jpnn.com, JAKARTA - Ribuan orang yang ingin menjadi apoteker gagal mewujudkan impiannya. Hal ini terjadi setelah mereka dinyatakan tak lulus Ujian Kompetensi Apoteker Indonesia (UKAI) dengan metode computer based test (CBT).
Dari 6 ribu peserta, 3 ribu orang dinyatakan tak lulus. Ini terjadi, dirasa lantaran nilai batas kelulusan mengalami kenaikan, dari 52,5 menjadi 56,5.
BACA JUGA: Daewoong Global DDS Training Program Cetak Belasan Apoteker Andal
Dari ribuan peserta yang tak lulus, di antaranya merupakan mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas 17 Agustus 1945 (UTA '45) Jakarta. Somasi terbuka pun ditempuh pimpinan kampus tersebut.
Rektor UTA '45 Jakarta J Rajes Khana, Ph.D menilai penetapan nilai batas lulus (NBL) yang baru mengakibatkan kerugian materiel dan imateriel bagi peserta UKAI-CBT periode 2021/2022.
BACA JUGA: Influencer Ini Dorong Apoteker Lebih Berinteraksi dengan Masyarakat
“Kerugian materiel yang diderita bagi yang tidak lulus tentu mengakibatkan peserta UKAI-CBT mengalami kerugian karena besarnya biaya yang telah dikeluarkan untuk mengikuti UKAI-CBT. Sementara itu untuk menuju (mempersiapkan) UKAI CBT, peserta ujian sebelumnya telah menempuh Pendidikan Apoteker selama satu tahun dengan biaya yang sangat tinggi,” kata Rajes, Senin (12/9).
Sementara kerugian immateriel yang diderita juga tidak kalah besar menimpa peserta UKAI-CBT yang tidak lulus tersebut.
BACA JUGA: UTA 45 Jakarta Membuka Program Studi Baru, Nih Penjelasannya
Pasalnya, mereka harus menanggung malu dan tekanan psikologis yang berat karena ketentuan exit exam yang ditentukan PN UKAI-CBT telah memutus harapannya untuk menjadi apoteker yang baik.
Alasan Panitia Nasional (PN) UKAI-CBT dalam menentukan batas NBL berdasarkan kesepakatan, dianggap Rajes telah menunjukkan kedangkalan pemikiran yang konservatif dengan dalih peningkatan kualitas lulusan.
Padahal, seharusnya peningkatan mutu lulusan tetap harus mengacu pada ketentuan perundang-undangan yang menyebut bahwa proporsi penilaian kelulusan uji kompetensi terdiri dari 60% dari IPK program sarjana dan 40 persen berasal dari ujian kompetensi, ini sesuai Pasal 3 Ayat (2) Permendikbud No.2 Tahun 2020.
"Dengan adanya kewenang-wenangan oknum PN UKAI-CBT yang mengubah NBL UKAI-CBT Periode Tahun 2021/2022 Kami nilai justru semakin menunjukkan kelembagaan PN UKAI-CBT tidak kredibel dalam penyelenggaraan Uji Kompetensi Apoteker. Untuk itu kami akan mengajukan somasi sebagai langkah hukum awal. Jika tidak ada perbaikan tentu kami akan mengambil langkah hukum lanjutan," tegas Rajes.
Perubahan batas nilai kelulusan juga dianggap melanggar asas non-retroaktif, yang berlaku dalam penentuan suatu aturan. Asas non-rektroaktif ini, melarang keberlakuan surut dari suatu peraturan/keputusan yang berlaku terhadap subyek hukum tertentu.
"Asas non-rektroaktif ini juga bertujuan untuk melindungi kepentingan subyek hukum dalam hal ini peserta UKAI-CBT yang tidak lulus ambang batas NBL yang diubah menjadi lebih tinggi dari ketentuan NBL pada UKAI-CBT periode sebelumnya," ungkap Rajes.
Atas kondisi ini, UTA '45 Jakarta meminta PN UKAI membatalkan perubahan nilai batas lulus, karena dilakukan sepihak dan sewenang-wenang oleh Panitia Nasional UKAI-CBT, tanpa mengikuti peraturan pemerintah yang berlaku.
Lalu, Panitia Nasional juga diminta memperbaiki dan merehabilitasi nama baik peserta UKAI-CBT yang dianggap tidak lulus. Sebab akibat kondisi ini sangat berimbas pada psikologis peserta yang tak lulus.
Mereka juga ingin panitia mengembalikan syarat kelulusan apoteker sesuai dengan Permendikbud No.2 Tahun 2020 tentang Ujian Kompetensi calon Apoteker.
"Jika tiga tuntutan tersebut tidak diindahkan dan dilaksanakan, maka UTA’45 Jakarta akan melakukan tindakan hukum sesuai dengan hukum yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia," ungkap Rajes.
Sementara, Ketua Yayasan UTA '45 Jakarta, Bambang Sulistomo menambahkan pihaknya secara prinsip setuju dengan upaya peningkatan kualitas apoteker Indonesia. Namun, kata dia hal tersebut harus dilakukan secara transparan.
"Panitia Nasional pasti bicara tentang peningkatan kualitas, tapi jika tidak dijalankan dengan proses yang terbuka, kejujuran, kita kecewa betul. Sebab nilai IPK yang sebelumnya disertakan, itu nggak disertakan," ujarnya.
"Waktu rapat, mereka (organisasi terkait apoteker) setuju pada (nilai) yang lalu. Tapi begitu dibilang yang baru. Saat dikonfrontasi, 'siapa yang ngomong?' padahal yang ngomong mereka-mereka juga," imbuh putra pahlawan nasional Bung Tomo ini.
Panitia Nasional UKAI-CBT sendiri, kata dia berisikan orang-orang yang berada di organisasi apoteker. Yaitu para pimpinan Fakultas Farmasi perguruan tinggi seluruh Indonesia.
Sementara, Marvita Sari, salah seorang mahasiswa yang tak lulus ujian kompetensi, mengaku stres akibat kondisi yang ia alami itu.
Terlebih, dirinya mengaku telah belajar secara mati-matian sebelum mengikuti UKAI-CBT.
Tak hanya dirinya, rekannya bahkan mencoba bunuh diri gara-gara tak lulus ujian.
"Banyak yang dirugikan. Ada yang melakukan percobaan bunuh diri, dan saat sedang dirawat di rumah sakit. Mahasiswa UTA '45 Jakarta," ujar Marvita.
"Semua orang memiliki kemampuan yang berbeda-beda, sehingga jangan disamakan. Bukan berarti dia tidak bisa," sambung mantan mahasiswa UTA '45 Jakarta itu.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari