Wakil Ketua MPR: Ada Relasi Antara Agama dan Negara

Kamis, 27 Juli 2017 – 17:45 WIB
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid saat menghadiri sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan kepada civitas akademika Sekolah Tinggi Islam dan Dirosat Islamiyah (STIDI) Al Hikmah, Jakarta. Foto: Humas MPR

jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mengucapkan terima kasih kepada civitas akademika Sekolah Tinggi Islam dan Dirosat Islamiyah (STIDI) Al Hikmah, Jakarta, yang telah melakukan kerja sama dengan MPR dalam hal mensosialisasikan Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

“Terima kasih atas kerja samanya,” ujar Hidayat.

BACA JUGA: Ketua MPR: Semua Orang Punya Hak yang Sama Untuk Jadi Apa Pun

Di hadapan para dosen dan mahasiswa perguruan tinggi Islam tersebut, Hidayat Nur Wahid menjelaskan bahwa agama Islam tidak pernah mendikotomikan antara urusan dunia dan akhirat. “Para ulama pendiri bangsa belajar agama adalah juga untuk bagaimana mengurus kehidupan berbangsa dan bernegara,” paparnya.

“Dalam urusan negara tak bisa kita melepaskan agama,” tambahnya.

BACA JUGA: Ketua MPR: Apapun Latar Belakangnya, Semua Punya Hak yang Sama

Dia mencontohkan, dasar negara Pancasila dan seluruh undang-undang dasar, dari UUD Tahun 1945 hingga UUD NRI Tahun 1945, menyebutkan bahwa negara ini berdasarkan kepada Ketuhan yang Maha Esa.

Lebih lanjut diungkapkan, ketika bangsa ini merdeka, 17 Agustus 1945, Pancasila yang ada adalah Pancasila yang disepakati pada 23 Juni 1945. Pancasila itu disepakati oleh Tim 9, 4 anggota Tim 9 adalah Abikusno Tjokrosuyoso, Wachid Hasyim, Kahar Muzakir, dan Agus Salim. “Mereka adalah dari golongan Islam,” ujarnya.

BACA JUGA: Oesman Sapta: Anggota MPR Harus Mengutamakan Politik Kebangsaan

Dalam Piagam Jakarta tersebut, Sila I Pancasila mengatakan, Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Namun pada hari selanjutnya, utusan masyarakat Indonesia bagian timur yang beragama non-Muslim melalui Mohammad Hatta merasa keberatan dengan Sila I itu. Setelah melakukan lobby-lobby akhirnya keberatan itu diterima sehingga Sila I Pancasila bunyinya seperti Pancasila saat ini.

“Tokoh-tokoh Islam mengakomodasi keberatan itu,” ujarnya. “Sila I Pancasila yang disepakati selanjutnya akhirnya diterima semua kelompok,” tambahnya.

Politikus Partai Keadilan Sejahtera ini menegaskan Sila I Pancasila itu menunjukkan dasar negara menyatakan adanya relasi, hubungan, antara negara dan agama. Dikatakan “pendiri bangsa kita memikirkan bagaimana kita mempunyai sebuah negara Indonesia merdeka tetapi juga berjalannya keberagamaan.”

Meski ada perubahan Sila I Pancasila, ummt Islam tetap bersemangat dalam masalah kebangsaan dan kenegaraan. Dicontohkan, ketika Belanda hendak kembali menguasai Indonesia dengan memboncengi tentara Sekutu yang menyerbu Surabaya. Para ulama di Jawa Timur dan Madura yang dipimpin oleh KH. Hasyim Azhari, mengeluarkan fatwa Jihad. Fatwa itu berisi sikap bahwa wajib hukumnya bagi ummat Islam untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

“Umat Islam bersepakat untuk mempertahankan Indonesia,” ucapnya.

Dirinya membayangkan bila ulama tidak peduli pada bangsa dan negara. “Bisa-bisa Indonesia dikuasai dan dijajah asing lagi,” ujarnya.

Meski Indonesia sudah merdeka namun Belanda dengan berbagai cara tetap ingin menguasai Indonesia, bila tidak lewat kekuatan perang, mereka akan melakukan lewat kekuatan diplomasi. Kekuatan diplomasi ini mampu membuat Indonesia terpecah-belah dalam berbagai negara tersendiri. Indonesia berada dalam bentuk serikat, RIS. Bentuk RIS seperti ini menurut politisi dari partai Islam, Masyumi, disebut tak sesuai dengan cita-cita Indonesia merdeka. Untuk itu politisi Islam yang bernama Mohammad Natsir itu menggalang kekuatan dan dukungan dari anggota parlemen untuk menolak bentuk RIS.

Selanjutnya, pada 3 April 1950, Natsir berpidato tentang mosi integral. Mosi ini menghendaki Indonesia kembali ke bentuk NKRI. Mosi itu didukung oleh para politisi dan Mohammad Hatta. Akhirnya pada 17 Agustus 1950, Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan NKRI setelah Januari 1946 hingga April 1950 berbentuk RIS.

Dari paparan sejarah tersebut, Hidayat Nur Wahid menegaskan tidak benar kalau disebut Umat Islam anti-Pancasila dan anti-NKRI. “Ümat Islam yang menyelamatkan Indonesia,” tegasnya. Para pendiri bangsa yang banyak lulusan pesantren itu membangun negara tanpa melepas pemahaman keagamaan mereka.

”Ketika kita memahami Empat Pilar MPR, kita tidak lepas dari adanya relasi, hubungan, ke-Indonesia-an dan ke-Islam-an,” ucapnya.(adv/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... OSO: Kesenjangan Pembangunan Usik Nasionalisme


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
MPR  

Terpopuler