jpnn.com - JAKARTA -Tim pemenangan pasang Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunda rekapitulasi suara pemilu presiden di tingkat nasional. Permintaan itu tentu menuai protes dari sebagian kalangan masyarakat. Menurut Pengamat Politik Universitas Gajah Mada Ari Dwipayana, wacana itu menunjukkan kepanikan atas hasil real count yg dilakukan oleh KPU secara berjenjang.
"Berdasarkan data hasil real count KPU yang dilakukan secara berjenjang menunjukan pasangan Jokowi-JK lebih unggul dibandingkan pasangan nomor urut satu itu. Tentu saja hal ini berbeda denga klaim tim pemenangan Prabowo Hata yang menyatakan lebih unggul dalam real count," ujar Ari dalam pers rilisnya kepada JPNN, Minggu, (20/7).
BACA JUGA: SBY Undang Prabowo dan Jokowi Buka Puasa Bersama
Menurut Ari, tuntutan penundaan ini terkesan mengada-ada dan juga dipaksakan karena proses perhitungan suara dilakukan secara berjenjang dengan melibatkan penyelenggara pemilu, tim pasangan calon. Ketika muncul indikasi kecurangan maka, kata dia, seharusnya diklarifikasi oleh Bawaslu/panwaslu setempat serta diselesaikan langsung di tingkatannya. Tidak perlu sampai melakukan penundaan tersebut.
"Dengan demikian munculnya alasan penundaan karena kecurangan itu tidak bisa muncul secara tiba tiba tanpa ada proses penyelesaian di setiap tingkatan. Itu artinya wacana penundaan bisa jadi bagian dari skenario mendelegitimasi proses kerja penyelenggara pemilu dari bawah," sambungnya.
BACA JUGA: Resmikan KRI Bung Tomo dan KRI John Lie di Inggris
Ari menduga langkah mengangkat soal kecurangan ini bisa jadi bagian dari skenario untuk ciptakam opini sebgai victim (korban) kecurangan.
"Ini bisa dilihat sebagai strategi pembalikkan wacana yang sebelumnya justru pihak Prabowo Hatta disebut sebut melakukan praktek kecurangan. Hal ini sejalan dengan frame yang dibangun oleh Prabowo dalam wawancara dengan kantor berita AP bahwa kubunya merasa kalah karena dicurangi," beber Ari.
BACA JUGA: Jokowi-JK Ungguli Prabowo-Hatta di DKI
Menghadapi tekanan, Ari mengingatkann KPU agar tidak perlu terjebak dalam agenda setting permainan salah satu kubu. KPU diminta tetap konsisten menjalankan jadwal yang telah diatur sebelumnya.
Hal senada diungkapkan oleh Akademisi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Banten Leo Agustino. Leo pun menertawakan ide tim pemenangan Prabowo--Hatta tersebut. "Ini menggelikan sekaligus menyesatkan," tegasnya.
Pasalnya, kata dia KPU adalah lembaga formal yang diberi tanggungjawab undang-undang untuk menyelenggarakan pemilihan umum, baik Pileg maupun Pilpres. Maka KPU, ujarnya, sudah tahu betul kemampuan dan keupayaan lembaganya untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut.
"Aabila ada yang beranggapann penetapan hasil rekapitulasi pada tanggal 22 Juli terlalu dini, ini menggelikan. Dan perlu diingat juga bahwa hasil keputusan rapat pleno KPU setingkat UU," tegas Leo.
Selain itu, menurutnya, permintaan untuk menunda pengumuman hasil rekapitulasi Pilpres sama saja mendelegitimasi KPU.
"Jika pun kubu Prabowo-Hatta menyatakan penundaan tersebut perlu dilakukan atas alasan terjadinya kecurangan, maka mekanisme pengajuan ke MK-lah sebenarnya yang menjadi jalan keluarnya. Bukan mendesak KPU, yang sudah bekerja maksimal, untuk menunda pengumuman rekap tersebut," tegas Leo.
Jika permintaan itu dikabulkan ia mengkhawatirkan justru akan terjadi gejolak di tengah masyarakat yang telah lama menunggu hasil pengumuman perhitungan suara. (flo/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Brimob Bersenpi Dikirim ke Jakarta
Redaktur : Tim Redaksi