jpnn.com - YOGYAKARTA - Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Jumhur Hidayat, menilai negara-negara maju di dunia telah berlaku tidak adil terhadap Indonesia.
Pada praktik liberalisasi, di satu sisi perdagangan barang dan produk-produk industri dari sejumlah negara maju dengan bebas masuk ke Indonesia. Namun di sisi lain, banyak negara-negara maju membatasi penempatan TKI di negara tersebut.
BACA JUGA: Ungkap Bunda Putri, SBY Kerahkan Intel dan Polisi
"Ironisnya pejabat berwenang di negeri ini tidak berkutik menghadapi kebijakan perdagangan bebas dari negara-negara itu. Sebagai bangsa berdaulat seharusnya kita bisa menyikapi praktik liberalisasi perdagangan barang dan produk-produk industri itu dengan tegas," kata Jumhurdi depan peserta Diskusi Panel yang dilaksanakan di Auditorium Visual Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB) Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta, Sabtu (12/10).
Kalau negara-negara tersebut memaksa Indonesia harus membeli produknya, kata Jumhur sebagaimana tertulis dalam surat elektroniknya, maka pemerintah juga harus bisa memaksa mereka mau menerima TKI tanpa pilih-pilih sektor pekerjaan.
BACA JUGA: SBY Ingin Indonesia Belajar dari K-Pop
Jumhur mencontohkan, saat ini paling tidak ada tiga negara yang mempraktikkan pola liberalisasi yang tidak adil tersebut. Salah satunya Australia. Negara ini mengimpor ribuan sapi ke Indonesia setiap tahunnya, namun membatasi TKI yang bekerja di negaranya.
"Dalam kunjungan ke Australia beberapa waktu lalu, saya sempat menanyakan pada para pengusaha potong hewan mengenai jumlah TKI yang bekerja di sektor tersebut. Katanya, ada sekitar 500 TKI. Sementara tenaga kerja asal Filipina sebanyak 8.000 orang," katanya.
BACA JUGA: Dipo Merasa Bersih dari Bunda Putri
Anehnya, Filipina sendiri tidak pernah melakukan hubungan dagang dengan Australia sebagaimana halnya Indonesia. Namun tetap saja ketidakadilan terjadi hanya dengan alasan penguasaan bahasa Inggris TKI tidak memenuhi grate 7.
"Saya katakan, pemerintah Australia ini tidak fair, masa orang hanya bekerja menghadapi sapi diminta penguasaan bahasa Inggris dengan level tinggi," ungkapnya.
Contoh lain, Jepang. Pemerintah Jepang maunya barang dan produk-produk industri negaranya bisa dibeli lndonesia. Tetapi dalam hal penerimaan TKI, banyak yang bekerja di sektor industri di Jepang, diperlakukan sebagai trainee (pekerja magang).
"Ini tidak adil. Mestinya TKI itu diperlakukan seperti umumnya pekerja industri di Jepang. Jangan diperlakukan sebagai trainee," katanya.
Singapura menurut Jumhur juga melakukan hal serupa. TKI yang bekerja di kafe-kafe dan restoran diperlakukan sebagai pekerja magang.
"Kalau saja TKI yang bekerja di Jepang dan Singapura bisa diperlakukan fair, berikut Australia dapat memperlakukan sama seperti tenaga kerja Filipina, maka jumlah uang kiriman TKI yang masuk ke tanah air (remitansi) akan lebih tinggi lagi dibanding saat ini yang jumlahnya sekitar Rp 120 triliun," katanya.
Menghadapi perlakuan ketidakadilan negara-negara tersebut, Jumhur menilai sudah waktunya Indonesia bersikap tegas. Bila perlu barang dan produk-produk industri dari Jepang dihentikan masuk ke Indonesia, sampai pemerintah Jepang bersedia memerlakukan TKI seperti pekerja industri lainnya yang terdapat di negara tersebut.
"Kita jangan bersikap inlander (rendah diri) dengan bangsa lain. Kita adalah bangsa berdaulat. Lebih baik bekerja di negeri sendiri daripada bekerja di negara lain tetapi tidak diperlakukan adil," tambahnya.
Solusi lain, Jumhur juga memandang perlunya penciptaan lapangan pekerjaan seluas-luasnya di dalam negeri, agar masyarakat Indonesia tidak perlu bekerja ke luar negeri.
"Di dalam berbagai kesempatan saya mengajak kepada pejabat di daerah-daerah kabupten/kota seperti bupati/wali kota agar tidak bangga dengan tingginya remitansi dari TKI yang masuk ke daerahnya. Tetapi hendaknya dari remitansi itu diberdayakan untuk mengelola potensi dan membangun daerahnya, sehingga TKI nantinya tidak lagi kembali bekerja ke luar negeri," katanya.(gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Hakim di DKI Paling Banyak Diadukan ke KY
Redaktur : Tim Redaksi