Wakil Ketua MPR Tegaskan Negara Harus Hadir Melindungi Pejuang Lingkungan

Rabu, 07 Februari 2024 – 23:56 WIB
Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat menegaskan negara harus hadir melindungi pejuang lingkungan. Foto: Dokumentasi Humas MPR RI

jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat mengatakan negara harus hadir melindungi setiap warganya dengan menempatkan asas praduga tak bersalah dan mengesampingkan kepentingan tertentu dalam upaya mendukung inisiatif masyarakat melestarikan lingkungan.

"Jangan sampai inisiatif partisipasi masyarakat dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan melalui ruang virtual malah harus berhadapan dengan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)," kata Lestari Moerdijat dalam keterangan tertulisnya, Rabu (7/2).

BACA JUGA: Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat Dorong Kolaborasi untuk Optimalkan Potensi Lahan Basah

Dalam diskusi daring bertema 'Perangkap UU ITE terhadap Penggiat Lingkungan dan (Media) Sosial' yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 pada Rabu (7/2), Lestari mengatakan esensi UU ITE sejatinya adalah melindungi seluruh warga negara dalam ruang digital.

Rerie yang akrab disapa itu menjelaskan secara spesifik bahwa perlindungan dimaksud merujuk pada upaya mencegah tersebarnya informasi palsu, berita bohong, kekerasan virtual, ancaman dan distorsi informasi yang memicu konflik sosial.

BACA JUGA: Pertamina Dukung SMAN 8 Denpasar Jadi Sekolah Ramah Lingkungan Melalui Program SEB

Di sisi lain, kata legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu, dengan menggunakan UU ITE, pejuang lingkungan #SaveKarimunjawa dikriminalisasi, karena aktif menyuarakan penolakan terhadap keberadaan tambak udang Vaname ilegal yang tersebar masif di Kepulauan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.

Dalam konteks tersebut, anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu menegaskan negara harus hadir melindungi warga secara menyeluruh dalam ruang virtual tanpa diskriminasi.

Direktur Eskekutif WALHI Zenzi Suhadi dalam diskusi itu mengungkapkan konstitusi melindungi semua orang dan mereka berhak mendapat lingkungan yang baik dan sehat.

Selain itu, setiap negara wajib terlibat dalam penyelamatan lingkungan hidup.

Atas dasar itulah, jelas Zenzi, setiap orang harus berperan melindungi lingkungan hidupnya.

"Konflik terkait lingkungan kerap terjadi, karena ada cara pandang yang berbeda antara masyarakat dan negara.," kata Zenzi.

Menurut Zenzi, masyarakat memiliki pedoman hidup terkait aturan benar atau salah dan baik atau buruk.

Penilaian itu sudah dipakai pada praktik keseharian dalam pengelolaan lingkungan berdasarkan norma dan etika.

"Negara tidak memandang satu kebijakan atas benar atau salah dan baik atau buruk, tetapi semata berdasarkan legal dan tidak legal," ujarnya.

Oleh karena itu, idia menegaskan ketika ada masyarakat yang melawan legalitas suatu kebijakan, negara menilai masyarakat yang mengkritik kebijakan itu sebagai pihak jahat.

Akibatnya, tambah Zenzi, kerusakan lingkungan Indonesia justru masif terjadi diawali oleh terbitnya kebijakan.

"Seharusnya, kritik terhadap suatu kebijakan dijadikan dasar untuk mereview kebijakan tersebut," tegasnya mengingatkan.

Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK Satyawan Pudyatmoko berpendapat setiap upaya konservasi di dunia memiliki tiga tujuan utama, yaitu menjaga ekosistem dan mempertahankan proses-proses ekologis penting yang menjadi pengganggu kehidupan manusia.

Selain itu, perlindungan keanekaragaman spesies dan genetik satwa dan tumbuhan liar dari kepunahan yang terjadi alami.

"Bila tidak diatur dengan upaya konservasi, kepunahan sejumlah spesies akan lebih cepat," ungkapnya.

Tujuan berikutnya adalah pemanfaatan secara lestari untuk menyeimbangkan kepentingan konservasi dan ekonomi.

Menurut Setyawan, kebijakan lingkungan hidup bukan sekadar legal atau tidak legal, karena undang-undang tentang lingkungan hidup selalu dilengkapi aturan Amdal dan aturan-aturan pelaksanaannya.

Setyawan berpendapat hadirnya undang-undang tentang lingkungan hidup itu untuk melindungi wilayah Indonesia dari kerusakan lingkungan dan melindungi kehidupan manusia.

"Sejumlah tujuan dari kebijakan tersebut, memperlihatkan bahwa kebijakan yang dihadirkan pemerintah bukan didasari dengan legal atau tidak legal semata," tambahnya.

Warga Karimunjawa Bambang Zakaria mengungkapkan dirinya dan keluarga hidup dan mencari nafkah di lingkungan Karimunjawa berdasarkan budaya yang dikenalnya sejak lahir.

Karena sejatinya, ujar Bambang, warga Karimunjawa adalah pendatang yang terdiri dari sejumlah suku antara lain Jawa, Bugis, Madura dan Mandar.

Namun, tegas dia, beberapa tahun belakangan ini masyarakat Karimunjawa dipaksa memakai undang-undang dalam mengelola lingkungan.

Padahal, ketika belum ada penerapan undang-undang dalam pengelolaan lingkungan di Karimunjawa dengan mengedepan kebersamaan, lingkungan hidup di Karimunjawa kondisinya jauh lebih baik.

Menurut Bambang, pada 2017 mulai terlihat eksploitasi besar-besaran lingkungan untuk tambak udang di Karimujawa.

"Fenomena tersebut dan dampaknya sudah coba dilaporkan ke DPRD dan Pemerintah Kabupaten setempat, serta ke Balai Taman Nasional, namun tidak mendapat repson yang nyata.," ungkap Bambang.

Pada akhirnya, kata Bambang, kondisi eksploitasi Karimunjawa itu disebarkan melalui media sosial oleh aktivis lingkungan yang bergiat di Karimunjawa, tetapi malah dijerat dengan UU ITE.

Menyikapi kondisi tersebut, Setyawan berpendapat kawasan tambak udang itu di luar kawasan taman nasional, sehingga di luar kewenangannya untuk menindak.

Diakui dia, pada pengelolaan kawasan mangrove juga masih ada problem regulasi, terutama mangrove pada areal penggunaan lain (APL) dan mangrove yang berada di kawasan di luar hutan.

Pemerhati lingkungan Arimbi Heroepoetri berpendapat kasus-kasus hukum terkait lingkungan yang muncul saat ini merupakan puncak gunung es.

Menurut Arimbi kasus hukum terkait lingkungan kerap terjadi disebabkan tidak adanya partisipasi masyarakat dalam proses pembuatannya.

"Terjadinya kriminalisasi terhadap masyarakat adat di sekitar hutan misalny, menggunakan alasan untuk melindungi hutan dari proses perusakan," jelas Arimbi.

Diakui Arimbi ada masalah gap dalam pemahaman hukum antara pemerintah dan masyarakat, sehingga muncul berbagai permasalahan hukum saat ini.

Direktur Pengundangan, Penerjemahan, dan Publikasi Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham Alpius Sarumaha berpendapat bila UU ITE masih dinilai belum memenuhi kebutuhan masyarakat, perlu segera dilakukan penyempurnaannya.

Menurut Alpius, solusi untuk penyempurnaan bisa mulai dengan menggali substansi apa yang kurang dengan melibatkan para pemangku kepentingan.

"Substansi yang dihasilkan bisa ditambahkan dalam bentuk peraturan pemerintah, peraturan presiden, maupun peraturan turunan lainnya," terang Alpius.

Alpius menegaskan Kemenkumham akan membantu memberi solusi melalui tahapan-tahapan legislasi yang ada dalam proses penyempurnaan kebijakan tersebut. (mrk/jpnn)


Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Sutresno Wahyudi, Sutresno Wahyudi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler