jpnn.com, JAKARTA - Vaksin terbukti dapat mencegah penyakit yang disebabkan oleh virus atau bakteri tertentu.
Vaksin merupakan antigen atau zat aktif pada virus dan bakteri yang apabila disuntikkan, dapat menimbulkan reaksi sistem kekebalan tubuh untuk melawan virus atau penyakit tersebut.
BACA JUGA: Uji Klinis Vaksin COVID-19 Dipastikan Sangat Aman
Dampak imunisasi terhadap turunnya penularan penyakit tercatat sangat besar.
Beberapa vaksin berhasil menekan penyebaran penyakit tertentu seperti haemophilus influenza, radang paru, penyakit gondok, rubella, hingga tifus.
BACA JUGA: Resmi Dinikahi Denny Sumargo, Olivia Allan: Untung Kamu Nakal
Semua penyakit tersebut menurun jumlah penularannya, seiring dengan dilakukannya imunisasi.
“Jadi kalau vaksin itu adalah zatnya. Proses pemasukkannya ke dalam tubuh disebut vaksinasi. Imunisasi adalah reaksi dari tubuh kita setelah mendapatkan vaksin. Badan akan dirangsang untuk membentuk anti bodi pada sistem kekebalan tubuh. Selain anti bodi, badan akan menghasilkan sel memori, jadi sistem kekebalan kita bisa memproduksi anti bodi untuk segala macam penyakit yang tidak baik,” ujar
BACA JUGA: Pemerintah Menyiapkan Rp123 Triliun untuk Memulihkan UMKM Terdampak Pandemi Corona
Prof. Dr. dr. Cissy Rachiana Sudjana, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, dalam dialog 'Mendalami Vaksin dan Imunisasi' yang diselenggarakan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN).
Karena itu, masyarakat juga tidak perlu ragu dengan keamanan vaksin. Jaminan keamanan vaksin terus dilakukan pada tiap fase uji klinik, sehingga produk akhirnya dipastikan aman, efektif, dan berkhasiat.
Pada tahap awal, produsen vaksin mengidentifikasi dahulu calon vaksin yang hendak dibuat. Calon vaksin yang terpilih adalah yang mampu menghasilkan zat antibodi terbaik.
Saat sudah aman dan menghasilkan zat antibodi yang kuat, terutama pada uji pra klinik yang diujicobakan pada hewan, barulah pengujian diteruskan ke uji klinik pada manusia.
Fase uji klinik pada manusia terbagi menjadi tiga tahap. Pada fase I dimaksudkan untuk menguji keamanan dan ke-efektifannya.
“Fase I ditujukan untuk menguji respon imun pada sekelompok orang dengan jumlah di bawah 100. Ketika fase I aman dan efektif, maka dilanjutkan ke fase II untuk diuji keamanan dan efikasinya lebih jauh lagi pada jumlah subyek 400-600 orang,” terang dr. Cissy Rachiana.
Nah, apabila fase II sudah aman, bisa lanjut ke fase III untuk mengetahui apakah ada efek samping yang jarang terjadi yang biasanya muncul saat diujikan ke jumlah subyek yang mencakup ribuan atau puluhan ribu orang.
"Setelah melalui uji klinik fase III dan tidak terdapat efek samping, maka vaksin tersebut ditetapkan aman, efektif, dan berkhasiat," terangnya.
Pada fase III ini biasanya pengujian vaksin dilakukan di beberapa negara. Fungsinya untuk mengukur efektivitas serta efikasinya. Efikasi merupakan langkah observasi untuk mengetahui besaran daya perlindungan vaksin terhadap infeksi.
Setelah melewati fase-fase tersebut, regulator yang dalam hal ini BPOM di Indonesia, bisa menerbitkan izin edar setelah mempelajari data-data uji klinik tersebut.
Survei keamanan vaksin terus dilakukan termasuk saat vaksin sudah digunakan secara resmi. Ini yang disebut fase IV atau Post Marketing Study.
Tidak seperti halnya vaksin lain yang pengembangannya perlu waktu bertahun-tahun, vaksin COVID-19 relatif singkat pengembangannya sekitar 12-18 bulan, karena telah mendapat izin dari para ilmuan dan regulator.
Untuk mempersingkat pengujian, uji klinik fase I dan II dilakukan berbarengan namun tetap mengutamakan faktor keamanan.
Selain imunisasi penting untuk mencegah penyakit, kecacatan, hingga kematian, juga dapat mencegah penularan penyakit ke lingkungan sosial yang lebih luas lagi.
Konsep inilah yang disebut herd immunity atau imunitas populasi, yakni saat sebagaian besar populasi di imunisasi.
Besaran cakupannya tergantung kemampuan penularan virus atau bakteri. Makin cepat penularannya, makin membutuhkan cakupan yang besar.
“Jadi kalau banyak orang di sekeliling kita diimunisasi, yang tidak bisa mendapatkan imunisasi karena berbagai sebab seperti, ada penyakit, terlalu muda untuk diimunisasi, atau tidak mendapat akses ke vaksin, jadi ikut terproteksi,” seru dr. Cissy Rachiana.
Untuk COVID-19 diperkirakan kecepatan penularannya atau Reproductive Number (Ro) mencapai 2 hingga 5 kali. Dengan daya penularan sebesar itu, imunisasi COVID-19 harus tercapai 60-70% dari populasi agar tercipta herd immunity.
“Vaksin adalah cara paling efektif untuk menurunkan kesakitan, kematian dan juga kecacatan. Biayanya juga paling cost effective. Kita lakukan demi Indonesia, semoga anak-anak kita bisa sehat dengan imunisasi yang sesuai dengan ketentuan," harap dr. Cissy Rachiana.(chi/jpnn)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : Yessy