Seorang ulama asal Perth mengutarakan, penggambaran Nabi Muhammad dalam edisi terbaru mingguan satir Perancis ‘Charlie Hebdo’ sudah kelewat batas dan ofensif.
Imam Yahya Ibrahim, asisten kepala kampus ‘Perth Islamic College’, melontarkan komentar ini seiring dengan diterbitkannya edisi pertama majalah ini setelah penembakan maut yang terjadi pekan lalu, di kantor mereka.
BACA JUGA: Konsumsi Ganja Sintetis di Queensland, 1 Orang Tewas dan Yang Lainnya Keracunan
Dua belas orang, termasuk salah satu pendiri ‘Charlie Hebdo’ dan kartunis Jean Cabut serta pemimpin redaksi Stephane Charbonnier, ditembak mati saat mereka mengadakan rapat redaksi.
BACA JUGA: Indonesia Kurangi Izin Impor, Peternak Sapi Australia Kecewa
Halaman depan koran satir tersebut yang terbit minggu ini digambar oleh kartunis Renald Luzier, yang dikenal sebagai Luz.
Dalam karikatur itu, Nabi Muhammad digambarkan dengan air mata di pelupuk matanya dan memegang tanda yang bertulis ‘Je Suis Charlie’ di atas spanduk yang berbunyi "Semua dimaafkan."
BACA JUGA: GM Pamerkan Mobil Buatan Australia di Pameran Motor Detroit
Salah satu wartawan Charlie Hebdo yang masih hidup, yaitu Zineb El Rhazoui, mengatakan, halaman depan tersebut mengacu pada perlunya tim Charlie Hebdo untuk "mengampuni dua penembak yang membunuh rekan-rekan mereka".
Imam Ibrahim mengatakan, ia bisa melihat kesedihan di karikatur itu dan mengakui bahwa gambar itu dibuat sedemikian rupa untuk tak terlalu menyinggung.
Namun ia mengatakan, Muslim percaya bahwa Allah telah melarang umatnya untuk menggambar seseorang yang dianggap suci atau sakral.
"Saya tersinggung karena sesuatu yang sudah diketahui, yang akan menyinggung saya, tetap dilakukan. Saya mengerti implikasi dari kebebasan berbicara, tapi saya menyadari tak ada yang mutlak,” jelas sang Imam.
Ia lantas menguraikan, "Meski demikian, karena ada sesuatu yang tak akan berjalan sesuai dengan keinginan saya, tidak berarti saya akan bereaksi dengan cara yang kontraproduktif, tidak etis, tidak bermoral atau tak mencerminkan Islam, dan bertentangan dengan ajaran iman saya itu."
Imam Ibrahim mengatakan, kartun itu akan melukai perasaan dan membuat marah umat Islam di seluruh dunia, tetapi ia mendesak Muslim untuk menanggapinya dengan cara yang "akan dilakukan Nabi jika ia masih hidup".
Renald Luzier mengadakan konferensi pers di Paris, pada Senin (12/1), untuk menjelaskan sampul terbaru Charlie Hebdo.
"Satu-satunya ide yang dipikirkan adalah untuk menggambar Muhammad, saya Charlie. Lalu saya menatapnya, ia sedang menangis. Kemudian di bagian atas, saya menulis: ‘Semua diampuni’, dan kemudian menangis. Kami memiliki halaman depan ini, kami akhirnya menemukan halaman depan yang berdarah ini. Ini adalah halaman depan kami,” jelasnya.
"Ini bukan halaman depan yang diinginkan warga dunia, ini adalah halaman depan kami,” tambahnya.
Ia mengungkapkan, "Ini bukan halaman depan yang diinginkan para teroris, karena tak ada teroris di dalamnya, hanya seorang pria yang menangis, dan itu Muhammad. Saya minta maaf karena kami menggambarnya lagi, tetapi Muhammad yang kami gambar adalah Muhammad yang menangis atas kejadian ini."
Imam Ibrahim mengatakan, ia percaya pada kebebasan berbicara tapi kadang-kadang hal itu perlu diprotes.
"Batasan jelas bagi kami adalah penggambaran salah satu nabi Allah, tetapi terutama yang paling dihormati, yaitu Nabi Muhammad. Jadi, tolong, jangan lakukan itu," katanya.
"Dan saya tak berpikir bahwa hal itu adalah permintaan yang tak masuk akal," sambungnya.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Warga Sydney Tinggalkan Bom Rakitan di Kamar Tidurnya