Upaya Menekan Prevalensi Perokok Butuh Kerja Sama Lintas Instansi  

Jumat, 19 November 2021 – 22:03 WIB
Tembakau kering yang menjadi bahan baku rokok. Foto/ilustrasi: Ara Antoni/JPNN.Com

jpnn.com, JAKARTA - Peneliti Senior Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) Profesor Achmad Syawqie mengatakan pemerintah dituntut untuk bisa menyelesaikan masalah prevalensi perokok dan meminimalisir bahaya akibat konsumsi rokok oleh masyarakat.

Di sisi lain, produksi rokok akan terus berjalan selama masih ada permintaan masyarakat.

BACA JUGA: Duh! Nomor WA Nagita Slavina Bocor, Iis Dahlia: Sudah deh, Gue Malas

Oleh karena itu, upaya menekan prevalensi perokok membutuhkan kerja sama yang kuat antara pemerintah, ilmuan dan berbagai elemen terkait lainnya demi menghasilkan kebijakan yang tepat, terukur, dan proporsional.

“Permintaan masyarakat ini tumbuh karena berbagai latar belakang, mulai dari kebudayaan, kebutuhan atau untuk mendapatkan ketenangan di sela tekanan pekerjaan dan atau kerumitan lainya, juga sejumlah latar belakang lain,” ujar Syawqie.

BACA JUGA: Para Petani Minta Pemerintah Tidak Naikkan Cukai Rokok SKT

Syawqie mengakui jalan terbaik untuk memutus rantai bahaya akibat merokok adalah dengan tidak memulai menggunakannya sama sekali atau sepenuhnya berhenti bagi yang sudah menggunakannya.

Namun, berhenti merokok bukanlah hal mudah dan tidak bisa dilakukan secara instan.

BACA JUGA: 7 Premi Bisnis Asuransi Jasindo ini Mengalami Kenaikan

Oleh karena itu, pemerintah dinilai perlu mempertimbangkan setiap aspek dan latar belakang konsumsi tembakau dalam menentukan strategi dan kebijakan yang dianggap tepat untuk mengurangi prevalensi merokok dan dampak bahayanya.

“Dalam hal inilah pemerintah perlu melibatkan berbagai pihak seperti ilmuan atau peneliti, konsumen, serta budayawan,” ujarnya.

Syawqie menjelaskan, dari sisi budaya, pemerintah perlu berdiskusi mengenai nilai dan posisi tembakau dalam ritual kebudayaan yang memanfaatkan produk hasil dari alam tersebut serta meneliti kemungkinan apakah tembakau berpotensi tidak lagi diikutkan dalam ritual kebudayaan atau setidaknya menggantinya dalam bentuk yang lebih aman.

Dari sisi konsumen, pemerintah memahami bagaimana pola konsumsi dan hal apa yang sebenarnya dibutuhkan dari konsumsi tersebut, serta melihat potensi kemungkinan berhenti secara langsung.

Hal ini juga termasuk meneliti apakah ada kemungkinan alternatif produk atau cara konsumsi lain untuk memenuhi kebutuhan yang konsumen cari pada rokok tetapi dengan potensi risiko lebih kecil, ketika mereka belum bisa atau tidak bisa melepasnya.

“Dalam hal inilah para peneliti dilibatkan dan didengarkan. Jadi, semua perlu bekerja sama, bahu membahu dan saling mendengar dalam menuntaskan masalah ini, tidak bisa hanya satu pihak atau tiap pihak bekerja sendiri-sendiri,” jelasnya.

Pemerintah juga diharapkan bisa mendapatkan fakta yang akurat terkait produk tembakau alternatif yang ada saat ini, seperti rokok elektrik atau vape, produk tembakau yang dipanaskan, dan snus.

Di samping itu, pemerintah juga bisa mendorong peneliti untuk mengembangkan produk tembakau alternatif baru yang lebih rendah risiko, sehingga semua produk yang tersedia serta kebijakan pendukungnya dibuat berdasarkan bukti yang teruji dan terukur untuk hasil yang lebih efektif.

“Produk-produk tembakau alternatif yang ada saat ini memang belum sepenuhnya bisa mengeliminasi efek buruk konsumsi tembakau, tapi kalau memang teruji secara ilmiah lebih rendah risikonya dibandingkan terus merokok, kenapa tidak? Konsumen berhak untuk mendapatkan berbagai pilihan produk, terutama jika ada produk yang risiko penggunaannya bisa semakin kecil," kata Syawqie.(chi/jpnn)


Redaktur & Reporter : Yessy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler