Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat Dorong Kolaborasi untuk Optimalkan Potensi Lahan Basah

Rabu, 31 Januari 2024 – 22:42 WIB
Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema 'Lahan Basah: Mengeksplorasi Potensi Kekayaan Sumber Daya Alam Kita' yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (31/1). Foto: Dokumentasi Humas MPR RI

jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat mendorong kolaborasi lintas bidang terkait kebijakan serta keterlibatan masyarakat untuk mengoptimalkan potensi lahan basah dalam pelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang merata.

Hal ini disampaikannya saat membuka diskusi daring bertema 'Lahan Basah: Mengeksplorasi Potensi Kekayaan Sumber Daya Alam Kita' yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (31/1).

BACA JUGA: Gelar Program SEB di Makassar, Pertamina Gaungkan Penerapan Energi Bersih Ramah Lingkungan

"Sesuai amanat konstitusi UUD 1945, pengelolaan seluruh kekayaan sumber daya alam (SDA) dimaksimalkan untuk kesejahteraan rakyat, termasuk potensi lahan basah," kata Lestari Moerdijat.

Lestari menyebutkan setidaknya Indonesia memiliki tujuh potensi kekayaan SDA, yakni potensi hutan, kekayaan biota laut, tambang, tanah, air, udara dan pariwisata.

BACA JUGA: PROPER KLHK Dorong Peningkatan Kinerja Pengelolaan Lingkungan dan Ketaatan Industri Atas Peraturan LH

Selain itu ke-7 potensi kekayaan SDA yang ada, lanjut dia, Indonesia juga kaya akan lahan basah (wetland) yang nilai ekonomi dan ekologinya perlu mendapat perhatian lebih dalam upaya memanfaatkan dan melestarikan potensi yang ada.

Menurut Rerie yang akrab disapa, berdasarkan potensi lahan basah yang dimiliki, para pemangku kepentingan harus mampu memperhatikan pemanfaatan lahan basah melalui aturan dan tata kelola lahan basah yang baik dalam upaya memitigasi perubahan iklim dan melestarikan ekosistem.

BACA JUGA: Kritik Proyek Beach Club Pantai Krakal, Ekonom: Jangan Rusak Lingkungan demi Cuan

"Apalagi, sebagai negara yang meratifikasi Konvensi Ramsar, pemerintah wajib memberikan perlindungan pada lokasi lahan basah sekaligus merencanakan pemanfaatan lahan basah secara berkelanjutan," tegas legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu

Rerie sangat berharap potensi yang dimiliki Indonesia pada lahan basah dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya dengan menerapkan sejumlah kebijakan yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus pelestarian lingkungan di tanah air.

Pada kesempatan yang sama, Fungsional Madya Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/ Bappenas Dadang Jainal Mutaqin mengungkapkan arah kebijakan pemerintah terhadap lahan basah saat ini baru tertuju pada lahan gambut dan mangrove.

Diakui Dadang, saat ini kita menghadapi bencana yang mengancam kehidupan manusia. Setidaknya, jelas dia, ada tiga krisis yang mengancam manusia saat ini yaitu perubahan iklim, peningkatan polusi dan kehilangan keanekaragaman hayati.

"Hal itu sudah ditandai dengan tren peningkatan bencana pada beberapa tahun terakhir, yang didominasi bencana hydro meteorologi," jelas Dadang.

Menurut Dadang, dampak ekonomi yang ditimbulkan sejumlah bencana itu sejak 2020-2024 lebih dari Rp 500 triliun di luar kerugian kehilangan nyawa manusia.

Jika bencana itu tidak dicegah, tegas dia, akan semakin besar dampaknya.

"Visi pengelolaan lahan basah di Indonesia mengarah pada pengelolaan ekosistem gambut dan mangrove untuk mendukung pencapaian target pembangunan berkelanjutan dan mewujudkan ekosistem rendah karbon menuju visi Indonesia 2045," ujar Dadang.

Sekretaris Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Ayu Dewi Utari mengungkan pihaknya menargetkan restorasi gambut seluas 1,2 juta hektare dan restorasi mangrove seluas 600 ribu hektare di tanah air hingga akhir 2024.

"Dalam proses restorasi dibutuhkan pemutakhiran peta mangrove setiap tahun mengingat cepatnya perubahan yang terjadi," ungkap Ayu.

Terutama, tambah dia, mangrove di pesisir yang berpotensi terkena abrasi dan hilang atau terkonversi menjadi tambak.

Ayu pun menegaskan jika tidak ada upaya merestorasi mangrove, Indonesia akan kehilangan luas tutupan mangrove 24 ribu hektare per tahun.

"Secara umum, upaya mitigasi yang dilakukan dalam proses restorasi gambut dan mangrove mengarah pada upaya mencegah emisi, mengurangi emisi dan meningkatkan serapan emisi," jelasnya.

Direktur Wetlands International Indonesia Yus Rusila Noor mengungkapkan peringatan Hari Lahan Basah Dunia pada setiap 2 Februari, mendorong pemanfaatan lahan basah secara bijaksana.

Terkait definisi lahan basah, lanjut Yus, biasanya setiap negara memiliki definisi masing-masing.

Namun, bagi Indonesia definisi lahan basah merujuk pada Pasal 1 ayat 1 Konvensi Ramsar.

Konvensi Ramsar adalah perjanjian internasional untuk konservasi dan pemanfaatan lahan basah secara berkelanjutan.

Konvensi Ramsar diratifikasi pemerintah Indonesia pada tahun 1991 melalui Keputusan Presiden RI No. 48 tahun 1991

Menurut Yus Rusila, setiap lahan basah memberikan jasa terhadap ekosistem bagi umat manusia.

"Sehingga, dalam pengelolaan lahan basah setidaknya ada empat hal yang harus dilakukan yaitu sinkronisasi kebijakan, penegakkan hukum dan kebijakan, pemanfaatan pengetahuan dan teknologi, serta pelibatan masyarakat dalam setiap kegiatan," terangnya.

Executive Director Ecoton Prigi Arisandi dalam diskusi tersebut juga menyampaikan pihaknya akan memasukkan sungai sebagai bagian dari ekosistem lahan basah.

"Hutan merupakan sumber nutrisi dari sungai-sungai kita. Namun sangat disayangkan, 64 sungai strategis di tanah air sudah tercemar mikroplastik dan mikropolutan," kata Prigi.

Prigi juga menyayangkan, di satu sisi kita berupaya memperbaiki lahan yang rusak, tetapi di sisi lain kita juga membiarkan penebangan pohon-pohon besar dan mengeringkan rawa untuk menanam kelapa sawit.

Prigi mengaku prihatin dengan upaya penegakkan hukum yang selalu terkendala tumpang tindih kewenangan antarlembaga.

"Penting untuk mendorong agar para pemimpin lokal melakukan upaya-upaya pencadangan dan perlindungan kawasan untuk mencegah pengrusakan," ujar Prigi.

Ketua Bidang Regional SIEJ Aditya Heru Wardhana mengungkapkan dari sisi pemberitaan di media massa isu terkait lahan basah belum menjadi perhatian para jurnalis.

Bahkan, ujar dia, pada rangkaian debat capres dan cawapres belum ada satu pun kandidat yang menyinggung isu lahan basah.

"Liputan terkait lahan basah di media massa masih terbatas pada kegiatan seremonial semata. Lahan basah menjadi berita besar bila terkait dengan kebakaran lahan," ujar Aditya.

Menurut Aditya, jurnalis lingkungan memegang peran kunci dalam proses membangun pemahaman dan kesadaran masyarakat terkait pentingnya peran lahan basah bagi keberlangsungan pelestarian ekosistem dan
kesejahteraan masyarakat. (mrk/jpnn)


Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Sutresno Wahyudi, Sutresno Wahyudi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler