Wahai Pihak yang Dorong Jokowi 3 Periode, Ingatlah Pengalaman Orde Baru!

Senin, 21 Juni 2021 – 16:15 WIB
Analis politik dari Undip Semarang Dr. Drs. Teguh Yuwono, M.Pol.Admin. ANTARA/HO-Dokumentasi Pribadi

jpnn.com, SEMARANG - Analis politik dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Teguh Yuwono menyoroti sikap segelintir orang yang mendorong Presiden Joko Widodo maju kembali pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

Dia mengingatkan masa di mana Orde Baru berkuasa selama 32 tahun di Indonesia.

BACA JUGA: Dave Laksono Sebut Sebuah Langkah Ampuh agar Indonesia Segera Bangkit

Teguh kemudian mengajak para kalangan akademisi dan media massa sebagai penjaga demokrasi, memastikan keinginan segelintir orang tersebut tidak terwujud.

"Kalangan akademisi dan media massa sebagai penjaga demokrasi harus memastikan bahwa sistem demokrasi yang ada di dalam konstitusi harus ditegakkan," ujar Teguh Yuwono di Semarang, Senin (21/6).

BACA JUGA: Kondisi Para TKI ini Memprihatinkan, Beberapa Mengalami Kelumpuhan

Teguh Yuwono mengemukakan hal itu terkait pernyataan Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari di sejumlah media yang menjelaskan alasan pembentukan Komunitas Jokowi-Prabowo 2024.

Keberadaan sukarelawan ini muncul, karena ada ide dan gagasan dari berbagai kalangan agar Presiden Jokowi bisa menjabat hingga tiga periode.

BACA JUGA: HNW Soroti Sikap Segelintir Orang Dorong Jokowi Maju 3 Periode, Tegas!

Teguh Yuwono lantas mengingatkan mereka bahwa bangsa ini pernah punya pengalaman ketika pemerintahan Pak Harto (sapaan akrab Jenderal Besar H.M. Soeharto) tidak ada pembatasan masa bakti sebagai presiden, kemudian bermasalah ke mana-mana.

"Jadi, tidak boleh ada pemikiran-pemikiran, misalnya, mengubah konstitusi dengan menambah masa jabatan presiden," kata Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Undip Semarang ini.

Teguh Yuwono melihat fenomena pendukung dengan memunculkan pasangan-pasangan baru atau sukarelawan-sukarelawan baru, seperti sukarelawan Ganjar dan sukarelawan Puan, lebih baik dan merupakan pendidikan politik.

Walaupun pemilu presiden dan wakil presiden RI masih lama, nama-nama bakal capres tidak tabu dibicarakan oleh publik.

Hal ini, menurut Teguh justru menjadi poin positif untuk pembangunan budaya demokrasi dan keterbukaan politik bangsa.

"Hingga orang tidak sungkan berbicara. Hal ini beda dengan zaman Orde Baru, tidak ada orang yang berani bicara siapa pun pengganti H.M. Soeharto," kata alumnus Flinders University Australia ini.

Sekarang ini, menurut dia, lebih bagus karena ada pendemokrasian (demokratisasi) ketika orang sudah selesai masa jabatannya dan tidak mungkin lagi menjabat di tempat itu, muncul nama-nama baru.

"Nah, nama-nama baru muncul ke permukaan dalam wacana publik itu bagian dari proses demokratisasi."

"Jadi, jangan dilihat kemudian munculnya lembaga survei yang cukup aktif memengaruhi wacana publik itu menjadi menurunkan kadar demokrasi kita," katanya.

Teguh kemudian menjawab apakah koalisi Jokowi-Prabowo akan berlangsung? Menurutnya hal tersebut cukup menarik untuk disoroti.

"Akan tetapi, itu semua muaranya pada tokoh-tokoh partai sebetulnya, seperti Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, Airlangga Hartarto, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan tokoh partai lain."

Dia memprediksi pada Pemilu 2024 tokoh-tokoh lama menjadi faktor penentu siapa saja yang menjadi bakal capres/cawapres.

"Sebetulnya, pertarungan masih tokoh-tokoh lama. Pertarungan tokoh-tokoh tua yang memang menguasai jaringan perpolitikan nasional, khususnya di partai-partai besar dan kuat itu," pungkas Teguh.(Antara/jpnn)


Redaktur & Reporter : Ken Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler