Pemimpin United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Benny Wenda menyambut baik terbentuknya suatu Undang-undang Dasar (UUD) Sementara yang akan menjadi konstitusi negara merdeka yang mereka perjuangkan di wilayah propinsi Papua dan Papua Barat.
Menjawab pertanyaan wartawan ABC Indonesia Farid M. Ibrahim hari Selasa (27/10), Benny Wenda menjelaskan bahwa Komite Legislatif ULMWP telah melaksanakan sidang tahunan ketiga yang berlangsung beberapa hari lalu.
BACA JUGA: Apakah Tidak Memakai Beha Bisa Berbahaya Bagi Kesehatan Perempuan?
"Sidang tersebut memutuskan untuk meningkatkan status hukum ULMWP sebagai jalan untuk mencapai referendum dan kemerdekaan dari penjajahan kolonial," kata Benny yang kini bermukim di Inggris. Photo: Pemimpin United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Benny Wenda. (Istimewa)
BACA JUGA: Seorang Perempuan Australia Pertimbangkan Gugat Bandara Qatar karena Tubuhnya Dipegang-pegang
Komite Legislatif ULMWP mengadakan sidang tahunan di Kota Port Numbay atau Jayapura yang berakhir pada 20 Oktober 2020.
Selain peningkatan status hukum AD/ART organisasi ULMWP, sidang itu juga memutuskan untuk membentuk UUD Sementara yang akan menjadi konstitusi negara Papua merdeka.
BACA JUGA: Pertama Kali Dalam Empat Bulan, Tidak Ada Kasus Baru COVID-19 di Melbourne
"Sebagai pihak eksekutif dari ULMWP kami menyambut baik hasil sidang tahunan ketiga dari Komite Legislatif," kata Benny.
Ia menjelaskan, keputusan Komite Legislatif membentuk UUD Sementara bersifat mengikat bagi West Papua.
"UUD Sementara ini akan memastikan bahwa ULMWP tunduk pada aturan dan norma demokrasi, HAM serta penentuan nasib sendiri," jelas Benny.
"Setiap elemen dari UUD Sementara ini demokratis, dan disusun untuk melindungi budaya, identitas dan cara hidup kami," tambahnya.
Ketua ULMWP ini menjelaskan bahwa UUD Sementara memuat pedoman dasar dalam mewujudkan suatu "Negara Hijau" yang pertama di dunia, yang meindungi setiap agama dan mahluk hidup di dalamnya.
"Kami telah belajar dari dunia betapa perlunya melindungi dan membangun pendidikan, layanan kesehatan dan energi terbarukan, serta perlunya melindungi hak-hak pendatang Indonesia dan penduduk asli Papua, kepemilikan tanah adat dan kesetaraan gender," jelasnya.
"UUD Sementara ini memuat semua hal itu," kata Benny Wenda.
Sidang tahunan Komite Legislatif ULMWP juga menyatakan mendukung sikap politik rakyat bangsa Papua Barat yang menolak Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua dan Papua Barat. Photo: Komite Legislatif ULMWP mengumumkan hasil Sidang Tahunan III pada 20 Oktober di Port Numbay atau Jayapura. (Supplied)
Pemerintah RI menepis isu yang menyebutkan adanya perpanjangan UU 21/2001 tentang Otsus Papua tersebut.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD pada awal Oktober lalu menyebut tak ada perpanjangan otonomi khusus Papua.
Menurut Menko Mahfud, sebagai sebuah aturan UU, otonomi khusus itu tidak bisa diperpanjang atau diperpendek.
Ia menjelaskan, Pemerintah RI tengah membahas masalah perpanjangan dana yang akan diberikan dalam implementasi UU Otsus Papua.
Pengaturan dana tersebut, kata Menko Mahfud dalam konferensi pers secara virtual, Kamis (1/10), akan berakhir pada tahun 2021.
Pasal 34 ayat 6 UU Otsus Papua Tahun 2001 menyebutkan bahwa dana perimbangan bagian Provinsi Papua, Kabupaten/Kota, dari bagi hasil pajak berlaku selama 20 tahun. Ketentuan ini akan jatuh pada Desember 2021 mendatang. Dibubarkan polisi
Sementara itu, laporan media setempat di Papua menyebutkan syukuran atas pelaksanaan Sidang Tahunan Komite Legislatif ULMWP yang digelar di Kamwoker pada hari Selasa (20/10), telah dibubarkan oleh aparat kepolisian.
Kapolresta Jayapura AKBP Gustav R. Urbinas didampingi Dandim 1701 Jayapura Letkol Edwin Apria Chandra tiba di lokasi kegiatan dan menemui Allen Halitopo, kepala hubungan komunikasi Biro Politik ULMWP.
Kapolresta Gustav Urbinas meminta massa yang berkumpul agar membubarkan diri karena "kegiatan ini tidak memiliki rekomendasi dari tim Gugus Tugas COVID-19". Photo: Bendera bintang kejora merupakan simbol gerakan kemerdekaan Papua. (Foreign Correspondent: Greg Nelson ACS)
Papua telah berada di bawah kekuasaan Indonesia selama lebih dari 50 tahun setelah diserahkan dalam perjanjian yang disahkan PBB saat era Perang Dingin.
Pada tahun 1969, Indonesia mengadakan penentuan pendapat rakyat yang disebut 'Act of Free Choice'. Tapi hanya lebih dari seribu warga Papua yang diizinkan untuk memilih.
Indonesia dinyatakan menang dengan suara bulat. Sementara kebanyakan warga Papua merasa dirampok dan gerakan kemerdekaan pun lahir.
Pemerintah Indonesia menyatakan kedua propinsi ini telah diberikan "status otonomi khusus dengan hak istimewa untuk memastikan partisipasi rakyat Papua dalam pembangunan".
Tapi aktivis Papua Barat menilai otonomi khusus bukanlah solusi. Mereka menginginkan kemerdekaan dari Indonesia dan "solusi final yang demokratis".
Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim untuk ABC Indonesia.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pengakuan Jubir Tentara Papua Merdeka soal Beli Senjata dari Aparat Indonesia