jpnn.com - MANADO – Wacana dibentuknya satu haluan negara seperti Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) makin hangat diperbincangkan berbagai pihak di seluruh Indonesia. Berbagai elemen masyarakat sepertinya terbagi dua, satu sisi ada yang mendukung dan pada sisi lainnya, banyak yang menyatakan perlu penelahaan lebih mendalam lagi.
Seperti diketahui sejak dihapuskannya GBHN pasca reformasi, Indonesia menerapkan model rencana pembangunan nasional yang disusun berdasarkan UU melalui Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah dan panjang berdasarkan visi dan misi presiden terpilih
BACA JUGA: Mendagri Pastikan Desain Besar Penataan Daerah Disusun Hati-hati
Dengan model tersebut sebagian besar elemen masyarakat sangat mengkhawatirkan inkonsistensi rencana pembangunan nasional setiap kali presiden terpilih. Selain itu, dikhawatirkan terjadi ketidakselarasan rencana pembangunan antara pusat dan daerah. Hal-hal itulah yang sangat memperoleh perhatian serius masyarakat.
Dalam satu acara Sosialisasi Empat Pilar MPR RI dengan metode Focus Grup Discussion (FGD) yang digelar Badan Pengkajian MPR Kelompok V MPR RI bekerjasama dengan Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), di Manado, Sulawesi Utara, Sabtu (5/3) melibatkan tiga narasumber utama, yakni dosen Fakultas Hukum Unsrat Lendy Siar, dosen Fakultas Hukum Unsrat Toar N. Palilingan, dan dosen FISIP Unsrat Agustinus B. Patty. FGD ini diikuti sekitar 50 peserta akademisi Unsrat dan beberapa akademisi dan pakar tata negara di Manado.
BACA JUGA: Inilah Para Pemburu Gerhana, The Eclipse Chasers
FGD membahas secara mendalam soal “Reformulasi Sistem Perencanaan Pembangunam Nasional dengan Model GBHN'.
Beberapa anggota MPR yang menghadiri gelar acara tersebut sebagai komentator dan penerima aspirasi adalah Pimpinan Badan Pengkajian MPR Martin Hutabarat (Fraksi Gerindra), Sukamta (Fraksi PKS MPR), Ahmad Riza Patria (Gerindra), Muslim (Fraksi Demokrat MPR), dan Nurmawanti Dewi Bantilan dari kelompok DPD di MPR serta didampingi Kepala Biro Pengkajian Sekretariat Jenderal MPR RI Yana Indrawan.
BACA JUGA: Mau Sensasi Gerhana Matahari Total, Coba Ini !
Pada kesempatan tersebut, tiga akademisi yakni Lendy Siar, Toar N Palilingan dan Agustinus B Paty, bergantian memaparkan pandangannya soal tema tersebut termasuk soal amandemen UUD 1945.
Menurut Lendy Siar, tidak tabu bagi lembaga MPR RI sebagai perencana pembangunan nasional. Dalam perencanaan pembuatan rencana pembangunan atau haluan negara, Lendy memberi masukan harus ada koordinasi satu atap dalam segala bidang pembangunan nasional. Seperti pembangunan nasional bidang hukum, maka harus ada koordinasi baik antara lembaga-lembaga bidang hukum yakni polisi, Jaksa, pengadilan.
Sementara itu, Toar N. Palilingan dalam paparannya menguraikan bahwà wacana GBHN ini adalah guliran bola politik yang cukup berarti karena mendapat dukungan dari banyak partai politik besar.
Namun isu GBHN ini juga harus diwapadai memiliki implikasi politik yang tinggi. Sebab itulah sampai sekarang wacananya masih tarik ulur.
Toar sangat mendukung jika GBHN akan dihidupkan kembali, tapi yang memiliki kewenangan menetapkan adalah lembaga yang tidak terkait dengan penyelenggaraan negara. Lembaga MPR memang adalah lembaga yang pas untuk itu.
“Inilah dilemanya yakni kedudukan dan status MPR yang tidak lagi sebagai lembaga tinggi negara dan MPR tidak lagi berwenang soal perumusan GBHN,” katanya.
Sedangkan Agustinus B. Paty mengungkapkan bahwa dalam pembangunan nasional setelah ditiadakanya GBHN maka kesinambungan pembangunan nasional yang seharusnya terjaga menjadi hilang. Rangkaian perencanaan tersebut seharusnya berlangsung terus tanpa henti dan terus berkesinambungan pelaksanaannya adalah pemenuhan kebutuhan masa sekarang tanpa mengurangi kebutuhan generasi masa datang.
Masukan dan gagasan seru datang dari para peserta. Salah satunya dari akademisi Unsrat Prof. Isaac yang mengungkapkan bahwa fungsi dan peran MPR kini kurang menggigit tidak seperti jaman orde baru, peran MPR sangat vital dan sangat menggigit. Baru sekarang ini melalui wacana GBHN dan amandemen eksistensi lebih MPR kembali terangkat.
“Hal tersebut terjadi karena disebabkan traumatis kepada orde baru. Semua apa yang ada di orde baru jelek termasuk GBHN dan MPR sebagai lembaga tertinggi. Menurut saya mind set tersebut harus dihilangkan. Tidak semua di orde baru itu buruk contohnya GBHN dan MPR sebagai lembaga tertinggi sangat baik," ujarnya.
Namun, saat ini jika akan dimunculkan kembali harus dengan sangat hati-hati. Jangan sampai traumatik dan minor judgement keluar lagi dan menghambat penilaian-penilaian objektif soal GBHN dan kiprah MPR.
“Sah-sah saja sekarang kita mau kembali kepada GBHN namun dengan catatan yang pertama kali harus dilakukan adalah amandemen UUD 1945 kembali tanpa itu, kita tidak memiliki kekuatan apalagi MPR yang kekuatannya sudah terlucuti pasca amandemen, jika tidak ada kekuatan bagaimana MPR menyusun GBHN," imbuhnya.
Pimpinan Badan Pengkajian MPR RI Martin Hutabarat sangat mengapresiasi semua masukan dan ide-ide segar dari para akademisi dan para pakar tata negara di Manado.
“Inilah serap aspirasi masyarakat yang kita inginkan, semuanya memberi masukan yang sangat baik. Semua ini akan kami bawa ke Badan Pengkajian MPR untuk kita.pelajari dan kaji secara mendalam,” tandasnya.(Adv)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Inilah Lokasi Paling Aduhai untuk Nikmati GMT
Redaktur : Tim Redaksi