jpnn.com - Koran akan mati pada 2044.
Itu adalah ramalan Prof. Philip Meyer dari University of North Carolina, Amerika Serikat yang sering dikutip setiap kali orang berbicara mengenai nasib koran.
BACA JUGA: Aremania Mengamuk di Kanjuruhan, 5 Suporter Tergeletak Ditutupi Kain dan Koran
Dalam buku ‘’Vanishing Newspaper’’ (2004) itu Meyer tegas, tetapi hati-hati, meramalkan bahwa koran akan bertahan sampai 20 tahun ke depan, dan setelah itu good bye.
Meyer lebih berhati-hati dalam membuat ramalan.
BACA JUGA: KSAD Dudung Luncurkan Buku Loper Koran Jadi Jenderal
Sebagai akademisi Meyer menghitung semua variabel dengan cermat sebelum mengambil kesimpulan.
Pada bagian lain, Bill Gates pada 1990-an sudah berani meramal bahwa koran hanya bisa bertahan sampai 2000.
BACA JUGA: Foto Ciuman Dipajang di Halaman Depan Koran, Menteri Kesehatan Langsung Pamitan
Meyer dan Gates punya dasar prediksi masing-masing.
Sebagai inventor teknologi, Gates mendasari ramalannya berdasar pendekatan determinasi teknologi.
Terpaan perkembangan teknologi yang sangat cepat akan mempercepat industri media cetak untuk gulung tikar lebih cepat.
Kira-kira 20 tahun setelah ramalan Gates itu koran ternyata masih hidup.
Akan tetapi, tidak berarti ramalan Gates meleset sepenuhnya, karena banyak di antara koran yang hidup itu terlihat sebagai mayat hidup atau mungkin bisa disebut sebagai zombie.
Di Indonesia, koran mati lebih cepat. Mengawali 2023 ini koran Republika mengumumkan mengakhiri edisi cetak dan bertransformasi sepenuhnya ke platform digital.
Tekanan disrupsi digital akhirnya tidak tertahankan lagi, dan mengakhiri edisi cetak adalah pilihan terbaik.
Berakhirnya edisi cetak Republika menandai akhir sebuah era.
Republika lahir pada awal 1990-an ketika media cetak berada pada puncak kejayaan sebagai pengendali informasi.
Penerbitan Republika ketika itu menjadi tanda sejarah lahirnya jurnalisme Islam, yang menjadi penyeimbang bagi jurnalisme lain yang tidak islami.
Target yang diincar adalah Kompas, yang ketika itu menjadi media cetak yang paling berpengaruh di Indonesia.
Awal 1990-an menandai era baru pergeseran pendulum politik ke kanan melalui berdirinya ICMI (Ikatan Cendekiawan Islam Indonesia) oleh B.J Habibie.
Presiden Soeharto menciptakan ICMI sebagai bagian dari politik keseimbangan.
Kekuatan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) yang menjadi andalan kekuatan Soeharto sudah tidak bisa lagi sepenuhnya diandalkan.
Soeharto menciptakan penyeimbang bagi pengaruh ABRI, dan pilihannya jatuh ke Islam.
Soeharto--yang selama 20 tahun berkuasa bersikap keras terhadap Islam--kemudian bersikap lebih ramah.
Banyak kebijakan yang dikeluarkan yang memberi peluang lebih besar kepada kekuatan Islam untuk berkembang.
Dalam situasi seperti inilah Republika lahir.
Dia digadang-gadang menjadi media Islam yang menyuarakan jurnalisme yang lebih berpihak kepada Islam.
Dalam perjalanannya, Republika bisa menunjukkan bahwa jurnalisme Islam bisa bersaing secara profesional.
Akan tetapi, era itu hanya bertahan 30 tahun.
Disrupsi digital yang terjadi dalam satu dasawarsa terakhir terlalu berat untuk ditahan.
Republika mundur dari persaingan media cetak.
Sepeninggalan Repulika masih ada beberapa media sebagai ‘’last man standing’’ atau ‘’the last of the mohicans’’ yang berusaha untuk mempertankan hidup.
Republika dianggap sebagai representasi jurnalisme Islam. Prof. Janet Steele dari George Washington University, Amerika Serikat, menempatkan Republika sebagai bagian dari jurnalisme ‘’Islam kosmopolitan’’.
Dalam buku ‘’Mediating Islam’’ (2028) Steele meneliti media-media di Indonesia dan Malaysia untuk mengungkap bagaimana Islam memengaruhi praktik jurnalisme.
Steele meneliti praktik pelaporan profesional jurnalis muslim di lima kantor berita terkemuka di Indonesia dan Malaysia.
Kelimanya adalah Republika, Tempo, Sabili, Harakah, dan Malaysiakini.
Melalui penelitiannya selama 20 tahun terakhir di kedua negara tersebut, Steele membuktikan bahwa jurnalisme Islam itu ada dan dipraktikkan oleh para jurnalis profesional di Indonesia dan Malaysia.
Steele mengungkap bahwa wartawan-wartawan muslim Indonesia dan Malaysia sudah sangat paham terhadap gagasan Barat tentang prinsip jurnalisme seperti kebenaran, keseimbangan, verifikasi, dan independensi dari kekuasaan.
Bedanya adalah para jurnalis muslim itu menempatkan prinsip-prinsip sekuler itu dalam bingkai ajaran Islam.
Prinsip jurnalisme mengenai keberimbangan (covering both sides) atau keadilan, dibingkai sebagai bagian dari kewajiban muslim untuk berbuat adil kepada siapa pun dalam kondisi apa pun.
Terhadap orang non-muslim pun, tetap harus bersikap adil.
Wartawan muslim juga sering menggambarkan proses ‘’isnad’’, atau memeriksa “rantai penyebaran” ucapan dan perbuatan Nabi Muhammad, mirip dengan prinsip jurnalisme verifikasi.
Para jurnalis muslim mendefinisikan jurnalisme islami selaras dengan karakter-karakter sesuai ajaran Islam dengan misi ‘’amar ma’ruf nahi munkar’’ atau mengajak kebaikan dan mencegah hal-hal buruk.
Di kalangan jurnalis muslim Indonesia dan Malaysia, peran pers sebagai pengawas watch dog diposisikan bukan dalam bingkai liberalisme dan humanisme, tetapi lebih pada eksistensi manusia yang diciptakan oleh Tuhan untuk beribadah.
Dalam konsep barat, kebebasan pers adalah bagian dari kebebasan individual untuk memenuhi haknya guna mendapatkan informasi yang dibutuhkan sebagai bagian dari pemenuhan hak-hak asasi manusia.
Dalam konsep Islam, pemenuhan hak-hak informasi bukan sekadar untuk memenuhi hak asasi, tetapi bagian untuk memenuhi tugas ibadahnya sebagai hamba Tuhan.
Sabili merupakan media konservatif dan politis yang lahir seiring era keterbukaan media di Indonesia.
Islam yang direpresentasikan Sabili adalah skripturalis literalis, dan oleh sebagian keangan disebut sebagai fundamentalis.
Republika adalah representasi dari Islam yang lebih moderat dan modern.
Persaingan dengan media sekuler dilakukan dengan membidik pasar muslim kelas menengah perkotaan yang cenderung lebih aman dengan praktik Islam yang moderat.
Harakah adalah surat kabar Parti Islam Se-Malaysia (PAS) yang menerapkan prinsip jurnalisme dengan ajaran Islam dan kebutuhan partai politik mereka.
Para editor Harakah berupaya menjembatani kebutuhan partai dengan standar jurnalisme islami yang lebih tinggi, misalnya tentang verifikasi, yang sejalan dengan prinsip isnad.
Namun, terlepas dari komitmen terhadap kebebasan berekspresi, baik PAS maupun semua orang yang terkait dengan Harakah tetap berkomitmen terhadap gagasan negara Islam.
Malaysiakini lebih liberal ketimbang Harakah.
Meski demikian, para jurnalis Malaysiakini menempatkan Islam sebagai dasar untuk melaksanakan tugas profesional mereka.
Ada perbedaan nyata di antara wartawan Indonesia dan Malaysia karena faktor-faktor seperti warisan aturan kolonial, perkembangan awal pers nasional, politisasi agama, otoritas keagamaan, dan peran negara.
Janet Steele juga melihat Tempo dalam perspektif nilai-nilai Islam.
Bagi Tempo, yang penting adalah pluralisme, bukan Islam, meski sebagian besar wartawannya muslim.
Tempo telah memberi ruang pada para cendekiawan muslim progresif yang menyerukan pembaruan dalam pemikiran Islam.
Dengan demikian, Tempo dikategorikan telah mempromosikan pendekatan Islam yang kosmopolitan.
Janet Steele menyimpulkan bahwa wartawan muslim di Indonesia dan Malaysia menjunjung tinggi prinsip-prinsip dasar jurnalisme yang sama.
Hanya saja, cara mereka dalam memahami prinsip-prinsip tersebut berbeda karena nilai-nilai tempat mereka berpijak tidak liberal.
Wartawan muslim di Indonesia dan Malaysia--yang menolak label liberal dan sekuler--tetap mempromosikan toleransi dan demokrasi.
Kosmopolitanisme ini tampak pada Tempo dan Republika. Di Malaysia, Harakah dan Malaysiakini juga punya nilai-nilai kosmopolitanisme yang sama.
Republika menjadikan Islam kelas menengah atas sebagai ceruk pasar yang bermanfaat secara ekonomis.
Ketika Erick Thohir mengambil alih media itu pada awal 2000-an identitas keislaman masih dipertahankan, terutama untuk merebut ceruk pasar muslim kelas menengah kota.
Disrupsi digital mengubah total lanskap itu.
Idealisme Republika mungkin masih tetap bisa dipertahankan.
Akan tetapi, untuk bisa survive dalam persaingan digital, Republika tetap harus bersaing memperebutkan pengaruh algoritma, dan mau tidak mau harus terlibat dalam jurnalisme clickbyte. (**)
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror