JAKARTA – Wakil Bupati Bogor Karyawan Faturrachman merampungkan pemeriksaannya di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi dalam kasus suap pengurusan izin lokasi lahan pemakaman bukan umum di Tanjung Sari, Bogor - Jawa Barat, sekitar pukul 16.00. Dia diperiksa untuk kelima tersangka dalam kasus yang terbongkar dari operasi tangkap tangan di rest area Sentul, Bogor, Jabar itu.
Ia menegaskan bahwa sebelum operasi tangkap tangan (OTT) KPK tidak ada dari pihak PT Gerindo Perkasa yang menghubunginya. “Tidak ada yang menghubungi dan tidak ada kunjungan dari pihak PT Gerindo,” kata Karyawan, kepada wartawan, usai diperiksa, Kamis (25/4), di Kantor KPK, di Jakarta.
Karyawan mengaku tidak kenal dengan para tersangka selain Ketua DPRD Kabupaten Bogor Iyus Djuher. Yang dimaksudkan adalah Pegawai Negeri Sipil Pemerintah Kabupaten Bogor Usep, Pegawai Honorer Pemkab Bogor Wely, Direktur PT Gerindo Perkasa Sentot Susilo, serta seorang swasta, Nana. “Yang tiga itu saya tidak kenal. Yang namanya Sentot saya belum pernah ketemu, belum pernah bicara, SMS,” katanya.
Dia mengakui, proses pengajuan izin untuk lokasi makam itu diajukan oleh PT Gerindo Perkasa pada 2012. Menurut dia, prosesnya sudah selesai. “Sudah ada SK (Surat Keputusan) Bupati, sudah ada kajian lapangan, kajian teknis (sebelumnya),” katanya.
Namun, ia kaget ketika SK Bupati itu dikeluarkan ternyata ada yang tertangkap tangan dan memberikan uang. Dia membantah ada permintaan uang dari Bupati terkait lahan itu. Menurutnya, ini hal biasa secara administratif. “Tidak ada bagi-bagi duit. Biasa, proses administrasi berjalan yang seperti biasa dilakukan seperti ini,” terangnya.
Dia kembali menegaskan, tidak mempunyai kewenangan untuk mengajukan izin terkait lahan. Ia mengaku tidak punya kapasitas untuk merekomendasikan. “Tidak, saya hanya maraf saja. Saya tidak punya kapasitas. Satu surat saja, SK Bupati,” terangnya.
Menurutnya, SK Bupati itu juga harus diparaf oleh Sekretaris Daerah, Wakil Bupati secara umum. Faturachman menjelaskan, terkait apakah di lahan itu masuk wilayah konservasi atau tidak merupakan wewenang Perhutani. Menurutnya, Perhutani memiliki wewenang memberikan rekomendasi apakah lahan itu layak atau tidak memeroleh izin. “Itu Perhutani yang mengkaji. Kalau Perhutani bilang tidak bisa, ya tidak bisa.Lahanya harus dikurangi 100 ha. Kalau bisa, harus ada proses atau kejasama," paparnya. (boy/jpnn)
Ia menegaskan bahwa sebelum operasi tangkap tangan (OTT) KPK tidak ada dari pihak PT Gerindo Perkasa yang menghubunginya. “Tidak ada yang menghubungi dan tidak ada kunjungan dari pihak PT Gerindo,” kata Karyawan, kepada wartawan, usai diperiksa, Kamis (25/4), di Kantor KPK, di Jakarta.
Karyawan mengaku tidak kenal dengan para tersangka selain Ketua DPRD Kabupaten Bogor Iyus Djuher. Yang dimaksudkan adalah Pegawai Negeri Sipil Pemerintah Kabupaten Bogor Usep, Pegawai Honorer Pemkab Bogor Wely, Direktur PT Gerindo Perkasa Sentot Susilo, serta seorang swasta, Nana. “Yang tiga itu saya tidak kenal. Yang namanya Sentot saya belum pernah ketemu, belum pernah bicara, SMS,” katanya.
Dia mengakui, proses pengajuan izin untuk lokasi makam itu diajukan oleh PT Gerindo Perkasa pada 2012. Menurut dia, prosesnya sudah selesai. “Sudah ada SK (Surat Keputusan) Bupati, sudah ada kajian lapangan, kajian teknis (sebelumnya),” katanya.
Namun, ia kaget ketika SK Bupati itu dikeluarkan ternyata ada yang tertangkap tangan dan memberikan uang. Dia membantah ada permintaan uang dari Bupati terkait lahan itu. Menurutnya, ini hal biasa secara administratif. “Tidak ada bagi-bagi duit. Biasa, proses administrasi berjalan yang seperti biasa dilakukan seperti ini,” terangnya.
Dia kembali menegaskan, tidak mempunyai kewenangan untuk mengajukan izin terkait lahan. Ia mengaku tidak punya kapasitas untuk merekomendasikan. “Tidak, saya hanya maraf saja. Saya tidak punya kapasitas. Satu surat saja, SK Bupati,” terangnya.
Menurutnya, SK Bupati itu juga harus diparaf oleh Sekretaris Daerah, Wakil Bupati secara umum. Faturachman menjelaskan, terkait apakah di lahan itu masuk wilayah konservasi atau tidak merupakan wewenang Perhutani. Menurutnya, Perhutani memiliki wewenang memberikan rekomendasi apakah lahan itu layak atau tidak memeroleh izin. “Itu Perhutani yang mengkaji. Kalau Perhutani bilang tidak bisa, ya tidak bisa.Lahanya harus dikurangi 100 ha. Kalau bisa, harus ada proses atau kejasama," paparnya. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Susno Diminta tak Pentingkan Diri Sendiri
Redaktur : Tim Redaksi