TAK semua orang mau mendonorkan darahnya hingga 100 kali. Sebab membutuhkan waktu belasan hingga puluhan tahun untuk bisa meraihnya.
Pagi itu, wajah Leo Yulistiono tampak sedikit tegang. Bersama para pendonor darah lainnya, dia duduk di bangku yang berjarak sekitar 20 meter dari kursi Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono. Dia ditunjuk sebagai wakil 10 pedonor darah asal Kaltim yang menerima penghargaan dari Presiden di Jakarta Convention Center (JCC) pada 13 Desember 2011.
Anggota Polresta Samarinda ini menggunakan jas berwarna hitam, sedangkan para kerabatnya menggunakan pakaian batik berwarna biru tua bercorak khas Kaltim. Karena Leo menjadi perwakilan Kaltim, dia duduk bersama 19 perwakilan dari daerah lain. Ada sekitar 20 provinsi se-Indonesia yang menerima penghargaan Satyalencana Kebaktian Sosial.
Leo berangkat ke Jakarta bersama sahabatnya sesama pendonor darah. Karena dia ketua rombongan dan wakil dari Kaltim, begitu tiba di Ibu Kota Negara, dia langsung dipisahkan atau dikarantina. Dia harus menjalani coaching clinic dari panitia tentang tata cara penerimaan Satyalencana. Dia harus menjalani latihan satu hari penuh.
Bahkan sehari sebelum hingga selesai penyerahan penghargaan, dia bersama 19 orang perwakilan dari berbagai daerah di Indonesia tak dibolehkan membawa handphone. Sehingga dia tak bisa berkomunikasi kepada siapa pun. Pagi pada 13 Desember 2011, Leo akhirnya bisa duduk menghadap Presiden.
Saat menerima penghargaan Leo berada diurutan ketiga. Dihadapan 1.329 orang pendonor darah se-Nusantara dan tamu undangan, Leo menerima penghargaan dari Presiden. Wajah yang tadinya tegang, berubah menjadi bahagia dan haru. Sebab usahanya mendonorkan darah selama 23 tahun, membuahkan penghargaan Satyalencana.
Leo mengaku bangga bisa bertemu langsung dengan SBY. “Tidak semua orang bisa berjabatan tangan dengan orang nomor satu di Indonesia itu,” kata polisi berpangkat bripka ini, lantas tersenyum.
Leo merupakan penerima penghargaan Satyalencana termuda di Indonesia pada 2011. Usianya baru 39 tahun, tapi dia sudah mendonorkan darah sebanyak 110 kali. Sedangkan pendonor darah lain sudah berusia 40 tahun ke atas, baru bisa mencapai 100 kali.
Pria kelahiran Balikpapan 27 Juli 1971 ini memang keluarga pendonor darah. Ayahnya Asmuni juga pensiunan polisi yang aktif mendonorkan darah. Agus Setiwan, adiknya juga aktif mendonorkan darah. Tapi ibunya, Ani Sukarmuni tak aktif mendonorkan darah.
Dia pertama kali tertarik mendonorkan darah ketika melihat ayahnya mengalami kecelakaan lalu lintas di Balikpapan sekitar tahun 1981. Ketika itu Asmuni membutuhkan tambahan darah, namun Palang Merah Indonesia (PMI) Balikpapan ketika itu tak memiliki cadangan darah yang diperlukan. Leo yang sedarah dengan Asmuni pun ingin mendonorkan darahnya.
Tapi karena usianya ketika itu baru 10 tahun, petugas PMI banyak yang terkejut. “Waduh nak…nak… masih kecil mau donor darah, memangnya punya darah sebanyak apa,” kata Leo, menirukan ucapan seorang petugas di PMI Balikpapan. Anak pertama dari dua bersaudara ini pun disarankan saat memasuki usia remaja baru boleh mendonorkan darah.
Karena kecelakaan dan kesulitan mencari tambahan darah, akhirnya Asmuni dipindahkan ke Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Leo pun melanjutkan sekolah di SMA 1 Kecamatan Durenan, Trenggalek. Bapak dua anak ini pertama kali mendonorkan darahnya di PMI Kabupaten Tulungagung, Jatim.
“Waktu itu tanggal 8 Maret 1988, saya mendonorkan darah,” ucap suami Endang Sumarni ini. Dia mendonorkan darah pada usia 16 tahun. Dia tak ingin kejadian seperti ayahnya yang kesulitan mencari darah terjadi pada orang lain. Selesai SMA, pada 1991 dia melanjutkan kuliah di Universitas Hang Tuah, Surabaya.
Pada 1993, dia kembali ke Balikpapan mengikuti pendidikan bintara polisi. Pada 1995, Leo pindah ke Kota Tepian dan bertugas di Polresta Samarinda. Meski banyak kesibukan, dia selalu menyempatkan diri untuk mendonorkan darah. Bahkan donor darah selalu tepat waktu. Sehingga saat usia 37 tahun pada 2009, dia sudah melakukan donor darah 100 kali.
Sebelum kedua orangtuanya meninggal dunia tiga tahun lalu, dia sempat diberi amanah untuk tetap mendonorkan darah hingga tak mampu lagi. Saat orangtuanya di Surabaya dan membutuhkan darah, Leo tak pernah memberikan darahnya kepada sang ayah sampai akhirnya meninggal dunia.
“Ya, saya sih selalu bilang sama orangtua, kalau membutuhkan darah nanti saya akan kirim. Tapi ayah saya bilang tidak usah, karena masih ada pendonor darah di Surabaya,” kata peraih pendonor darah teladan dari Wali Kota Samarinda pada 2009 lalu itu.
Dia mendonorkan darah setiap 2,5 bulan, sementara umumnya tiap 3 bulan. Secara fisik katanya, dia mampu, sehingga dia merasa tetap sehat meski lebih awal mendonorkan darah. Baginya, mendonorkan darah sudah seperti gaya hidupnya. Sekali saja tidak mendonorkan darah, serasa ada yang kurang pada tubuhnya.
“Kalau dihitung-hitung sejak pertama kali donor, darah saya sudah keluar sekitar 36 liter,” terang pria yang kini menjabat sebagai Bintara Urusan Balik Nama Kendaraan Pertama (BAUR BBN1) di Kantor Samsat Bersama Kaltim di Jalan M Yamin ini. (*/rom/ran)
BACA ARTIKEL LAINNYA... DBD Merebak di 9 Kabupaten/kota
Redaktur : Tim Redaksi