jpnn.com - JAKARTA – Para orang tua harus mengetahui bahwa ada dampak buruk yang berpotensi terjadi pada anak yang masuk ke Sekolah Dasar (SD) sebelum waktunya.
Psikolog anak dan keluarga Samanta Elsener dari Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) mengingatkan para orang tua agar memperhatikan perkembangan psikologis anak sebelum memutuskan memasukkan anak masuk SD di usia 6 tahun.
BACA JUGA: Sarwendah Menahan Tangis Saat Ungkap Kondisi Psikologis Anak Gegara Sering Difitnah
“Persiapan perkembangan psikososialnya perlu dilihat. Jika anak secara hasil psikotesnya mampu untuk mengikuti proses belajar di SD, maka orang tua dapat menyekolahkan anak masuk SD di usia 6 tahun. Jika tidak, maka tidak akan direkomendasikan oleh psikolog untuk masuk SD,” kata Samanta saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Jumat (5/7).
Samanta menjelaskan, idealnya usia anak masuk SD sebenarnya tergantung dari kesiapan dirinya berbaur dengan lingkungan baru.
BACA JUGA: Sandy Tumiwa Ingin Selamatkan Psikologis Anak
Dia menyebutkan, rata-rata anak sudah dapat mengikuti pembelajaran di usia antara 6-7 tahun.
Namun, tak jarang terdapat anak yang sudah dimasukkan ke SD sebelum waktunya.
BACA JUGA: Viral Bocah Doyan Makan Sandal Hingga Kertas, Begini Kata Psikolog Anak, Ternyata
Akibatnya, terdapat beberapa dampak buruk yang mungkin dialami anak, contohnya anak jadi malas belajar hingga anak merasa tertekan.
Hal ini akan membuat orang tua akan menerima banyak keluhan dari guru karena prestasi belajar anak yang berisiko kurang bagus.
Samanta menilai hal itu disebabkan karena diri anak baik secara mental maupun kognitifnya belum siap untuk memulai hal baru.
“Dalam hal ini, secara psikososial dan emosional ini menjadi penting bagi anak untuk melihat kesiapannya agar ia dapat mengikuti kegiatan belajar di sekolah dengan menyenangkan,” ucap dia.
Maka dari itu, kata Samanta, butuh kesiapan ekstra bila orang tua tetap bersikeras menyekolahkan anak sebelum usia idealnya.
Secara bertahap, anak perlu diberikan pemahaman supaya bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya.
Dia menyarankan orang tua untuk mendorong anak-anak berinteraksi dengan banyak orang, sehingga muncul stimulasi untuk berbaur dengan lingkungannya.
“Ajarkan pula anak untuk bermain bersama teman melalui simulasi bermain dengan dua-tiga orang atau dalam skala ruang bermain yang lebih ramai.”
Samanta menyarankan, sebagai bentuk pencegahan anak menjadi pelaku atau korban perundungan (bullying) di sekolah di usianya yang masih mencontoh tiap perilaku dan ucapan di sekitarnya, orang tua dapat mempererat hubungannya dengan orang tua dari siswa lain.
Kemudian membuat janji untuk bermain bersama dalam rangka mengajarkan rasa saling menyayangi dan menghargai antarteman.
“Jangan lupa juga untuk mengajarkan anak memakai sepatunya sendiri, ganti baju dan lulus toilet training.”
“Pastikan anak bisa makan sendiri dan mampu berpisah dari orang tua dalam waktu lama agar kemandiriannya makin terbentuk,” kata Samanta. (antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Soetomo Samsu