia, semua orang yang pendapatannya di atas PTKP (Pendapatan Tidak Kena Pajak) harus bayar. PTKP ditetapkan sebesar Rp 1,32 juta per bulan atau Rp 15,84 juta per tahun. Jika pendapatan seseorang di atas Rp 1,32 juta per bulan, dia harus bayar pajak.

Fuad pun memastikan, Ditjen Pajak tidak hanya menagih pajak orang kecil, tetapi tetap mengejar pajak dari perusahaan besar. Tahun ini pihaknya serius mengawasi penerimaan perpajakan di sektor pertambangan, minyak, gas, dan perkebunan.
 
Salah satu caranya dengan melibatkan surveyor independen dalam mengukur produksi barang tambang dan lifting migas. Karena selama ini negara tidak memiliki bahan pembanding atas laporan produksi tambang dan lifting migas. ”Kami tidak menuduh perusahaan bohong dalam melaporkan pajak. Tetapi akan lebih baik jika kita memiliki data sendiri atas produksi mereka,” kata Fuad.

Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak, Dedi Rudaedi mengatakan, instansinya memiliki pandangan yang sama soal ini dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Mereka sudah dua kali bertemu membicarakan kemungkinan melibatkan surveyor independen. ”Memang belum pasti kapan akan direalisasikan, tetapi kami sudah sepakat soal ini,” kata Dedi. (dri)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Rangkap Jabatan, Gita Wirjawan Dinilai Salahi UU Kementrian

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler