Wakil Ketua Kadin: Revisi UU KPK Harus Dikawal

Senin, 16 September 2019 – 23:07 WIB
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Bidang Regulasi dan Hukum Melli Darsa. Foto: Ist

jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua Umum KADIN Melli Darsa menilai revisi UU KPK sebagai hal wajar. Namun, proses pembahasannya tetap perlu dikawal untuk memastikan hasilnya positif bagi upaya pemberantasan korupsi.

lebih baik kita kerahkan energi dan pikiran kita untuk mengawal proses RUU KPK agar memerhatikan poin-poin berikut, yaitu peningkatan kualitas SDM, nilai dan budaya institusi, tata kelola dan pengendalian, serta akuntabilitas dan transparansi,” kata Melli, Senin (16/9).

BACA JUGA: Fahri: Revisi UU KPK Sudah Diusulkan Sejak Era SBY

Melli berpendapat, check and balance merupakan mekanisme yang jamak digunakan dalam sebuah negara demokrasi. Keberadaan badan pengawas tidak perlu dipertentangkan dengan independensi atau integritas KPK dalam menegakkan hukum.

Dia yakin, KPK tetap independen dalam penetapan tindakan, aksi, dan penilaian profesional terhadap tindakan pencegahan dan pemberantasan korupsi.

BACA JUGA: Revisi UU Mencegah KPK Lupa Diri

“Yang penting anggota dari Dewan Pengawas itu dijaga profesionalitasnya. Ibaratnya lebih sebagai two tier structure seperti halnya di badan hukum perseroan terbatas pada umumnya. Ada direksi, ada komisaris. Keduanya sejajar, saling melengkapi, saling memperkuat, dan selama dibentuk dengan benar komisaris tidak melemahkan direksi,” jelas Melli.

Selain itu, Melli menambahkan bahwa revisi UU KPK perlu dilanjuti nantinya dengan revisi UU Tipikor. Merevisi UU KPK tanpa merevisi UU Tipikor ibarat smartphone bagus tapi tanpa software canggih.

BACA JUGA: Akademisi Ini Setuju dengan Revisi UU KPK, Asal...

Dijelaskannya, UU Tipikor terkait erat dengan doktrin-doktrin keuangan negara dalam arti luas. Paradigma keuangan negara dalam arti luas dari UU Perbendaharaan Negara saat ini masih menimbulkan banyak ketidakpastian bagi dunia usaha. Salah satu contohnya adalah pasal di dalam UU Tipikor yang mengatur bahwa tindak pidana korupsi meliputi perbuatan yang dapat merugikan keuangan negara.

Konsep ini dalam praktiknya masih diartikan terlalu kaku dan normatif, sehingga sebuah transaksi bisnis atau corporate action yang biasa dilakukan di dunia usaha dapat disalahartikan sebagai tindakan korupsi hanya karena masalah prosedural.

Contoh lain, terkait dengan corporate action di BUMN yang sering kali dikaitkan dengan definisi potensi kerugian keuangan negara dari UU Perbendaharaan Negara. Padahal perlu diingat, aset dan keuangan BUMN sudah dipisahkan dari APBN.

"Dan dalam bisnis yang namanya potensi rugi pasti ada. Tapi kan bukan berarti perusahaan ingin rugi atau sengaja merugi. Maunya pasti untung dengan strategi korporasi yang terukur dan mengelola dengan baik risiko yang ada,” kata Melli.

“Umpamanya BUMN melakukan transaksi derivatif atau haircut non-performing loan, itu kan biasa saja sebenarnya di dunia usaha dan tidak ada niat jahat di situ. Jadi jangan langsung di-cap BUMN tersebut melakukan korupsi. Kita harus ingat bahwa di dunia usaha yang namanya corporate action atau investasi itu return-nya tidak dalam jangka pendek,” tutup Melli. (dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler