jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS, Anis Byarwati meminta pemerintah untuk berhati-hati dalam melaksanakan kebijakan defisit anggaran.
Menurut dia, defisit APBN akan semakin lebar, sebagai akibat dari ekspansi fiskal pemerintah untuk menyelamatkan perekonomian di saat pandemi Covid-19.
BACA JUGA: Selain Gaji dari APBN, PPPK juga Mendapat Tunjangan Kinerja Daerah
Hal ini terlihat dengan adanya pelebaran defisit fiskal dari 2,2 persen pada 2019, menjadi 6,3 persen pada tahun lalu.
"Dan diperkirakan masih akan defisit sebesar 5,7 persen pada 2021 ini,” kata Anis dalam keterangan resminya di Jakarta, Kamis (18/2).
BACA JUGA: BI: Utang Luar Negeri Capai USD417,5 Miliar, Masih Sehat?
Ketua DPP PKS BIdang Ekonomi dan Keuangan ini juga menyampaikan, defisit merupakan langkah normal di saat resesi. Namun dia mengingatkan, sebagian besar defisit APBN dibiayai oleh utang. Semakin lebar defisit, semakin besar juga utang.
"Meski memaksimalkan pertumbuhan, tentu utang harus digunakan. Tetapi yang sering terjadi adalah pemerintah justru gagal membelanjakan uang,” papar Doktor Ekonomi Islam itu.
BACA JUGA: Utang Luar Negeri RI Membengkak, Syarief Hasan Pertanyakan Komitmen Pemerintahan Jokowi
Dia menyebutkan, hal itu tercermin dari besarnya Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) selama 5 tahun terakhir yang mencapai Rp10-30 Triliun setiap tahunnya.
Lebih lanjut Anis menjelaskan, pelebaran defisit ini disebabkan oleh tingginya anggaran Penyelamatan Ekonomi Nasional (PEN). Akan tetapi, data terakhir menunjukkan bahwa realisasi anggaran PEN hingga akhir 2020 belum maksimal, hanya sebesar 83 persen.
“Hal ini tentu merugikan, karena utang yang sudah ditarik pemerintah, gagal dimanfaatkan untuk penyelamatan ekonomi nasional,” imbuhnya.
Anis juga menyoroti primary balance Indonesia yang dalam beberapa tahun ini selalu tercatat negatif. Ketika primary balance negatif artinya Pemerintah sedang menjalankan kebijakan gali lubang tutup lubang.
"Pemerintah menerbitkan utang baru untuk membayar utang yang lama. Hal ini tentu bukan pertanda baik untuk keberlangsungan fiskal Indonesia,” tegas Anis.
Di tengah pandemi, primary balance Indonesia semakin memburuk. Pada 2020 diperkirakan mencapai -4,3 persen dan pada 2021 mencapai -3,59 persen.
“Pemerintah harus mewaspadai lampu kuning dari semakin besarnya negatif primary balance ini, agar fiskal Indonesia lebih sustain untuk tahun-tahun mendatang,” ungkap Anis.
Anis memaparkan, pada masa pra-pandemi, debt to GDP ratio Indonesia terus meningkat, dari awalnya 24 persen pada 2014 menjadi 30,2 persen di 2019.
Meningkatnya debt to GDP ratio menunjukkan bahwa selama periode tersebut penambahan utang lebih tinggi dibandingkan penambahan PDB. Artinya, utang Pemerintah selama ini belum cukup produktif untuk mendorong PDB nasional.
“Hal ini tentu perlu menjadi catatan penting. Meningkatnya debt to GDP ratio yang mencapai 37 persen di 2020 dan diperkirakan menjadi 41 persen pada 2021, merupakan sinyal kurang bagus. Ini berarti pemerintah akan kesulitan mengendalikan laju utang di masa yang akan datang,”pungkasnya.
Sebelumnya, Beberapa hari belakangan, berbagai kalangan menyoroti soal utang dan defisit yang dialami pemerintah Indonesia. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat utang pemerintah hingga akhir Desember 2020 mencapai 6.074,56 triliun.
Dengan demikian, rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 36,68 persen.
Sementara itu, pemerintah menargetkan utang baru pada 2021 sebesar Rp 1.177,4 triliun.
Sebagian besar utang ini didapat melalui penerbitan surat berharga negara (SBN) Rp 1.207,3 triliun.
Atas sorotan publik ini, Menteri Keuangan memberikan respon dengan mengatakan bahwa posisi utang pemerintah pusat mengalami peningkatan disebabkan oleh pelemahan ekonomi akibat Covid-19 serta peningkatan kebutuhan pembiayaan untuk menangani masalah kesehatan dan pemulihan ekonomi nasional.
Ia juga menjelaskan bahwa negara lain juga mengalami hal yang sama.(mcr10/jpnn)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : Elvi Robia