ANIES Rasyid Baswedan bukanlah nama baru di dunia pendidikan Indonesia. Di usianya yang ke-38 tahun, Anies Baswedan sudah diangkat menjadi Rektor Universitas Paramadina yang membuat pria yang lahir di Kuningan Jawa Barat namun besar di Yogyakarta itu menjadi rektor termuda di Indonesia saat itu.
Sumbangsih Anies tak hanya eksklusif di universitas. Melalui program "Indonesia Mengajar", Anies mengirim pengajar-pengajar muda ke daerah untuk mengabdi. Pengajar muda yang merupakan lulusan terbaik di universitas ternama tesebut menularkan ilmunya ke siswa dan guru terpencil.
Ujian Nasional (UN) yang terus menuai kontroversi juga tidak luput dari pengamatan Anies Baswedan. Lalu bagaimana Anies melihat pelaksanaan UN secara keseluruhan? Berikut petikan wawancara Mahbub Amiruddin dari JPNN dengan Anies Baswedan di Universitas Paramadina, Jalan Gatot Subroto, Jumat (17/5):
Bagaimana evaluasi Pak Anies terhadap pelaksanaan UN tahun ini?
Secara manajemen, pelaksanaan UN tahun ini adalah yang paling buruk dari yang pernah dilakukan tahun-tahun sebelumnya. Fakta di lapangan, pelaksanaan UN di tingkat SMA tertunda akibat distribusi soal yang tidak tepat waktu. Pelaksanaan UN SMP juga sempat terhambat distribusi soal.
Apa penyebabnya?
Kita sama-sama sadar bahwa sentralisasi percetakan soal UN menjadi penghambat utama distribusi soal. Saya rasa akan lebih baik jika percetakan soal itu dikembalikan ke daerah. Bila ada kendala terhadap soal, apakah ada yang kurang atau tertukar tentu akan lebih gampang mengantisipasinya. Di tahun-tahun sebelumnya kekacauan distribusi soal yang menyebabkan pelaksanaan UN ditunda tidak pernah terjadi.
Apakah UN cocok untuk dunia pendidikan kita?
Indonesia membutuhkan alat ukur kinerja pendidikan. Kalau tidak ada alat ukur, darimana kita akan tahu kinerja anak-anak kita. Tetapi perlu saya tekankan, UN bukanlah alat metode yang tepat untuk menjadi alat ukur berhasil atau tidaknya kita mendidik siswa. Kalau kita tetap memakai metode UN, maka tidak mengherankan kalau 99 persen siswa dinyatakan lulus, kita tahu persis kok di lapangan bagaimana. Banyak pelanggaran-pelanggaran yang tidak hanya dilakukan oleh siswa, tetapi juga oleh para guru dan perangkat pendidikan yang ada di atasnya. Akhirnya kita tidak menemukan UN menjadi solusi untuk menjadi alat ukur tingkat keberhasilan anak-anak kita di sekolah.
Artinya UN tidak baik untuk dunia pendidikan kita?
Cara yang dilakukan UN tidak baik. Coba lihat, sekolah yang tingkat kelulusannya rendah malah mendapat hukuman. Kalau sistem seperti ini dilanjutkan maka tidak akan ada sekolah yang berani bersikap jujur. Karena kalau sekolah jujur malah dihukum. Sekolah justru akan terdorong untuk berbuat curang dan ini bukanlah contoh dan cara mendidik yang baik untuk siswa kita.
Menurut saya yang harus diuji bukan hanya ujian akhir karena itu tidak adil untuk siswa kita. Tapi kita harus melakukan pengujian secara bertahap. Kita perlu mencari terobosan untuk bisa menilai ulang dunia pendidikan, tetapi sekali lagi UN bukan alat ukur yang baik.
Alat ukur apa yang cocok untuk pendidikan kita?
Di banyak negara dilakukan. Pertama mindset atau cara berfikir pelaku pendidikan harus diubah. Harusnya untuk naik ke jenjang lebih tinggu siswa harus mendapat ujian. Tapi ujian untuk siswa jangan dilakukan di akhir. Jangan hanya diuji di kelas 6 atau kelas 9 atau kelas 12. Anak-anak harus diuji pada setiap fase.
Kedua, gurunya juga harus mengalami tahap upgrading. Bagaimana mau memberikan pelajaran yang baik kalau gurunya tidak bagus, bagaimana mau menularkan ilmu kalau gurunya kurang bermutu. Perlu diingat, prestasi siswa di sekolah adalah cermin dari prestasi guru. Nah untuk mencapainya, guru juga harus ikut diupgrade dan dievaluasi, tidak bisa hanya siswanya saja.
Mendikbud selalu bilang UN untuk pemetaan pendidikan, tanggapan Anda?
Pemetaan memang harus dilakukan. Tapi pelaksanaan UN justru membuat siswa kita menjadi terhukum. Kita lihat di lapangan, bila tidak meraih nilai standar kelulusan maka anak itu yang harus menanggung konsekuensinya. Padahal bisa saja sekolahnya kurang baik, gurunya kurang atau bukunya kurang, keluarganya juga miskin. Tapi tapi anak itu yang harus menanggung seluruh dosanya.
Apakah Anda setuju percetakan soal UN dibawa ke ranah hukum?
Jika memang ada pelanggaran yang menimbulkan tindak pidana, tentu saja saya sangat setuju jika dibawa ke ranah hukum. Semua komponen yang terlibat dalam pelanggaran tersebut harus ikut bertanggungjawab. Jika bisa diusut secara tuntas maka akan menjadi hal maju dalam dunia pendidikan kita. Pelaksanaan UN yang amburadul jangan hanya mengorbankan siswa. (abu/jpnn)
Sumbangsih Anies tak hanya eksklusif di universitas. Melalui program "Indonesia Mengajar", Anies mengirim pengajar-pengajar muda ke daerah untuk mengabdi. Pengajar muda yang merupakan lulusan terbaik di universitas ternama tesebut menularkan ilmunya ke siswa dan guru terpencil.
Ujian Nasional (UN) yang terus menuai kontroversi juga tidak luput dari pengamatan Anies Baswedan. Lalu bagaimana Anies melihat pelaksanaan UN secara keseluruhan? Berikut petikan wawancara Mahbub Amiruddin dari JPNN dengan Anies Baswedan di Universitas Paramadina, Jalan Gatot Subroto, Jumat (17/5):
Bagaimana evaluasi Pak Anies terhadap pelaksanaan UN tahun ini?
Secara manajemen, pelaksanaan UN tahun ini adalah yang paling buruk dari yang pernah dilakukan tahun-tahun sebelumnya. Fakta di lapangan, pelaksanaan UN di tingkat SMA tertunda akibat distribusi soal yang tidak tepat waktu. Pelaksanaan UN SMP juga sempat terhambat distribusi soal.
Apa penyebabnya?
Kita sama-sama sadar bahwa sentralisasi percetakan soal UN menjadi penghambat utama distribusi soal. Saya rasa akan lebih baik jika percetakan soal itu dikembalikan ke daerah. Bila ada kendala terhadap soal, apakah ada yang kurang atau tertukar tentu akan lebih gampang mengantisipasinya. Di tahun-tahun sebelumnya kekacauan distribusi soal yang menyebabkan pelaksanaan UN ditunda tidak pernah terjadi.
Apakah UN cocok untuk dunia pendidikan kita?
Indonesia membutuhkan alat ukur kinerja pendidikan. Kalau tidak ada alat ukur, darimana kita akan tahu kinerja anak-anak kita. Tetapi perlu saya tekankan, UN bukanlah alat metode yang tepat untuk menjadi alat ukur berhasil atau tidaknya kita mendidik siswa. Kalau kita tetap memakai metode UN, maka tidak mengherankan kalau 99 persen siswa dinyatakan lulus, kita tahu persis kok di lapangan bagaimana. Banyak pelanggaran-pelanggaran yang tidak hanya dilakukan oleh siswa, tetapi juga oleh para guru dan perangkat pendidikan yang ada di atasnya. Akhirnya kita tidak menemukan UN menjadi solusi untuk menjadi alat ukur tingkat keberhasilan anak-anak kita di sekolah.
Artinya UN tidak baik untuk dunia pendidikan kita?
Cara yang dilakukan UN tidak baik. Coba lihat, sekolah yang tingkat kelulusannya rendah malah mendapat hukuman. Kalau sistem seperti ini dilanjutkan maka tidak akan ada sekolah yang berani bersikap jujur. Karena kalau sekolah jujur malah dihukum. Sekolah justru akan terdorong untuk berbuat curang dan ini bukanlah contoh dan cara mendidik yang baik untuk siswa kita.
Menurut saya yang harus diuji bukan hanya ujian akhir karena itu tidak adil untuk siswa kita. Tapi kita harus melakukan pengujian secara bertahap. Kita perlu mencari terobosan untuk bisa menilai ulang dunia pendidikan, tetapi sekali lagi UN bukan alat ukur yang baik.
Alat ukur apa yang cocok untuk pendidikan kita?
Di banyak negara dilakukan. Pertama mindset atau cara berfikir pelaku pendidikan harus diubah. Harusnya untuk naik ke jenjang lebih tinggu siswa harus mendapat ujian. Tapi ujian untuk siswa jangan dilakukan di akhir. Jangan hanya diuji di kelas 6 atau kelas 9 atau kelas 12. Anak-anak harus diuji pada setiap fase.
Kedua, gurunya juga harus mengalami tahap upgrading. Bagaimana mau memberikan pelajaran yang baik kalau gurunya tidak bagus, bagaimana mau menularkan ilmu kalau gurunya kurang bermutu. Perlu diingat, prestasi siswa di sekolah adalah cermin dari prestasi guru. Nah untuk mencapainya, guru juga harus ikut diupgrade dan dievaluasi, tidak bisa hanya siswanya saja.
Mendikbud selalu bilang UN untuk pemetaan pendidikan, tanggapan Anda?
Pemetaan memang harus dilakukan. Tapi pelaksanaan UN justru membuat siswa kita menjadi terhukum. Kita lihat di lapangan, bila tidak meraih nilai standar kelulusan maka anak itu yang harus menanggung konsekuensinya. Padahal bisa saja sekolahnya kurang baik, gurunya kurang atau bukunya kurang, keluarganya juga miskin. Tapi tapi anak itu yang harus menanggung seluruh dosanya.
Apakah Anda setuju percetakan soal UN dibawa ke ranah hukum?
Jika memang ada pelanggaran yang menimbulkan tindak pidana, tentu saja saya sangat setuju jika dibawa ke ranah hukum. Semua komponen yang terlibat dalam pelanggaran tersebut harus ikut bertanggungjawab. Jika bisa diusut secara tuntas maka akan menjadi hal maju dalam dunia pendidikan kita. Pelaksanaan UN yang amburadul jangan hanya mengorbankan siswa. (abu/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ini Teguran Buat Saya
Redaktur : Tim Redaksi