jpnn.com - PADA Pilpres 2014 dan 2019, keluarga korban penculikan dan penghilangan paksa aktivis pro demokrasi 1997-1998 yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) menyatakan menolak untuk memilih calon presiden Prabowo Subianto.
Bagaimana sekarang?
BACA JUGA: Masyarakat Diajak untuk Memilih Pemimpin yang Jauh dari Pelanggaran HAM
Pekan lalu, rakyat Indonesia telah menyaksikan debat pertama Pilpres 2024 yang menampilkan tiga capres, yakni Anies Baswedan, Prabowo, dan Ganjar Pranowo.
Salah satu isu yang diangkat ialah Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk soal penyelesaian kasus penghilangan paksa yang menjadi rekomendasi DPR RI pada 2009.
BACA JUGA: Mimbar Demokrasi Mahasiswa Jambi: Lawan Dinasti dan Pelanggar HAM!
"Capres bernomor urut 2 Prabowo Subianto mengulangi jawaban yang sama seperti 2014 dan 2019, bahwa soal kasus penculikan aktivis adalah isu lima tahunan yang diarahkan pada dirinya dan menilai pertanyaan tersebut sangat tendensius," tutur Sekjen IKOHI Zaenal Muttaqin dalam keterangan pers, Kamis (21/12).
"Jawaban Prabowo dalam debat tersebut membuat IKOHI harus mengulangi jawaban yang sama. Dalam Pilpres 2024 nanti IKOHI menyerukan, untuk yang ketiga kalinya, mari kalahkan capres pelanggar HAM di kotak suara," imbuh Zaenal.
BACA JUGA: YLBHI Nilai Komitmen Prabowo soal Pengadilan HAM Paling Lemah
Menurutnya, IKOHI tidak akan memilih capres yang diduga kuat sebagai dalang penculikan aktivis 1997-1998.
"Pada 2006, hasil penyelidikan Pro Justicia Komnas HAM menyatakan kasus tersebut melibatkan Tim Mawar yang dikomandani oleh Letnan Jenderal Prabowo Subianto. Hasil tersebut merupakan proses hukum dan kelanjutan dari keputusan sidang Dewan Kehormatan Perwira (DKP) ABRI pada 1998 yang memberhentikan dengan tidak hormat Prabowo Subianto," tutur Zaenal.
Dia menjelaskan, tuntutan para keluarga korban menuntaskan kasus penculikan aktivis 1997-1998 juga sudah direkomendasikan DPR RI sejak 2009.
Namun, entah kenapa, partai politik di DPR RI tidak berani menuntut presiden menjalankanya, baik di era Soesilo Bambang Yudoyono hingga Jokowi.
Menurut Zaenal, jika partai-partai yang mendukung penuntasan kasus tersebut serius, maka sekarang saat yang tepat untuk memanggil presiden melaksanakan rekomendasi tersebut.
Keempat rekomendasi tersebut, yakni:
- Membentuk pengadilan HAM adhoc untuk pelaku penculikan
- Membentuk tim pencarian aktivis yang masih hilang
- Reparasi dan kompensasi pada keluarga aktivis korban penculikan
- Ratifikasi konvensi anti-penghilangan paksa.
"Dari empat tuntutan tersebut, nomor 1 dan 2 menjadi prioritas keluarga korban," kata Zaenal.
Kasus penghilangan orang secara paksa telah berlarut.
Keluarga korban masih terus menanti kejelasan keberadaan mereka yang masih hilang.
Satu per satu orang tua korban telah meninggal dalam penantian panjang dalam ketidakkpastian.
Beberapa keluarga korban lain juga dalam kondisi kesehatan fisik dan psikis yang menurun akibat pelanggaran HAM yang mereka alami.
"Pak Utomo ayah dari Bimo Petrus dalam beberapa minggu ini sedang pemulihan dari serangan jantung. Dalam pemulihan ia masih sempat berfoto mengenakan kaus bertuliskan orang baik tidak pilih penculik," tutur Zaenal.
"Sudah 25 tahun dan sudah empat presiden kami berjuang agar pemerintah membentuk tim pencarian aktivis yang masih hilang dan menggelar pengadilan HAM bagi para pelaku," imbuhnya.
Bagi IKOHI, harapan penyelesaian kasus penculikan aktivis menjadi makin sulit bila pelaku yang seharusnya bertanggung jawab atas penculikan menjadi presiden.
"Keluarga korban penculikan tidak punya bayangan bahwa pelaku pelanggar HAM, terduga pelaku penculikan yang belum mempertanggungjawabkan tindakannya secara hukum itu dipilih menjadi presiden," kata Zaenal. (*/jpnn)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur & Reporter : Mufthia Ridwan