jpnn.com - JAKARTA-Pemerintah diminta menolak rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas (TRTKM) yang mengusulkan agar menghapus bahan bakar minyak jenis Premium RON 88 secara serempak.
"Kita harus tolak kalau dijalankan secara mendadak, yang katanya antara tiga sampai lima bulan, karena rekomendasi tersebut saya melihat belum mempertimbangkan seluruh aspek," tegas Marwan Batubara, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), di Jakarta, kemarin.
BACA JUGA: APBN Perubahan 2015 Lebih Pesimistis
Rekomendasi TRTKM baru sebatas hasil kajian atas aspek finansial karena adanya dugaan penyelewengan atau mafia. Sementara aspek strategis nasional lainnya, di antaranya ketahanan energi, kebutuhan NOC, ekonomi terkait pengilangan di dalam negeri, deviden yang dibayarkan Pertamina, dan sebagainya, belum dikaji.
"Saya tidak melihat itu sudah dikaji secara komprehensif untuk dijadikan pertimbangan dalam membuat rekomendasi. Jadi intinya, untuk membuat rekomendasi itu dibutuhkan semua aspek. Rekomendasi ini baru 1/3 atau 1/5 aspek yang baru diambil, sehingga seperti itulah rekomendasi yang dihasilkan," tandasnya.
BACA JUGA: Garuda Indonesia Perbesar Citilink
Atas dasar itu, Marwan berpandangan pemerintah tidak harus menerima dan menelan mentah-mentah rekomendasi TRTKM tersebut untuk dijadikan kebijakan. Terlebih, rekomendasi tersebut disinyalir berbau kepentingan asing yakni, pihak asing agar bisa menjual BBM secara ritel di Indonesia.
"Indonesia adalah pasar besar. Asing itu dari dulu terus berupaya, tapi terhambat dengan adanya BBM Premium bersubsidi. Kalau langsung rekomendasi begitu saja dituruti, banyak sekali kerugian yang akan kita alami. Secara nasional, ketahanan energi akan turun, dominasi BUMN akan turun, deviden dari Pertamina akan turun, lalu ketahanan energi kita akan tergantung asing," tegasnya.
BACA JUGA: Curigai Ada Mafia Migas yang Bermain
Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro mengatakan, pemerintah mempertimbangkan rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas terkait kebijakan BBM.
Salah satunya menghentikan impor RON 88 atau premium dan secara perlahan menggantinya dengan RON 92 atau sejenis pertamax.
Bambang mengatakan, hal tersebut sedang dikaji oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
"ESDM harus lihat terlebih dahulu apakah Pertamina bisa mengganti produksi kilangnya dari premium menjadi pertamax atau tidak," tandasnya. (lum/rko)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Lima Nama Masuk Kandidat Dirut Bulog
Redaktur : Tim Redaksi