UU Otonomi Khusus Harus Dibahas Lagi Jika Ingin Menuntaskan Masalah Papua

Senin, 29 Juni 2020 – 20:37 WIB
Warga Papua. Ilustrasi Foto: dok Kemendagri

jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi I DPR RI Abdul Kadir Karding menyebutkan, sebenarnya Papua sejak lama menginginkan kehidupan yang damai.

Namun, isu-isu tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan diskriminasi kerap dipropandakan oleh aktivis dari organisasi Papua merdeka.

BACA JUGA: Brimob Polda Jabar Ikut Memburu KKB Papua

Karding mengungkapkan itu dalam diskusi daring bertema 'Indonesia Melihat Papua Nan Jauh di Sana' yang diselenggarakan Ikatan Jurnalis Universitas Islam Negeri (IJU) Jakarta, Senin (29/6).

"Persepsi ini mulai diotak-atik oleh kalangan aktivis," kata Karding dalam diskusi, Senin.

BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Anies Terpental, Minta Azan tak Pakai Pengeras Suara, Kadrun Kena Batunya

Karding melanjutkan, Predien Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ialah tokoh yang mampu menghadirkan pendekatan kebudayaan dan persuasif atas persoalan Papua.

Peran Gus Dur ini, kata Karding, diteruskan oleh pemerintahan era selanjutnya. Termasuk, yang dilakukan pemerintahan era Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak periode pertama.

BACA JUGA: Percayalah, Pak Jokowi Punya Komitmen Kuat Membangun Papua

Pada era Jokowi, kata dia, pemerintah serius menyelesaikan masalah Papua secara tuntas.

Pemerintah masif melakukan percepatan konektivitas di Papua, mulai dari jalur darat, laut dan udara. Termasuk kebijakan BBM satu harga.

"Political will Jokowi cukup luar biasa, ditambah ada perhatian serius. Adanya UU Otonomi Khusus adalah bagian dari kompromi politik pemerintah terhadap Papua," ujar dia.

Sementara itu, analisis politik dan kebijakan publik Karyono Wibowo menganggap, seluruh pendekatan telah dilakukan pemerintah terhadap persoalan di Papua.

Namun, pendekatan ini harus ditopang dengan iklim atau kran demokrasi yang lebih luas. Selain itu, kata dia, persoalan di Papua harus dituntaskan hingga tataran elite.

Sebab, persoalan terbesar di Papua justru muncul dari kalangan elite atau dengan kata lain konflik muncul antara elite yang berkepentingan.

"Dugaan kuat, adanya konspirasi yang dimunculkan kalangan kelompok berkedok KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata), propaganda untuk memecah belah rakyat Papua," ujar dia dalam diskusi yang sama dengan Karding.

Di sisi lain, pengamat intelijen Stanislaus Riyanta menyebut, sebenarnya isu rasialisme yang terjadi di Papua tidak benar.

Isu ini hanya digunakan pihak-pihak tertentu untuk memperuncing keadaan.

Justru, Stanislaus mencatat, setidaknya ada 23 kasus penembakan, dan sebagian besar penembakan dilakukan oleh KKB.

Dia pun mencatat pada 2018 terjadi pembunuhan massal yang dilakukan kelompok tersebut.

"Isu Papua ini mulai dinternasionalisasi oleh negara lain. Terkait masalah HAM di Papua, pemerintah masih tampak kewalahan mengatasi informasi-informasi yang berseliweran," ujar dia dalam diskusi 'Indonesia Melihat Papua Nan Jauh di Sana', Senin.

Stanislaus pun mendesak DPR segera membahas UU Otonomi Khusus yang akan berakhir di tahun 2021. Nantinya, dalam aturan itu bisa memasukkan pendekatan sosial atas persoalan di Papua.

"Pendekatan sosial budaya sangat perlu dilakukan aparat TNI/ Polri. Akan tetapi, perlu ada ketegasan dalam menangani persoalan ketertiban dan keamanan di Papua," tandas dia.

Adapun, Akademisi asal Papua Siliwanus Tono menganggap bahwa nasionalisme masyarakat Papua terhadap Indonesia tak perlu diragukan lagi.

Dia pun melihat perhatian dan keberpihakan pemerintah kepada Papua. Seperti pada sektor pemerataan pendidikan, fasilitas kesehatan, serta konektivitas pembangunan infrastruktur di Papua.

Namun, dia lebih menggarisbawahi tentang realisasi otonomi khusus yang belum sepenuhnya menyentuh masyarakat di sana.

"Persoalan serius yang harus menjadi perhatian bersama, adalah UU Otonomi Khusus. Harus dibahas kembali sehingga tidak menimbulkan polemik, tetapi memberikan regulasi yang berpihak," ujar Siliwanus juga dalam diskusi 'Indonesia Melihat Papua Nan Jauh di Sana', Senin. (mg10/jpnn)

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?


Redaktur & Reporter : Aristo Setiawan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler