Melihat para petani perempuan dan petani difabel di Kulon Progo, Yogyakarta, yang kurang memiliki pengetahuan dan dilibatkan untuk mengatasi perubahan iklim, Lastiana Yulandari tidak tinggal diam.

Ia mendirikan sebuah lembaga bernama Aliet Green untuk memberikan pelatihan dan teknologi yang terjangkau bagi petani untuk menghadapi cuaca yang semakin tak menentu.

BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Tanggapan Israel Soal Surat Perintah Penangkapan PM Netanyahu

Menurut Lastiana petani adalah kelompok yang paling rentan terhadap perubahan iklim, tapi mereka tidak memahami bagaimana menyikapinya.

"Buat mereka, climate change itu kan sesuatu yang scientific banget," ujarnya kepada Billy Adison dari ABC Indonesia.

BACA JUGA: Pupuk Indonesia Percepat Penebusan Pupuk Subsidi di Wonogiri untuk Dukung Musim Tanam

"Mereka merasakan ada suatu perubahan tapi mereka enggak bisa bilang [itu disebabkan] climate change," kata Lastiana.

"Terutama [petani] yang difabel dan perempuan, mereka merasa ... 'Kok saya enggak pernah diajarin ini sama orang tua saya kalau ada perubahan kalendar seperti ini?"

BACA JUGA: Pupuk Indonesia dan Wapres Ajak Petani Tebus Pupuk Bersubsidi di Kegiatan Rembuk Tani

"Mereka merasa ada yang missing [soal pengetahuan], padahal sebenernya enggak."

Lastiana mengatakan sebenarnya petani tradisional di Indonesia memiliki pengetahuan soal pertanian berkelanjutan, yang diwariskan secara turun temurun dalam keluarga petani.

Termasuk pengetahuan 'regenerative organic practices' yang diantaranya fokus pada kesehatan tanah dan kesejahteraan petani.

Tapi ia mengatakan banyak pengetahuan tradisional ini hilang antara generasi, sehingga mereka kurang paham dampak perubahan iklim pada hasil pertanian.

Setidaknya sudah ada 1.500 petani kecil yang mendapat pelatihan dan diberdayakan oleh Aliet Green, hingga mengantarkan lembaga ini mendapat penghargaan Local Adaptation Champions Awards, yang diberikan di acara Conference of the Parties (COP29) di kota Baku, Azerbaijan, awal pekan kemarin.

"Jadi ini bukan hanya semacam personal milestone … tapi juga sebenarnya dedikasi yang kita lakukan kepada petani kecil yang sebenarnya mereka itu yang lebih mengalami greatest challenge."

Penghargaan diberikan kepada sejumlah organisasi dan lembaga yang dianggap bisa menjadi contoh untuk mengatasi perubahan iklim. 

Aliet Green memenangkan kategori Local Entrepreneurship. 

"Penghargaan ini merupakan kesempatan untuk merayakan langkah-langkah adaptasi lokal yang terbaik dan tercerdas di seluruh dunia yang menangani dampak perubahan iklim secara langsung," ujar Profesor Patrick Verkooijen, CEO dari lembaga Global Center on Adaptation yang memberikan penghargaan.Alasan fokus membantu perempuan dan difabel

Pertanian di Indonesia, menurut Lastiana sudah sejak lama "tidak adil", hanya memprioritaskan petani pria, selaku kepala keluarga atau yang punya lahan, padahal banyak pekerjaan justru dilakukan oleh para perempuan.

"Mereka [petani perempuan] yang maintain farm-nya, dia yang mengolah produknya, tapi uangnya selalu dipegang oleh suaminya, atau dipegang sama yang punya lahan," jelasnya.

Dari urusan rumah tangga hingga aktivitas pertanian, petani perempuan seringkali sulit mencari waktu dan mendapat bantuan untuk mengembangkan keterampilan mereka.

Sementara petani difabel memiliki potensi untuk dilibatkan dalam industri pertanian, menurut Lastiana, tapi sering diabaikan karena kemampuannya diragukan.

"Bagaimana yang difabel ini mau naik kelas kalau dia sendiri tidak pernah diberi kesempatan?" ujarnya.

Lastiana mengatakan dengan mengedepankan pertanian yang lebih berkelanjutan serta mensejahterakan petani, mereka bisa mendapat sertifikat 'Fairtrade' untuk hasil panennya, termasuk gula kelapa.

Mereka membudidayakan tanaman pangan dengan nilai tinggi sebagai sumber pendapatan tambahan, atau jika produk utama mereka mengalami gagal panen.

"Pembeli ini juga kita ajak untuk bisa berkontribusi ke komunitas," jelas Lastiana.

"Jadi enggak cuman membeli terus selesai hubungannya dan mereka juga berkontribusi kepada komunitas."Komitmen Australia dan Indonesia

Indonesia termasuk negara yang rentan terhadap perubahan iklim, sehingga sudah ada sejumlah upaya untuk mengatasinya melalui proyek kolaborasi dengan lembaga dan universitas di luar negeri.

Misalnya, program 'Revitalising Informal Settlements and their Environments' (RISE) untuk warga di Makassar yang juga melibatkan Monash University di Australia.

Warga terpinggirkan yang tinggal di permukiman informal di Makassar hidup dalam kondisi rentan terhadap banjir karena perubahan iklim.

"Komunitas-komunitas ini, misalnya, sudah terkena banjir lebih sering dan lebih parah… dan yang menarik, ada peningkatan tingkat kekeringan," kata Diego Ramirez-Lovering, salah satu pimpinan riset RISE dari Monash University.

"Jadi komunitas-komunitas ini menderita panas ekstrem dan berkurangnya air seiring waktu."

Dari data RISE diketahui sekitar 20 persen penduduk permukiman informal di Makassar hidup tanpa fasilitas sanitasi yang memadai, serta akses air minum terbatas.

"Ketika ada kekurangan fasilitas yang memadai, itu [perubahan iklim] sangat dirasakan oleh mereka."

Program RISE sudah delapan tahun mencoba membantu warga Makassar untuk menanggulangi banjir, mengatasi pengelolaan limbah rumah tangga, serta meningkatkan kebersihan air dan sanitasi sekitar permukiman informal.

Nur Intan Putri sudah lama tinggal di Makassar dan juga bekerja sama dengan RISE sejak tahun 2017.

Menurutnya, masyarakat setempat sempat ragu apakah program tersebut dibutuhkan.

"Sebenarnya di beberapa lokasi itu [mereka] berpikir bahwa sanitasi dan kesehatan mereka itu baik-baik saja. Dan menurut mereka mereka tidak pernah merasakan sakit yang signifikan," katanya.

Namun setelah pendekatan yang lebih partisipatif dan transparan dengan warga, mereka kini memiliki rawa yang pantas untuk berkebun, serta air bersih yang sudah tersaring untuk pemakaian sehari-hari.

Di Jawa Barat, sungai Citarum menjadi salah satu sungai yang paling tercemar di dunia.

Tapi sekitar 25 juta orang masih ketergantungan air dari sungai ini, termasuk untuk keperluan pertanian dan perikanan, bahkan pariwisata.

Program 'Citarum Action Research Program' (CARP), yang juga melibatkan Monash University, sudah berupaya membersihkan limbah dan polusi sepanjang daerah aliran sungai Citarum.

Diego, yang juga turut memimpin CARP, mengatakan akar masalah sungai Citarum adalah kurang pahamnya warga soal tata cara membuang limbah rumah tangga, serta kekurangan infrastruktur yang memadai sepanjang sungai.

"Banyak sekali limbah padat yang dihasilkan oleh masyarakat yang membuang sampah ke sungai, dan tidak ada layanan dari pemerintah," katanya.

Namun dengan masa uji coba selama setahun terakhir, CARP sudah mengumpulkan sampah padat dari sekitar 400 rumah tangga, memisahkan sampah tersebut menjadi organik dan non-organik, lalu diolah untuk menghasilkan sumber daya terbarukan.

Didanai oleh Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia, serta melibatkan pemerintah lokal di Indonesia, Diego mengatakan sejumlah proyek, seperti RISE dan CARP, menunjukkan komitmen dari Australia dan Indonesia untuk berkerja sama untuk mengatasi perubahan iklim.Namun, dengan semakin banyak sumber pendanaan, tidak hanya terbatas dari pemerintah Australia tapi juga lembaga non-profit, semakin banyak juga tantangan yang dihadapi oleh Diego dan mitranya di lapangan."Kita perlu lebih cekatan dan fleksibel supaya bisa cepat mengintegrasikan berbagai agenda dan sumber pendanaan yang berbeda untuk menyelerasakannya."

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sambut Musim Tanam, Pupuk Indonesia Gelar Rembuk Tani

Berita Terkait