jpnn.com, JAKARTA - Wacana soal Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka bergabung menjadi kader hingga pimpinan tertinggi di Partai Golkar menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat, khususnya di internal partai berlambang pohon beringin.
Munculnya isu tersebut sejalan dengan rencana Musyawarah Nasional Partai Golkar yang akan digelar pada Desember 2024.
BACA JUGA: Wacana Jokowi Jadi Ketum Golkar, Firman Soebagyo Singgung AD/ART
Tidak sedikit yang 'menolak' secara halus bergabungnya Jokowi dan Gibran ke Golkar.
Salah satunya disampaikan Ketua Dewan Pembina DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie.
BACA JUGA: Qodari Yakin Mas Gibran Mampu Pimpin Partai Golkar
Ketua Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia (SOKSI) Jakarta Utara Rouli Rajagukguk. Foto: Dokumentasi pribadi
BACA JUGA: Pengurus DPD Kompak Dukung Airlangga Kembali Pimpin Golkar
Aburizal menyebut Golkar memiliki Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) atau aturan internal partai yang mengatur syarat menjadi ketua umum.
Kemudian, Ketua Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia (SOKSI) Jakarta Utara Rouli Rajagukguk menyebut nama Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto lebih layak jika disorongkan menjadi caketum Partai Golkar bersaing dengan beberapa nama yang diisukan maju dalam Munas Golkar.
Ada beberapa alasan kenapa Tommy Soeharto sangat layak disorongkan dalam bursa caketum Partai Golkar.
Pertama, putra Presiden RI ke-2 Soeharto itu diketahui tidak haus dengan kekuasaan.
Selama 20 tahun terakhir, alih-alih masuk dan bermain dalam pusaran kekuasaan, Tommy lebih fokus menjalankan dan membesarkan bisnis.
“Alasan kedua kenapa layak meneruskan kepemimpinan Bapak Airlangga Hartarto, orang tua Tommy Soeharto, yakni Presiden ke-2 RI Soeharto merupakan tokoh Pendiri Partai Golkar yang dalam sejarah pendiriannya identik dengan berdirinya Orde Baru dan telah membesarkan Partai Golkar," ujar Rouli Rajagukguk.
Selain itu, dia berharap nama Tommy Soeharto dapat dalam mengembalikan muruah Partai Golkar dan terakhir yang bersangkutan merupakan tokoh politik yang tidak tersandera kasus dugaan tindak pidana korupsi.
Pergeran Munas Golkar pada Desember 2024 mendatang, menurut Rouli jadi momentum yang sangat bagus dalam pusaran bursa caketum.
"Jika Tommy maju, tentu banyak kader yang berharap akan mengembalikan marwah dan kejayaan Partai Golkar. Momentumnya sangat tepat, paska Pemilu 2024," ujar Rouli.
Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Prof DR I Gde Pantja Astawa SH MH, sebelumnya menyatakan Partai Golkar sejak Era Reformasi ada perubahan orientasi kepemimpinan sehingga semua kader mempunyai peluang menjadi Ketua Umum Golkar.
"Golkar sekarang tidak lagi berorientasi pada tokoh, tapi pada kader. Dengan melihat Golkar yang berorientasi pada kader, ini peluang bagi kader-kader Golkar, siapapun dia. Ini pintu masuk, andaikata Mas Tommy mau masuk," kata Prof Pantja.
Namun demikian, soal peluang Tommy Soeharto muncul dan maju sebagai kandidat Ketum, Prof Gde Pantja memberikan sejumlah catatan.
Pertama, apakah nama Tommy Soeharto masih tercatat sebagai kader partai dan itu itu diketahui diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Golkar.
Hal itu menurutnya bisa menjadi batu sandungan. Sebab misalnya Tommy sudah bukan bagian dari Golkar, maka otomatis tidak bisa maju dan mencalonkan diri sebagai Calon Ketua Umum di Musyawarah Nasional 2024 dan atau Munaslub yang belakangan didorong sebagian kader Golkar.
"Kalau misalnya Mas Tommy mampu mempengaruhi kader-kader Golkar, dia dimunculkan dan kemudian di Munas itu diubah AD ART, bisa jadi beliau bisa ikut maju bertarung, tetapi ini urusannya, bagaimana pendekatan Mas Tomy," ujar Prof Gde Pantja.
Catatan kedua, Tommy Soeharto disebutkan dia mempunyai beban sejarah. Karena akan banyak pihak yang akan melihat dirinya dengan kiprah bapaknya selama memimpin Orde Baru.
Meski secara objektif, selain banyak kelemahan selama dipimpin Pak Harto, banyak juga kelebihan selama Indonesia dipimpin Pak Harto.
"Tommy mampu enggak mengemban beban itu kalau nanti mau tampil dipanggung. Dia harus beda performance-nya dengan bapaknya, dan itu tidak mudah," kata Prof Gde Pantja.
Dia menambahkan memang Tommy Soeharto mempunyai kepedulian tinggi terhadap lingkungan sosial dan tidak berbeda jauh dengan bapaknya.
Akan tetapi hal itu tidaklah cukup. Publik akan melihat juga bagaimana kemampuan manajerial, leadership, termasuk dibidang strategi seperti ayahnya yang membuat Indonesia relatif aman dan stabil baik ekonomi dan keamanan selama puluhan tahun.
"Mampu enggak begitu? Tidak mudah menurut saya, tetapi bukan tidak mungkin dia menjadi rising star kalau mampu menjawab beban sejarah," tegasnya.
Prof Gde Pantja lantas menyinggung kiprah Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.
Menurut dia, kemunculan Mega dipanggung politik juga menanggung beban yang sangat besar. Bagaimana Mega dihadapkan pada ketokohan ayahnya sebagai pemimpin Orde Lama yang terkenal dengan demokrasi terpimpin, kemudian pemimpin otoriter.
"Mega tampil dengan beban sejarah berat, memang kelebihannya sebagai Proklamator, sebagai Presiden, tetapi sisi kelemahannya juga ada. Toh Mega bisa bangkit dan itu membutuhkan waktu sampai kemudian sekarang menjadi tokoh sentral yang menurut saya kuat, belum tergoyahkan," ujar Gde Pantja.
"Sekarang kembali kepada Mas Tommy, kalau memang beliau sungguh-sungguh dan serius, demi masa depan Bangsa yang lebih baik dalam politik harus berani menghadapi itu semua. Kalau saya sebagai Mas Tommy misalnya, saya berani maju. Mengapa tidak? Karena kekurangan masa lalu tidak mewarisi ke anak. Ambil kelebihan bapaknya, tetapi kekurangannya jangan," ujar Prof Pantja.
Sejalan dengan pendapat Prof Dr I Gde Pantja Astawa, praktisi hukum dan pengamat politik sosial budaya Agus Widjajanto menyatakan sudah pantas dan wajar jikalau Golkar harus jatuh dan dipimpin oleh keluarga cendana, yakni salah satu putra mantan Presiden Soeharto.
Sebab, kata dia, nama Soeharto mempunyai kaitan historis/sejarah yang panjang serta masih punya basis massa yang kuat diakar rumput.
Saat ini, kata dia, tinggal bagaimana pada DPD di seluruh Indonesia bersepakat untuk mencari tokoh pembaharu yang diharapkan mengembalikan muruha partai sebagai partai yang sarat akan kekaryaan berbasis nasionalis sekaligus juga religius yang pengkaderannya telah matang secara konsolidasi dari bawah ke atas.(fri/jpnn)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur & Reporter : Friederich Batari