jpnn.com, JAKARTA - Pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago menilai wacana presiden dipilih MPR RI merupakan pengkhianatan terhadap semangat reformasi.
Dia menganggap salah satu buah reformasi adalah perubahan mendasar dalam mekanisme pemilihan presiden yang dilakukan secara langsung.
BACA JUGA: Presiden Jokowi: Ini yang Mau Saya Ganggu!
"Perubahan ini bukanlah sesuatu yang ujuk-ujuk terjadi, pengalaman pahit berada di bawah rezim otoriter dengan legitimasi absolut MPR sebagai lembaga tertinggi negara adalah pokok perkaranya," kata Pangi kepada JPNN.com, Jumat (29/11).
Pangi melanjutkan, ada banyak korban jiwa dalam agenda reformasi. Perjuangan panjang kaum intelektual dan dukungan dari masyarakat luas serta berbagai kelompok kepentingan akhirnya menumbangkan rezim otoriter orde baru beserta perangkat pendukungnya.
BACA JUGA: Perubahan Masa Jabatan Presiden Layak Dikaji Secara Akademik
"Transisi dari rezim otoriter ke era domokratis memang tidak selalu berjalan mulus, tetapi itu tidak serta-merta menjadi alasan untuk kembali ke fase kelam di bawah sistem yang dulu telah melahirkan otoritarianisme. Komplikasi persoalan pemilu langsung harus diselesaikan dengan pikiran jernih bukan reaksioner sehingga melahirkan solusi jitu bukan dengan mengambil jalan pikiran pintas karena malas bersitegang dengan pikiran dan gagal dalam membangun dealektika berpikir," kata dia.
Menurut Pangi, penggagas wacana itu memiliki indikasi malas berpikir dan gagal dalam berlogika. Sebab, problematika dan solusi yang ditawarkan tidak konsisten sama-sekali.
Jika persoalan politik berbiaya tinggi, politik uang dan keterbelahan publik yang melahirkan konflik menjadi argumen utama untuk menghapus pemilu langsung maka solusinya bukan serta-merta mengganti sistem.
"Lalu apakah dipikirkan soal konsekuensi atau mudarat dipilih MPR, menggapa kita mudah lupa sejarah bagaimana instabilitas pemerintahan, di tengah jalan presiden sangat mudah diimpeachmen, jelas tidak sekuat legitimasi presiden dipilih langsung, tidak mudah menjatuhkan presiden di tengah jalan hanya karena soal like or dislike. Dijatuhkan Gus Dur di tengah jalan oleh MPR mestinya cukup menjadi pembelajaran penting bagi kita betapa rapuhnya legitimasi presiden dipilih melalui mekanisme MPR," jelas dia.
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting itu menyatakan masih ada solusi dan alternatif lain untuk menekan dan meminimalisasi kerugian pemilihan langsung melalui paket sekelas undang-undang pemilu, bukan ujuk-ujuk amandemen konstitusi.
Paket undang-undang pemilu tersebut sudah lama menjadi wacana terkait pembiayaan politik, penghapusan ambang batas pencalonan presiden, mahar politik dan penegakan hukum terkait pelanggaran pemilu.
Selama upaya perbaikan sistem pemilu belum dilakukan secara optimal, dia merasa tak pantas menyalahkan pilihan sistem dan kemudian menggantinya dengan pilihan sistem lain yang telah terbukti membawa bangsa ini ke dalam sejarah kelam.
"Atau jangan-jangan mereka yang dulu merasakan nikmatnya kekuasaan dalam sistem otoriter itu sedang menyusun kekuatan, mereka sudah tidak sabar untuk kembali berkuasa," jelas Pangi. (tan/jpnn)
Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga