jpnn.com - Lembaga Dakwah PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) meminta pemerintah melarang wahabisme.
Usulan itu merupakan hasil dari Rakernas PBNU akhir pekan lalu.
BACA JUGA: Begini Isi Selebaran Mengajak Demo Tolak Wahabi di Bogor
Bersamaan dengan itu, sebuah video lama beredar kembali dan menjadi salah satu trending topic di Twitter.
Isinya wawancara YouTuber Deddy Corbuzier dengan Mentreri Agama Yaqut Cholil Qoumas.
BACA JUGA: Menag Yaqut Minta Pembatasan Usia Calon Jemaah Haji Dicabut, Arab Saudi MeresponsÂ
Potongan video yang beredar menunjukkan Menteri Yaqut mengatakan bahwa agama Islam adalah agama pendatang di Indonesia, dan karena itu Islam harus menyesuaikan dengan tradisi Indonesia.
Potongan 2 menit itu diambil pada dialog menit ke 7 sampai 9 dari total dialog sepanjang 49.25 menit.
BACA JUGA: Kesampingkan Haram atau Halal, Warga Arab Saudi Rayakan Halloween
Video yang beredar di media sosial mengedit wawancara itu dan langsung menyambungkannya dengan video Habib Rizieq Shihab (HRS) yang merespons pendapat Yaqut.
Dengan gaya retorikanya yang khas, HRS mengatakan bahwa Islam bukan agama pendatang, karena Islam diturunkan oleh Allah ke dunia untuk seluruh umat manusia.
Kata HRS, Islam bukan agama Arab, Islam adalah agama langit yang diturunkan ke bumi dan karena itu tidak terbatas oleh wilayah geografis.
Islam diturunkan di Arab, untuk mengislamkan orang Arab.
Budaya Arab yang harus menyesuaikan dengan aturan Islam, bukan sebaliknya.
Dalam bahasa HRS, ‘’Arab diislamkan, bukan Islam diarabkan’’.
Kata HRS, Islam kasuk ke Indonesia memang dibawa oleh orang-orang Arab.
Islam akan tetap menjadi agama pribumi di mana pun diturunkan.
Orang Arab pendatang di Indonesia. Orang China pendatang di Indonesia.
Akan tetapi, Islam bukan agama pendatang, dan karenanya harus dipribumisasi, diindonesiakan, dan dinusantarakan.
‘’Nabi diutus bukan untuk mengarabkan Islam tapi mengislamkan Arab. Jangan mengerdilkan Islam’’.
Imam Shamsi Ali penasihat Indonesian Islamic Society, Amerika Serikat, juga ikut berkomentar di akunnya di Twitter.
Imam Shamsi mengirim pesan kepada Yaqut dan mengingatkan bahwa Islam datang dari Allah SWT, bukan dari Arab.
Sepanjang akhir pekan topik ini menjadi trending yang menjadi perdebatan ramai para warganet.
Seperti biasa, argumen yang muncul saling serang satu dengan lainnya. Garis demarkasinya jelas antara yang mendukung dan menyerang.
Gagasan mengenai pribumisasi Islam di Indonesia bukan ide baru.
Hal itu sudah lama digagas oleh almarhum Gus Dur.
Gus Dur menyampaikan pentingnya memahami Islam secara kontekstual dan menyebutnya sebagai “Pribumisasi Islam”.
Gus Dur mengibaratkan Islam itu seperti benih yang bisa dibawa ke mana-mana, tetapi agar benih itu bisa tumbuh di suatu tempat, maka benih itu harus menyesuaikan dengan tanah di tempat itu.
Kalau Islam datang di dataran Melayu, maka dia harus bisa membuat akulturasi dengan situasi kehidupan yang ada di Melayu.
Begitu juga ketika Islam datang ke kawasan Eropa, maka dia juga harus bisa melakukan akulturasi dengan konteks Eropa.
Kalau Islam datang ke kawasan India, dia harus bisa melakukan penyesuaian dengan konteks India, begitu seterusnya.
Gagasan pribumisasi menjadi salah satu epistemologi banyak diikuti di Indonesia sekaligus menjadi gagasan yang kontroversial.
Para pemikir Islam kaliber internasional seperti Syekh Yusuf Alqardawi dan Prof. Naquib Alatas tidak sepakat dengan konsep pribumisasi dan menegaskan sifat universalisme Islam yang melampaui batas waktu dan geografis, ‘’Shalihun likulli zaman wa makan’’, Islam selalu sesuai dengan segala waktu dan tempat.
Konsep pribumisasi Islam berbanding terbalik. Ada ajaran-ajaran yang sifatnya historis sesuai dengan konteks lokal dan ada ajaran yang sifatnya universal.
Yang bersifat historis itulah yang harus disesuaikan dengan kondisi geografis dan budaya setempat.
Karena itu, Gus Dur mengatakan ucapan salam ‘’Assalamu alaikum’’ bisa diganti dengan ‘’selamat pagi’’, ‘’selamat siang’’, dan seterusnya.
Gagasan Gus Dur ini dianggap melenceng terlalu jauh, dan bahkan sekalangan kiai-kiai senior NU pun tidak sependapat.
Beberapa ulama NU terkemuka pun menyatakan memisahkan diri dari Gus Dur.
Gus Dur menekankan bahwa Islam perlu menyesuaikan diri dengan kondisi kultural di mana Islam itu ditempatkan.
Sebab, segala keadaan tidak bisa secara literal mengikuti Islam, jusru yang harus dilakukan adalah saling menyesuikan diri dan bagaimana Islam mampu beradaptasi dengan berbagai kondisi kultural yang berbeda-beda sekaligus berubah-ubah.
Dengan kata lain, kehadiran Islam di Indonesia harus bisa menyesuaikan diri dengan cara melakukan akulturasi dengan konteks Indonesia.
Bagaimana pun Gus Dur punya kredensial dan otoritas keilmuan yang mumpuni untuk memperdebatkan gagasan pribumisasi Islam.
Dia menguasai khazanah keilmuan Islam dan khazanah barat dan bisa mengambil sintesa dari pemikiran-pemikiran itu.
Gus Dur bisa dengan jernih menjelaskan gagasan-gagasannya itu.
Akan tetapi, ketika sekarang gagasan itu diadopsi oleh Yaqut dan dijadikan sebagai kebijakan praktis di kementerian agama, reaksi kalangan Islam menjadi lebih keras.
Hal ini sangat mungkin berkaitan dengan kredensial Yaqut yang tidak meyakinkan.
Lawan-lawan politiknya menganggap Yaqut dipilih oleh Jokowi menjadi menteri agama karena keberaniannya menghadapi kalangan yang sering dilabeli sebagai kelompok intoleran, bukan karena kemampuan keilmuannya dalam hal agama.
Komentar para warganet terhadap pernyataan Yaqut dalam trending topic kali ini juga tidak berbeda dari komentar-komentar lama yang sudah beredar.
Muncul pertanyaan mengapa video lama itu dimunculkan lagi. Ada kemungkinan hal itu merespons usulan PBNU supaya pemerintah melarang wahabisme.
Usulan ini juga memantik perdebatan di media sosial.
Selain mengusulkan pelarangan wahabisme Lembaga Dakwah PBNU juga menyarankan pemerintah melarang pelaksanaan event ‘’Hijrah Fest’’.
Belum diketahui apa hubungan pelarangan wahabisme dengan Hijrah Fest.
Pemerintah Presiden Joko Widodo sudah mengeluarkan keputusan melarang dua ormas Islam.
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dinyatakan sebagai organisasi terlarang dan dibubarkan pada 2017.
Menyusul kemudian pada 2019 Front Pembela Islam (FPI) dilarang melakukan aktivitas dan izinnya tidak diperpanjang.
Pelarangan dua ormas Islam ini dianggap sebagai tindakan yang tidak demokratis oleh rezim Jokowi dan menjadi salah satu penyebab turunnya indeks demokrasi Indonesia.
Melarang wahabisme akan menjadi tantangan serius bagi pemerintah Jokowi.
Beda dengan HTI dan FPI yang bentuk organisasinya jelas, wahabisme bukan organisasi melainkan sebuah ide dan gerakan.
Melarang wahabisme akan jauh lebih kontroversial ketimbang melarang HTI dan FPI. Di tengah kondisi politik yang hangat menjelang 2024, Jokowi tentu tidak akan sembrono membuat keputusan yang kontroversial. (**)
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror