jpnn.com - JAKARTA - Langkah Komisi XI DPR melakukan voting tertutup saat pemilihan Komisioner Badan Pemeriksa Keuangan mengundang tanda tanya. Pengamat hukum tata negara Margarito Kamis mempertanyakan langkah Komisi Keuangan yang menjalankan mekanisme pemilihan tertutup, padahal sebelumnya dilakukan secara terbuka.
Margarito menyatakan pemilihan dengan model seperti ini akan mengundang pertanyaan publik karena pemilihan di DPR RI dianggap sarat kepentingan politis. Menurut Margarito, dengan mengubah metode itu tentu terjadi inkonsistensi dari Anggota DPR. "Ada apa di situ?" kata Margarito di Jakarta, Jumat (19/9).
BACA JUGA: KPK Bakal Tagih Janji Jokowi Sikat Korupsi
Ia menambahkan, Anggota Komisi XI DPR telah meninggalkan prinsip akuntabilitas dan transparansi dalam proses pemilihan calon Anggota BPK tersebut.
Terkait anggota BPK periode 2014-2019 dari unsur Anggota DPR, kata Margarito, proses tersebut menunjukkan terdapat kelemahan pada undang-undang BPK. Margarito mengatakan kelemahan regulasi pemilihan anggota BPK yaitu tidak menguraikan gambaran calon orang harus memiliki kapasitas dan rumusan syarat tertentu.
BACA JUGA: Megawati Heran Pengusung Amandemen UUD Getol Suarakan Pilkada di DPRD
"Kita tidak membuat syarat yang menunjukan bahwa anggota BPK harus memiliki kapasitas yang seperti apa. Ini merupakan kelemahan undang-undang BPK," ujarnya.
Terlepas dari itu, Margarito menyebutkan proses pemilihan Anggota BPK dari unsur politikus sebagai resiko dari undang-undang yang tidak memberikan batasan kapasitas dan kualitas calon fungsionaris BPK secara spesifik.
BACA JUGA: KPK Sebut Penolakan Kasasi Fathanah untuk Kaum Tertindas
Karenanya, ia mengatkaan, UU yang mengatur pemilihan Anggota BPK harus direvisi dengan mencantumkan syarat mutlak seperti uji kompetensi pada bidang intelektual, etik, teknis dan keuangan.
Persoalan lainnya, pasal 28 huruf (e) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK menyatakan anggota BPK dilarang menjadi anggota partai politik. Secara harpiah anggota BPK harus terbebaskan dari kepentingan politik dalam mengawal pengelolaan keuangan negara dan daerah.
Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran Indonesia Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas sempat mendesak BPK tidak dijadikan sebagai lembaga untuk "loncat pagar" Anggota DPR yang tidak terpilih lagi.
Menurut Firdaus, pemerintah harus membuat aturan adanya masa "iddah" minimal setahun tidak menduduki jabatan politik atau anggota DPR saat mencalonkan diri menjadi calon fungsionaris BPK.
Seperti diketahui, Anggota Komisi XI DPR telah memilih lima orang Anggota BPK periode 2014-2019 melalui dua kali voting, Senin (15/9). Kelima calon fungsionaris BPK 2014-2019 yakni Rizal Jalil, Achsanul Qosasi, Moermahadi Soerja Djanegara, Harry Azhar Azis dan Eddy Mulyadi Soepardi.
Dua dari lima calon fungsionaris BPK itu tercatat sebagai anggota partai politik, yakni Harry Azhar Azis (Partai Golkar) dan Achsanul Qosasi (Partai Demokrat). Selanjutnya, pimpinan Komisi XI DPR RI akan mengusulkan lima nama calon anggota BPK itu kepada Badan Musyawarah untuk diputuskan pada rapat paripurna.
Ketua Komisi XI DPR RI Olly Dondokambey memastikan kelima nama itu akan menjadi pimpinan BPK 2014-2019 sesuai kriteria yang diharapkan. Meski terdapat calon dari unsur partai politik, namun Olly yakin kelima orang itu akan bekerja profesional, independen dan pemilihan sesuai undang-undang. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kasasi Fathanah Ditolak MA, KPK Senang
Redaktur : Tim Redaksi