Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia didesak untuk meningkatkan usaha dan kepekaan mereka dalam mencermati masuknya pengaruh paham radikal di lingkungan kampus mereka.

Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan dalam sebuah acara di Jawa Tengah mengungkapkan sebanyak 39 persen mahasiswa di sejumlah perguruan tinggi terpapar radikalisme.

BACA JUGA: Dua Bangkai Kapal Ditemukan Dalam Operasi Pencarian MH370

BIN mengatakan sejumlah kampus di 15 provinsi di Tanah Air ditengarai menjadi tempat pembasisan calon-calon pelaku teror baru dari kalangan mahasiswa.

Hasil penelitian ini ditanggapi beragam oleh kalangan mahasiswa.

BACA JUGA: Pria Perth Terobos Lapangan Kriket Tanpa Busana

Nurul Fitri Annisa, mahasiswi semester 6 Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Indonesia (UI) Depok ini mengaku tidak pernah menjumpai aktifitas yang menjurus pada paham radikal di kampusnya.

“Saya gak pernah melihat hal yang seperti itu. Kalau di masjid atau di pengajian yang diajarkan cuma kajian umum. Sebagai muslim kita ingin selalu lebih baik, makanya kita belajar ilmu agama juga gak cuma belajar ilmu eksak selama di kampus,” tuturnya.

BACA JUGA: Penipuan Lotere Facebook Makan Korban di Queensland

Namun Nurul mengaku tidak tertutup kemungkinan jika ada diantara rekan-rekannya sesama mahasiswa UI di fakultas lain yang berpandangan radikal.

Berbeda dengan Nurul, mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Muhammad Fatih Akmal justru mengakui jika sejumlah rekannya memang memiliki pemikiran ekstrim. Photo: Muhammad Fatih Akmal, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah, mengakui ada rekan-rekannya yang berpaham ekstrim di kampusnya. (Supplied: pribadi)

Menurut Fakih Akmal, mereka yang berpikiran garis keras bisa ditandai dari penampilan mereka yang berbeda. Seperti mengenakan cadar bagi perempuannya dan pria mengenakan celana menggantung.

Namun yang kentara sekali menurut Muhammad Fatih Akmal adalah sikap konservatif mereka bahkan terhadap mata kuliah yang mereka ambil sekalipun.

“Di kampus ada pelajaran menafsirkan Al Qur’an dengan metode barat, mereka menolak mata kuliah itu. Bagi mereka Al Quran hanya boleh ditafsirkan oleh ulama-ulama Timur Tengah, dan mereka pilih pindah Fakultas," tutur mahasiswa semester akhir ini.

Ia juga mengatakan sebelum berpaham konservatif rekan-rekannya kerap menghadiri kajian di kampus yang diselengarakan oleh organisasi pengusung paham ekstrim seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebelum dinyatakan sebagai organisasi terlarang oleh pemerintah,Pembinaan oleh kampus

Penuturan Muhammad Fatih Akmal ini tidak mengejutkan karena beberapa terpidana kasus terorisme tercatat pernah mengenyam pendidikan di kampus yang beralamat di Jalan Ir H Juanda No 95, Ciputat, Kota Tangerang Selatan, Banten ini.

Seperti Pepi Nugraha, pelaku teror bom buku pada tahun 2011 lalu yang divonis 18 tahun penjara. Photo: UIN Syarif Hidayatulloh Jakarta membekali mahasiswa baru dengan pengetahuan mendeteksi paham radikal. (UIN Syarif Hidayatulloh Jakarta)

Pihak kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sendiri mengaku menyadari situasi ini.

“UIN saat ini punya 23 ribu mahasiswa. Sulit kita kalau untuk mengontrol semuanya, kecuali yang ada di dalam kampus saja." kata Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Profesor Dr. Yusron Razak.

"Pembinaan yang kita lakukan bisa dipastikan tidak ada yang menjurus pada paham radikal. Kecuali kalau mereka dibina di luar UIN atau sebelum masuk UIN memang sudah memiliki potensi radikal.” lanjutnya.

Yusron Razak juga menjelaskan pihaknya juga melakukan pendekatan dialogis kepada mahasiswa yang memiliki pemikiran ekstrim.

“Untuk membina mahasiswa yang sudah memiliki pandangan ekstrim, itu dilakukan oleh fakultas. Dosen akan memantau mahasiswa itu dan bertanggung jawab untuk memberikan kesadaran pada mahasiswa itu melalui perluasan wawasan bukan indoktinasi.”

Menurut Yusron Razak UIN Syarif Hidayatullah Jakarta juga melakukan upaya pencegahan dari aspek kurikulum.

“Kita menghindari konten kurikulum yang dapat mendorong mahasiswa bertindak radikal. Para dosen diwajibkan untuk selalu jelaskan ayat-ayat  al Qur’an atau ajaran Islam yang terkait dengan hal-hal yang bisa disalahtafsirkan sebagai dalil berperilaku radikal dengan menjelaskan latar belakang turunnya ayat tersebut.”

“Dosen juga diminta menampilkan ayat lain yang menganjurkan umat Islam untuk bersikap lebih baik dan menampilkan ajaran Islam yang ramah, moderat dan tidak menonjolkan aspek ajaran Islam yang keras.”Kaum muda dan stratejik jangka panjang

Hasil penelitian oleh Badan Intelejen Negara (BIN) juga mengungkapkan terjadinya peningkatan paham konservatif keagamaan di kalangan pelajar dan mahasiswa. Dimana dari penelitian itu diperoleh data 24 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar SMA setuju dengan jihad demi tegaknya negara Islam.

Temuan ini juga didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Lembaga lain. Misal pada 2017 lalu Wahid Foundation juga merilis temuan hampir 60% peserta kegiatan kerohanian Islam (rohis) di sekolah menengah 'siap berjihad dengan jalan kekerasan'. Photo: Wahid Foundation pada tahun 2017 merilis temuan hampir 60% peserta kegiatan kerohanian Islam (rohis) di sekolah menengah 'siap berjihad dengan jalan kekerasan'. (ABC)

Sementara riset oleh Mata Air Fondation dan Alvara Research Center juga menyebut '23,5% mahasiswa dan 16,3% pelajar menganggap Indonesia perlu diperjuangkan menjadi negara Islam yang menerapkan hukum agama secara utuh'.

Wakil Direktur SETARA Institut, Bonar Tigor Naipospos menilai seluruh temuan ini kian menegaskan betapa rentannya kalangan pelajar dan mahasiswa menjadi sasaran penyebaran paham radikalisme.  Menurutnya kalangan anak muda di Indonesia sangat potensial dimanfaatkan untuk rencana stratejik jangka panjang kelompok berpaham radikal di tanah air.

“Indonesia sedang menghadapi bonus demografi, kelompok warga berusia 16-35 tahun itu menjadi kelompok yang terbesar. Dan mereka akan menjadi penentu masa depan juga.  Itu sebabnya mereka dianggap sangat penting dan potensial sebagai basis mengembangkan sayap dan pengaruh untuk kepentingan jangka panjang kelompok berpaham radikal.”

Oleh sebab itu, SETARA mendesak perguruan tinggi untuk meningkatkan upaya mereka dalam mencegah penyebaran paham radikal ini.

“Perguruan Tinggi (PT) harus peka dalam mencermati apakah ada di lingkungan mereka aktivitas yang mengarah pada perilaku radikal. Misalnya memantau pesan-pesan yang disampaikan dalam forum-forum yang dilakukan di kampus mereka. Mencermati adanya penyebaran pesan atau selebaran yang isinya."

Prihatin dengan penyebaran paham radikal dikalangan pelajar dan mahasiswa, pada akhir tahun lalu, ratusan perguruan tinggi negeri dan swasta dari seluruh Indonesia mendeklarasikan komitmen Anti Radikalisme di Nusa Dua, Bali.

Ketika itu Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Mohammad Nasir menegaskan Perguruan tinggi harus merawat empat pilar kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Bentuk konkrit komitmen ini menurut Mohamad Nasir dilakukan Kemenristekdikti dengan memperketat proses seleksi dosen dan CPNS maupun pegawai tetap non PNS. Dimana selain kemampuan akademik dan kemampuan dasar yang baik, mereka juga tidak boleh terpapar dengan radikalisme.

Kemenristek Dikti mengaku melibatkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam melakukan skrining tersebut.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Puluhan Ribu Kasus Kamera Lalu Lintas di Australia Barat Mungkin Keliru

Berita Terkait