jpnn.com, JAKARTA - Persoalan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dianggap lebih efektif diatasi dengan memperkuat pencegahan daripada upaya penanganan seperti yang selama ini dilakukan.
Guru Besar Ilmu Tanah dan Lingkungan Universitas Tanjungpura Profesor Gusti Z. Anshari menuturkan, apalagi permasalahan karhutla cukup kompleks.
BACA JUGA: Karhutla Sebabkan Orang Utan Kena ISPA, Begini Strategi KLHK
Selain disebabkan perilaku dan kepentingan banyak pihak juga dipengaruhi faktor iklim di Indonesia.
"Salah satu solusi yang paling efektif adalah mewajibkan upaya pencegahan kebakaran secara komprehensif. Ini harus dilaksanakan oleh masyarakat, korporasi, dan pemerintah sebagai pengawas," kata Anshari Minggu (22/9).
BACA JUGA: Antisipasi Karhutla di Riau Sudah Dilakukan Sejak Awal Kemarau
Selama ini kata dia, pendekatan penanganan karhutla masih ad hoc dan program pencegahannya belum masif, termasuk di lahan gambut yang kerap menjadi sorotan ketika terjadi karhutla.
Anshari berpendapat upaya restorasi gambut yang telah dilakukan dalam kurun sekitar tiga tahun belakangan merupakan langkah tepat.
BACA JUGA: Pembentukan Badan Restorasi Gambut Dinilai Langkah Tepat
Sudah ada upaya manajemen air yang memastikan air tersedia sepanjang tahun, sehingga saat musim kering kelembaban gambut tetap terjaga.
"Hanya, wewenang supervisinya belum seluas lahan gambut yang ada di Indonesia. Sebab, restorasi lahan gambut harus terus didukung dengan kegiatan pencegahan terfokus dan terkoordinasi dengan baik," ujarnya.
Termasuk perlu ada upaya lain seperti pengembalian fungsi lahan yang lebih terfokus. Program pencegahan kebakaran yang termasuk upaya restorasi dan pengelolaan lingkungan pun harusnya dipisahkan dari program pemanfaatan gambut untuk produksi.
Saat ini, menurutnya, belum ada upaya tersebut dan fokusnya masih sebatas pembagian wewenang berdasarkan peruntukkan lahan saja.
"Restorasi dan pengelolaan lingkungan pada lahan gambut harusnya ditangani oleh satu lembaga seperti Badan Restorasi Gambut (BRG) yang bisa diperkuat peranannya," kata Anshari.
Saat ini BRG hanya memiliki wewenang pengawasan gambut di wilayah non-konsesi dan konsesi perkebunan saja. Adapun pengawasan wilayah konsesi perhutanan yang luasnya mencapai 1,2 juta hektar masih di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Berdasarkan pantauan satelit, 85 persen karhutla tahun ini justru terjadi di luar lahan gambut konsesi perkebunan. Wilayah konsesi perhutanan dan hutan lain jadi area yang paling banyak terbakar.
"Saat ini belum ada akses bagi BRG untuk masuk dan membantu supervisi pada konsesi perhutanan," ujarnya.
Selain itu, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) juga mencatat luas kebakaran di lahan gambut mengalami penurunan sebesar 2 persen.
Pada 2015, lahan gambut terbakar mencapai 29 persen dari total luasan karhutla. Hingga Agustus 2019, lahan gambut terbakar berada di angka 27 persen dari total luasan karhutla.
Meski hasilnya belum terlihat besar, upaya restorasi gambut yang mulai intens dilakukan sejak pembentukkan BRG pada 2016 bisa dibilang mulai membuahkan hasil.
Sebab, hasil riil dari upaya restorasi gambut baru akan bisa nampak di atas 10 tahun.
"Mungkin bisa sampai 15 tahun baru akan terlihat hasilnya. Namun, sebagai salah satu upaya pencegahan karhutla, restorasi gambut harus tetap dilakukan berkesinambungan," kata Anshari.(chi/jpnn)
Redaktur & Reporter : Yessy