University of New South Wales (UNSW) menerima kritik setelah menghapus unggahan di Twitter yang bernada kritis terhadap Beijing. Unggahan tersebut sebelumnya menuai sejumlah reaksi online, sampai sempat diliput oleh media China.
Akun resmi Twitter UNSW Jumat lalu mengunggah sebuah artikel berisi kutipan dari direktur Human Rights Watch Australia dan dosen hukum, Elaine Pearson.
BACA JUGA: Corona Masih Ganas, Melbourne Isyaratkan Belum Berani Cabut Lockdown
Kutipan tersebut berbunyi: "Sekarang adalah momen penting untuk menyorotkan perhatian kepada situasi yang kian memburuk di Hong Kong".
Beberapa jam setelahnya, muncul twit baru dari akun tersebut, yang berbunyi: "Pendapat yang dikemukakan oleh akademisi kami tidak selalu mewakili pandangan UNSW."
BACA JUGA: Tiongkok Bangun Jalur Bawah Laut untuk Kereta Cepat
"Kami memiliki hubungan yang panjang dan penting dengan China sejak 60 tahun yang lalu," bunyi unggahan tersebut.
"UNSW menyediakan lingkungan yang terbuka & inklusif & bangga menerima kehadiran mahasiswa yang datang dari lebih dari 100 negara."
BACA JUGA: Meriahnya Iduladha di Kampung Halaman Muslim Uighur, Pemerintah Ikut Potong Ribuan Hewan Kurban
Namun, akhirnya, kedua twit ini dihapus. External Link: @badiucao tweet: An unacceptable disgrace. @UNSW deletes tweet of an article about #HongKong human rights abuse by @PearsonElaine , AUS director of @hrw , over pressure from Chinese nationalists
Artikel yang dimuat di situs Hukum UNSW menyuarakan jika China membutuhkan tekanan internasional untuk mengakhiri kesalahan yang terjadi di Hong Kong, yang juga mengutip Elaine Pearson.
Elaine mengatakan artikel tersebut sempat dihapus dari situs UNSW Sabtu lalu, namun sekarang bisa diakses kembali.
Mahasiswa China diketahui melaporkan tulisan ini kepada kedutaan China dan meminta agar pihaknya mendesak universitas tersebut untuk menghapus artikel dan unggahan yang berkaitan dengannya.
Elaine mengatakan sedang menunggu klarifikasi dari UNSW tentang apa yang sebenarnya terjadi. 'Melindungi hak asasi tidak kontroversial'
"Saya tidak menulis artikel itu … saya memiliki pandangan tentang apa yang terjadi di Hong Kong dan apa yang seharusnya dilakukan oleh komunitas internasional," kata Elaine.
"Pandangan ini jelas sekali menyinggung pendukung Partai Komunis China yang secara agresif dan beramai-ramai mendesak universitas untuk menghapus berita tersebut." Photo: Elaine Pearson, direktur 'Human Rights Watch' di Australia mengatakan bahwa China adalah "penganggu" dan Australia harus menghentikannya. (ABC)
Tabloid 'Global Times', yang dikelola China, melaporkan penghapusan unggahan di Twitter tersebut "tidak membuat puas mahasiswa China" dan "mereka masih bernegosiasi dengan universitas, memohon permintaan maaf atas unggahan Twitter tersebut".
"Sangat mengkhawatirkan menyaksikan universitas Australia menyerah pada tekanan dan mengabaikan nilai kebebasan akademis dan berpendapat di kampus," ujar salah satu Senator dari negara bagian Victoria, James Paterson.
"UNSW sayangnya menjadi contoh bagaimana hubungan dengan Partai Komunis China menjatuhkan universitas [di Australia]."
Sementara Senator dari Partai Buruh, Tony Sheldon, mengunggah di akun Twitter-nya: "Bagaimana bisa @UNSW menyebut dirinya sebuah universitas dengan mengizinkan hal seperti ini terjadi? Di saat pendapat yang patut dihormati dari @PearsonElaine dan @hrw disensor, kita menghadapi masalah besar." External Link: @senator_sheldon tweet: How can @UNSW call itself a university if they allow this to happen?
"Ini benar-benar adalah dampak buruk dari penyensoran yang dipaksakan sehingga artikel berdasarkan fakta tentang situasi mengerikan di Hong Kong, harus dihapus tanpa alasan yang jelas oleh @UNSW, atas dasar ketakutan," demikin unggahan lainnya dari wakil editor majalah 'Foreign Policy', James Palmer, di Twitter.
Dalam artikel tersebut, Elaine menyebut pengenalan hukum nasional kontroversial di Hong Kong sebagai "lonceng kematian bagi 'sebuah negara dengan dua sistem'".
Pernyataan tersebut merujuk pada sebuah sistem yang seharusnya memberikan otonomi lebih besar kepada Hong Kong, setelah kepemimpinannya diserahkan dari Inggris kepada China di tahun 1997.
Beberapa remaja ditangkap di Hong Kong di bawah hukum baru tersebut pekan lalu.
"Melindungi hak asasi manusia warga Hong Kong seharusnya tidak menjadi sesuatu yang kontroversial," katanya kepada ABC
Dalam program Q&A di ABC pada bulan Mei, ia mengatakan China adalah "pengganggu" dan Pemerintah Australia harus menentangnya.
Ia "meminta universitas untuk memastikan adanya perlindungan yang kuat atas kebebasan akademik dalam menghadapi ancaman itu".
Kedutaan China maupun UNSW tidak menanggapi permintaan ABC untuk memberikan komentar. UNSW memiliki ikatan kuat dengan China
Mahasiswa dari China berjumlah hampir seperempat dari total keseluruhan mahasiswa UNSW, sekitar 16.000 orang, di luar hubungan bisnis dan kerja sama penelitian universitas tersebut, yang kuat dengan China.
Sosiolog University of Sydney, Salvatore Babones memperkirakan 22 persen dari pendapatan UNSW diperoleh dari biaya kuliah yang dibawa siswa internasional asal China.
UNSW juga menjadi rumah dari apa yang dikenal dengan 'Torch Innovation Precinct' pertama di luar China, yang diluncurkan oleh perdana menteri saat itu, Malcolm Turnbull, dan Perdana Menteri China Li Keqiang pada tahun 2016.
"Sejak tahun 1988, program Torch China telah berhasil menempatkan bisnis, universitas, dan organisasi penelitian di China dalam bidang sains dan teknologi untuk mendorong inovasi," kata siaran pers UNSW saat itu.
"Kemitraan ini adalah yang pertama di dunia dan memiliki potensi untuk memulihkan hubungan bilateral Australia-China dan meningkatkan sistem inovasi negara," kata Presiden dan Wakil Rektor UNSW, Ian Jacobs.
Laporan tahunan UNSW tahun lalu mengatakan, universitas ini telah menandatangani kontrak bernilai lebih dari A$60 juta dengan 42 mitra China di bawah skema Torch sejak 2016. Photo: Presiden dan Wakil Rektor UNSW Australia, Ian Jacobs, menandatangani program kerjasama 'Torch Innnovation Precinct' bersama mantan perdana menteri Malcolm Turnbull dan Premier Li Keqiang di 'Great Hall of the People' di Beijing. (Supplied: UNSW)
Pada Juni 2018, universitas ini juga membuka UNSW China Center di Shanghai "untuk memperlihatkan kehadiran institusi ini di China dan selanjutnya membangun hubungan China-Australia".
Universitas ini juga merupakan rumah bagi Institut Konfusius yang didanai Pemerintah China, yang dalam situs webnya tergambar sebagai "perwujudan harmoni lintas budaya".
UNSW baru-baru ini juga mengumumkan rencana memberhentikan 500 staf penuh waktu karena kekurangan dana sebesar A$370 juta, terkait berkurangnya pendapatan siswa internasional karena pandemi virus corona.
Pada bulan Juni, Biro Pendidikan China memperingatkan warganya untuk tidak bepergian ke Australia karena meningkatnya "insiden rasis" selama pandemi.
Ikuti berita lainnya di ABC Indonesia.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pengangguran di Australia Naik, Mengapa Pemilik Kebun Takut Kekurangan Pekerja?