jpnn.com - Jumlah umat muslim di Benua Biru semakin bertambah. Seiring dengan berjalannya waktu, paham Barat mulai bersinggungan dengan norma-norma Islami. Salah satunya adalah upaya Inclusive Mosque Initiative (IMI) dalam memperkenalkan konsep setara dan membaur dalam ibadah.
= = = = = = = =
BACA JUGA: Washington Post Dijual Rp 2,5 Triliun
LEILA Bakkioui sedang bersantap dengan seorang rekannya di salah satu restoran Karibia di Kota Camden, London Borough, Inggris, saat azan berkumandang. Sebagai muslimah yang baik, dia pun lantas pamit untuk menunaikan salat.
Setelah berwudu, dia bergegas menuju musala di basement restoran tersebut. Karena beberapa muslimah sudah bersiap, dia pun berdiri di barisan belakang.
BACA JUGA: Mahasiswa RI Di Kairo Belum Perlu Evakuasi
Tapi, betapa terkejutnya gadis 25 tahun itu saat mendengar suara seorang perempuan dari depan. Dia pun mencari sumber suara dan menemukan sosok Naima di sana.
Ya, Naima yang merupakan salah seorang jamaah IMI menjadi imam saat itu. Setelah melihat ketidaklaziman tersebut, Bakkioui pun mengurungkan niatnya untuk beribadah dan kembali ke lantai atas. "Saya ke bawah untuk salat dan mendapati seorang muslimah sedang memimpin ibadah," katanya kepada Tana Rasekh, teman yang menemaninya bersantap di restoran itu.
BACA JUGA: Generasi Muda AS Anggap Snowden Seperti Jason Bourne
Bakkioui pun terlihat pucat saat mengungkapkan sesuatu yang dilihat di musala. Dia lalu berusaha menenangkan diri dengan mengambil napas panjang. Beberapa menit kemudian, dia pun melanjutkan makan. "Saya kira dia melihat hantu. Wajahnya pucat sekali seperti baru berjumpa dengan hantu," tutur Rasekh.
Saat Bakkioui muncul kembali dari basement, band di restoran sedang memainkan lagu berjudul Should I Stay or Should I Go milik bank beraliran punk The Clas. Lagu tersebut seakan menggambarkan pikiran yang berkecamuk dalam kepala Bakkioui saat mendengar lantunan Al Fatihah dari mulut Naima.
Peristiwa yang dialami Bakkioui itu juga terjadi pada beberapa muslimah London lain. Mereka bingung, terkejut, bahkan marah saat menjumpai praktik jamaah IMI di ibu kota.
Sesuai dengan misi mereka, IMI memang berusaha untuk membuat Islam menjadi lebih inklusif. Salah satunya, tidak terpaku pada aturan yang menyatakan bahwa imam haruslah seorang pria. "Tidak ada ayat di Alquran yang melarang perempuan untuk memimpin salat," ucap Tamsila Tauqir, anggota IMI lain.
Rekan Naima tersebut juga menjelaskan, IMI mengizinkan lelaki dan wanita untuk duduk berdampingan saat beribadah. Hal itu tidak seperti yang terlihat di masjid atau musala selama ini. Yakni, pria dan wanita menempati bagian yang berbeda meski berada dalam satu ruangan.
Sekali lagi, dia menegaskan, aturan posisi salat umat muslim tidak diatur dalam Alquran. "Di sana (Alquran), tidak disebutkan bahwa lelaki dan wanita tidak boleh berdampingan saat menunaikan salat," ujar gadis yang memadukan pakaian muslimnya dengan sepatu bot tersebut. Karena itu, dia gencar mengampanyekan pemahamannya tersebut melalui IMI sejak November.
Namun, bagi Bakkioui, pemahaman Naima dan Tauqir itu tidak benar. Guru matematika tersebut tidak pernah sepakat dengan ajaran IMI tersebut. Dia juga menepis anggapan IMI bahwa kaum muslim mempraktikkan ajaran yang patriarki dan hanya berdasar pada tradisi budaya Arab. "Apa yang mereka ajarkan tersebut bukanlah Islam. Semua itu salah," tuturnya.
Bakkioui lalu menerangkan, perempuan tidak pernah bisa menjadi imam selama ada pria di dalam ruangan yang sama. Prialah, menurut dia, yang lebih berhak untuk memimpin salat.
Mengenai posisi salat, dia menganggap bahwa yang selama ini dipraktikan merupakan hal yang benar. Bukan semata-mata karena isu gender atau patriarki, tetapi juga kesopanan.
"Kita memang berada di belakang. Tujuannya, kita tidak perlu curiga bila para jamaah pria mengintip atau memandangi pantat saat kita membungkuk. Itu yang seharusnya dipahami," ungkap Bakkioui.
Rasekh pun buru-buru mengamini pendapat rekannya tersebut. Dia menuturkan, kaum muslim tidak bisa seenaknya mengubah aturan yang selama ini berjalan demi kepentingan mereka sendiri.
Kontroversi itulah yang membuat sekitar 500 orang yang tercatat sebagai jamaah IMI masih tersebar. Mereka hanya bisa berdiskusi secara online, yakni melalui e-mail. Namun, mereka juga sering mengadakan pertemuan berskala kecil yang terdiri atas belasan orang. "Saya sadar bahwa publik akan bereaksi dengan sesuatu yang kami yakini ini. Semua orang butuh beradaptasi," ucap Sophia, jamaah IMI asal Prancis. (AFP/hep/c18/tia)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Analis Ingatkan Pelemahan Pertumbuhan Ekonomi Jepang
Redaktur : Tim Redaksi