JAKARTA - Utusan korban pelanggaran kebebasan beragama/kepercayaan dari berbagai daerah yang hadir dalam Konsultasi Nasional di Jakarta, Senin (4/3) mengeluhkan tindakan diskriminasi yang mereka alami, baik yang dilakukan masyarakat maupun pemerintah.
Dian Jennie, koordinator Badan Kerjasama Organisasi Kepercayaan (BKOK) terhadap Tuhan YME mengatakan, sebagai warga negara Indonesia, keberadaan mereka selalu terdiskriminasi.
"Hak dasar pemeluk agama sudah dijamin konstitusi, tapi di lapangan sangat bertolak belakang," ujar Dian saat konferensi pers di kawasan Slipi, Jakarta, Senin (4/3).
Konsultasi Nasional yang difasilitasi Setara Institute itu juga dihadiri korban kebebasan beragama/kepercayaan dari utusan Jemaat Ahmadiyah, Syiah, Kristiani, Budha, dan Konghucu dari berbagai daerah.
Menurut Dian, berbagai tindakan diskriminasi dialami oleh penganut kepercayaan. Misalnya saat membuat KTP, penganut kepercayaan tidak boleh mengisi kolom agama. Mereka harus mengosongkan kolom agama atau hanya menulis strip.
"Artinya kita tidak beragama. Kita sempat meminta ditulis kepercayaan yang kita anut, tapi tidak dioblehkan. Banyak warga pengaya (sebutan bagi penganut kepercayaan) dipersulit dalam mengurus KTP," jelas Dan.
Kondisi itu menimbulkan stigma negatif bagi mereka dari masyarakat yang seolah-olah mereka adalah orang tidak bertuhan.
Hal yang sama juga terjadi saat melamar jadi PNS, ketika mengisi biodata sesuai KTP, karena tidak ada agama, mereka dipaksa memilih satu dari 6 agama yang diakui undang-undang.
Saat mencatatkan pernikahan, penganut kepercayaan juga mengalami hal serupa. Padahal menurut Dian, seharusnya tugas negara hanya mencatat, bukan mengaitkan dengan agama atau organisasi," keluhnya.
Yang paling memilukan baginya, ketika ada keluarga penganut kepercayaan meninggal dunia tidak diberi ruang untuk pemakaman.
"Kita bagian dari negeri ini, ketika meninggal pun tidak diterima, sering terjadi perang mulut di pemakanan, karena TPU hanya disediakan untuk orang-orang beragama," urainya.
Masalah pemakaman itu menurut Dian pernah terjadi empat kasus di Surabaya. Salah satunya tahun 2009, ada kelompok beringas datang mengacung-acungkan pedang ke pemakaman.
Kelompok berseragam putih-putih itu memaksa keluarga korban menggali kembali kuburan saudara mereka.
"Karena tidak diberi tempat, akhirnya keluarga yang berduka terpaksa menguburkan sudaranya yang meninggal di belakang rumah. Kasus ini terjadi berulang-ulang," jelas Dian.
Itu sebabnya dia meminta keadilan kepada otoritas negara. Karena dalam konstitusi, agama disebutkan sebuah kesetaraan, setiap warga negara punya hak yang sama. Tapi nyatanya hal itu tidak pernah mereka dapatkan.
Saat ini, tambah Dian, di Indonesia ada 230 komunitas penganut kepercayaan yang terdaftar di BKOK. Sedangkan di Surabaya saja, penyebarannya ada di 27 kecamatan dengan jumlah sekitar 5000-an orang.(fat/jpnn)
Dian Jennie, koordinator Badan Kerjasama Organisasi Kepercayaan (BKOK) terhadap Tuhan YME mengatakan, sebagai warga negara Indonesia, keberadaan mereka selalu terdiskriminasi.
"Hak dasar pemeluk agama sudah dijamin konstitusi, tapi di lapangan sangat bertolak belakang," ujar Dian saat konferensi pers di kawasan Slipi, Jakarta, Senin (4/3).
Konsultasi Nasional yang difasilitasi Setara Institute itu juga dihadiri korban kebebasan beragama/kepercayaan dari utusan Jemaat Ahmadiyah, Syiah, Kristiani, Budha, dan Konghucu dari berbagai daerah.
Menurut Dian, berbagai tindakan diskriminasi dialami oleh penganut kepercayaan. Misalnya saat membuat KTP, penganut kepercayaan tidak boleh mengisi kolom agama. Mereka harus mengosongkan kolom agama atau hanya menulis strip.
"Artinya kita tidak beragama. Kita sempat meminta ditulis kepercayaan yang kita anut, tapi tidak dioblehkan. Banyak warga pengaya (sebutan bagi penganut kepercayaan) dipersulit dalam mengurus KTP," jelas Dan.
Kondisi itu menimbulkan stigma negatif bagi mereka dari masyarakat yang seolah-olah mereka adalah orang tidak bertuhan.
Hal yang sama juga terjadi saat melamar jadi PNS, ketika mengisi biodata sesuai KTP, karena tidak ada agama, mereka dipaksa memilih satu dari 6 agama yang diakui undang-undang.
Saat mencatatkan pernikahan, penganut kepercayaan juga mengalami hal serupa. Padahal menurut Dian, seharusnya tugas negara hanya mencatat, bukan mengaitkan dengan agama atau organisasi," keluhnya.
Yang paling memilukan baginya, ketika ada keluarga penganut kepercayaan meninggal dunia tidak diberi ruang untuk pemakaman.
"Kita bagian dari negeri ini, ketika meninggal pun tidak diterima, sering terjadi perang mulut di pemakanan, karena TPU hanya disediakan untuk orang-orang beragama," urainya.
Masalah pemakaman itu menurut Dian pernah terjadi empat kasus di Surabaya. Salah satunya tahun 2009, ada kelompok beringas datang mengacung-acungkan pedang ke pemakaman.
Kelompok berseragam putih-putih itu memaksa keluarga korban menggali kembali kuburan saudara mereka.
"Karena tidak diberi tempat, akhirnya keluarga yang berduka terpaksa menguburkan sudaranya yang meninggal di belakang rumah. Kasus ini terjadi berulang-ulang," jelas Dian.
Itu sebabnya dia meminta keadilan kepada otoritas negara. Karena dalam konstitusi, agama disebutkan sebuah kesetaraan, setiap warga negara punya hak yang sama. Tapi nyatanya hal itu tidak pernah mereka dapatkan.
Saat ini, tambah Dian, di Indonesia ada 230 komunitas penganut kepercayaan yang terdaftar di BKOK. Sedangkan di Surabaya saja, penyebarannya ada di 27 kecamatan dengan jumlah sekitar 5000-an orang.(fat/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... KPK Tak Punya Urgensi Periksa Anas soal Century
Redaktur : Tim Redaksi