Wina Silfanna Hasibuan tadinya ingin kembali ke Indonesia setelah masa berlaku Working Holiday visa (WHV) tahun keduanya habis Agustus tahun lalu. Namun, ada satu hal yang mengubah seluruh rencananya.

Ketika sedang membaca informasi di grup para 'backpacker' di Facebook, Wina menemukan visa "COVID-19 Pandemic Event", yang masuk ke dalam kategori visa sementara dengan subclass 408.

BACA JUGA: Jokowi Ingin Semua Terlindungi

Visa tersebut mengizinkan warga yang bekerja di sektor penting, seperti pertanian, pengolahan makanan, kesehatan, perawatan lanjut usia, perawatan difabel, penitipan anak, pariwisata, dan perhotelan, untuk menetap di Australia hingga 12 bulan.

Sementara mereka yang tidak bekerja di sektor-sektor tersebut diberikan izin tinggal hingga tiga bulan lamanya.

BACA JUGA: Aborigin Australia: COVID Bukan Pandemi Pertama Kami

Saat Wina bekerja di gudang pengepakan apel, ia belum memenuhi syarat untuk mengajukan WHV tahun ketiga sehingga mengaku langsung berputar haluan dengan mendaftar visa jenis baru tersebut.

"Mumpung lagi di sini dan kalau pulang Indonesia kondisinya belum meyakinkan, jadi saya berpikirnya selagi punya waktu, lakukan saja apa yang saya inginkan di sini, travelling, setelah itu baru for good atau gimana," katanya.

BACA JUGA: Sertifikat Vaksinasi COVID-19 menjadi Syarat Pembuatan SKCK

April lalu, Wina yang tinggal di Cowra, New South Wales mendapatkan visa COVID-19 Pandemic Event nya, yang berlaku hingga tahun 2022 nanti.

Wina mengatakan visa ini tanpa biaya, sehingga sangat membantunya.

"Karena memang mau kerja di sektor pertanian, menurut saya [visa ini] oke-oke saja, tidak ada bedanya sama WHV, cuma [perlu menambahkan] surat keterangan kerja sama surat pemeriksaan polisi saja, dan dua-duanya gampang didapat," katanya.

"Soalnya kalau dibanding student visa, kita bayar biaya kuliah, terus jam kerjanya dibatasi, walau sekarang sudah boleh 40 jam di hospitality."

Saat ini Wina bekerja di peternakan dengan industri produk susu. 

Aturan jam kerja yang ia dapatkan, seperti saat ia masih memegang WHV,  yakni selama 30-40 jam per minggu.

Ia mengatakan peternakan, yang lokasinya memakan waktu empat jam untuk ditempuh dari Sydney tersebut, belum menerima pekerja 'backpacker' baru selama 10 bulan terakhir.

Karenanya menurut Wina visa jenis baru ini membantu perusahaannya yang kekurangan karyawan. Bisa tetap bersama istri di Australia

Sejak pandemi COVID-19 industri pertanian dan peternakan di Australia dilaporkan banyak kekurangan pekerja, hingga harus melakukan berbagai upaya.

Februari lalu, seorang petani di kawasan Australia barat mengalami kerugian hingga Rp500 miliar karena gagal panen akibat kurangnya tenaga kerja.

Beberapa perusahaan bahkan menawarkan hadiah uang tunai senilai A$100 ribu, atau lebih dari Rp1 miliar, bagi orang yang mau memetik stroberi.

Situasi serupa disaksikan sendiri oleh Fendi Dita Murdani, warga Indonesia lainnya yang kini bekerja di salah satu cabang pabrik daging terbesar di Australia, JBS di kawasan Rockhampton, Queensland, Australia.

Fendi mengatakan perusahaan tempat kerjanya sangat kesulitan mencari pekerja sampai harus melakukan upaya tambahan.

"Sampai SMS ke pegawainya, [bilang] 'ada gak keluarga atau temannya?' ... Kalau misalnya bawa teman untuk kerja, nanti kamu dapat hadiah, voucher belanja, TV,'" katanya.

Ketika berada di masa penghujung WHV tahun ketiganya, Fendi memutuskan untuk mengajukan visa khusus saat pandemi 28 hari sebelum masa berlaku WHV nya habis.

Mendapatkan visa tersebut tidak hanya membantu Fendi mempertahankan pekerjaannya, tapi juga membuat ia tidak harus berpisah dengan istrinya, yang memegang WHV tahun kedua.

"Syukur imigrasi mengeluarkan visa Covid itu," katanya. 

"Secara pribadi saya sih terbantu banget bisa stay di sini juga, dan di Indonesia pun belum terlalu baik untuk pulang," ujarnya.

"Jadi sementara stay di sini dulu sambil menunggu gimana rencana selanjutnya."

"Rencananya saya pengen sekolah, setelah menghabiskan working holiday ini [untuk] menabung, terkumpul, boleh lah sekolah," kata Fendi yang sempat membuka usaha katering di Pontianak.

Adhi Sappareng, admin grup Facebook WHV Indonesia yang beranggotakan lebih dari 31 ribu orang menyadari semakin banyaknya pemegang WHV yang sudah atau berencana mengajukan visa COVID tersebut.

"[Visa ini] jelas menguntungkan, apalagi buat teman-teman yang 'agak malas' buat pulang ke Indonesia atau agak malas melanjutkan visa study. Karena kalau visa COVID kan masih bisa kerja full-time, enggak perlu mikirin sekolah, mikirin tugas, mikirin biaya sekolah," katanya.

Menurutnya, dibandingkan masa awal pandemi, "keadaan teman-teman WHV sudah back to normal" saat ini.

Bahkan Adhi merasa jika pekerjaan yang tersedia saat ini lebih banyak dibandingkan jumlah pencari kerja dibandingkan awal pandemi.

Wina dan Fendi termasuk beberapa dari puluhan ribu pemegang WHV yang masih bertahan di Australia hingga saat ini.

Namun, jumlah pemegang WHV saat ini adalah yang terendah dalam 10 tahun terakhir.

"Biasanya ada sekitar 150.000 pekerja pemegang WHV di Australia di satu periode," ujar Silke Kerwick, anggota komite Panel Backpacker dan Penasihat Pariwisata Pemuda (BYTAP).

"Jumlahnya turun ke angka 38.000."

Tidak sedikit pula pemilik akomodasi penyewa kamar bagi 'backpacker' yang biasanya digunakan pemegang WHV terpaksa menjual bisnis mereka karena hampir tidak ada pelanggan. Pemegang WHV hampir berusia 30 memohon 'keringanan'

Sementara itu, sekelompok pemegang WHV yang ada di Indonesia berharap dapat mengisi kekosongan tersebut, hanya saja, perbatasan masih tutup.

Handyani Yutti Utami adalah salah satunya.

Yutti yang sudah memesan tiket penerbangan untuk tanggal 26 Maret 2020 terkejut mendengar Australia menutup perbatasan internasional pada 20 Maret.

Perempuan yang sempat memegang WHV sebelum masa berlakunya habis November tahun lalu tersebut sudah menunggu satu tahun tiga bulan untuk bisa terbang ke Australia.

Ia mengatakan sudah menghabiskan biaya sekitar Rp15 juta untuk mempersiapkan keberangkatannya, mulai dari biaya visa, tes bahasa Inggris, hingga tiket penerbangan.

"Rugi banget, soalnya kita kan modalnya saja sudah lumayan ... wawancara harus ke Jakarta dan belum juga medical check-up," kata Yutti yang tinggal di Bandung.

Sesuai dengan ketentuan yang berlaku pagi pelamar visa Indonesia, ia hanya memiliki sisa waktu delapan bulan sebelum berulang tahun yang ke-31 dan tidak lagi dapat mengajukan visa tersebut.

Kepada ABC Indonesia, Departemen Dalam Negeri Australia mengatakan mereka yang tidak bisa ke Australia dan umurnya akan melebihi 30 tahun, bisa meminta pengembalian biaya pembuatan visa.

"Pemegang [visa] Working Holiday (subclass 417) dan Work and Holiday (subclass 462) yang visanya sudah tidak berlaku ketika berada di luar Australia dan tidak bisa mendapatkan visa WHM karena tidak lagi memenuhi persyaratan umur dapat memohon pengembalian uang menggunakan formulir permohonan pembatasan perjalanan yang tersedia di situs Departemen Dalam Negeri," demikian pernyataannya.

Departemen Dalam Negeri juga mengatakan telah "memperpanjang batas umur menjadi 35 tahun dengan beberapa negara mitra".

Negara dengan persyaratan umur tersebut saat ini antara lain Kanada, Prancis, dan Irlandia.

"Semua parameter program, termasuk batas usia, dinegosiasikan antar negara dan ditetapkan melalui kesepakatan bersama dan tidak dapat diubah secara sepihak," katanya.

Yutti mengetahui bahwa beberapa pemegang WHV yang seumuran dengan dirinya memilih untuk berhenti memperjuangkan visa mereka.

Namun, ia mengatakan masih berusaha sabar untuk menunggu.

"Sebelum umurnya lewat 30, tetap mau cobain terus," kata pekerja lepas desain interior ini.

"Harapannya khususnya untuk [pemegang] WHV yang gagal berangkat ini lebih dikasih keringanan, dari segi umur juga, kan itu bukan salah dari kita sebenarnya."

Ia merupakan satu dari lebih dari 240 anggota kelompok WHV Indonesia di tahun 2019 yang gagal berangkat ke Australia dan masih menunggu kepastiannya sampai saat ini.

Laporan tambahan oleh Kellie Hollingworth

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tiga Instruksi Pak Ganjar untuk Demak

Berita Terkait