jpnn.com, JAKARTA - Direktur Amensty International Indonesia Usman Hamid kembali mengingatkan publik pada pelanggaran HAM berat terkait penculikan aktivis dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998.
Usman menyebut kerusuhan Mei 1998 yang berujung penculikan aktivis merupakan kelanjutan dari peristiwa 27 Juli 1996.
BACA JUGA: Revisi UU TNI Dinilai Bakal Menyulitkan Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat
Amnesty International mencatat setidaknya terdapat 6-7 orang tewas dalam peristiwa 27 Juli 1996 tersebut, 194-207 orang ditangkap dan ditahan, dan 94 orang luka-luka berat karena kantor PDI waktu itu diambil secara paksa.
"Pemerintah menutupi berapa yang luka dan ditangkap," ujar Usman Hamid dikutip dari siaran pers diskusi bertajuk "Deklarasi Korban dan Masyarakat Sipil Melawan Lupa" di Sadjoe Cafe, Tebet, Jakarta Selatan yang digelar PBHI, Rabu (26/7).
BACA JUGA: Detik-Detik Driver Taksi Online Tewas Ditusuk Penumpang, Motif Pelaku, Ya Tuhan
Pasca peristiwa tersebut, katanya, ada pengkambinghitaman terhadap Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) dan Partai Rakyat Demokratik (PRD).
"Total 23 aktivis yang diculik, sembilan di antaranya aktivis SMID dan PRD. Sisanya hingga kini belum ditemukan," lanjut Usman.
BACA JUGA: Bripda IDF Tewas Tertembak di Rusun Polri, Pelakunya Diduga Senior
Dia menyebut peristiwa penculikan adalah penundukan terhadap oposisi untuk mempertahankan kekuasaan. Namun, pada gelombang penculikan III adalah untuk menghilangkan bukti-bukti kejahatan negara atas aksi rasial terhadap etnis Tionghoa.
"Forum ini bukan untuk mengungkap luka lama. Sebaliknya adalah untuk tidak mengatakan bahwa jangan politisasi isu penculikan atau pelanggaran HAM berat masa lalu," tegasnya.
Usman mengatakan penghilangan paksa adalah kejahatan yang terus berlangsung sebagai kejahatan selama jasadnya belum ditemukan atau kejahatan terungkap.
Peristiwa pelanggaran HAM berat penculikan itu juga tidak dapat "diputihkan", apalagi dikatakan sebagai perintah atasan sehingga dianggap selesai meski pernah diadili sebelumnya.
Usman menilai pelanggaran HAM berat itu jauh dari selesai. Apa yang dilakukan pemerintah dengan pengakuan pun belum cukup dan jauh dari rasa keadilan.
"Kehilangan satu anggota keluarga tidak bisa dibayar dengan apa pun. Kehilangan anggota keluarga tidak ada harganya. Sangat tidak beretika jika mengatakan peristiwa Mei sudah selesai," tutur Usman.
Sementara itu, Maria Sanu, orang tua dari Stefanus Sanu yang jadi korban kerusuhan 1998 mengatakan sudah 25 tahun kasus kerusuhan Mei 1998 belum terselesaikan, belum juga terungkap.
"Banyak keluarga korban yang juga sakit. Negara tidak ada perhatian kepada keluarga korban. Saya khawatir jangan-jangan kasus ini akan dipetieskan," ujar Maria dalam forum itu.
Menurut Maria, Tim PPHAM bentukan pemerintah juga tidak memenuhi janji untuk memberikan modal usaha, fasilitas kesehatan, dan bahkan anak-anak korban tidak mendapat pekerjaan yang layak.
Dia juga menyebut proses hukum tidak berjalan. Adapun dari LPSK hanya datang memotret rumah, tetapi tidak ada tindak lanjutnya. Begitu pula dari Komnas HAM yang cuma bolak-balik ke kejaksaan.
"Saya hanya meminta yang benar dibenarkan, yang salah jangan dibenarkan. Jangan dibolak-balik. Saya sangat bersyukur ada yang mendampingi karena saya tidak mengerti hukum. Anak saya dibakar hidup-hidup. Saya sangat sedih dan sakit sekali," tuturnya.
Dalam forum itu, Maria kembali menuntut penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dan penyelesaian hak korban secara pantas dan layak diterima oleh keluarga. "Jangan ada lagi kami dilempar-lempar antarinstansi," ucap Maria.(fat/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam