JAKARTA - Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD) harus bersumber dari hasil musrembang (musyawarah perencanaan pembangunan) di tingkat kelurahan. Pasalnya, banyak daerah yang RAPBD-nya disusun tanpa memperhatikan kebutuhan riil masyarakat di lapangan.
"Banyak APBD yang ditetapkan tidak pro masyarakat. Itu kenapa? Karena perencanaannya bukan mewakili aspirasi masyarakat bawah, tapi lebih pada kepentingan elit politik maupun pejabat," kata Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Eko Prasojo di Jakarta, Sabtu (14/1).
Wajar saja kemudian, anggaran habis tapi hasil (outcome) tidak dirasakan masyarakat. Seharusnya, lanjut Eko Prasojo, musrembang dibicarakan di tingkat kelurahan, kemudian hasilnya dibawa ke tingkat kecamatan, dan terakhir di pemkot/pemkab. Hasil dari musrembang itu menjadi bahan RAPBD yang akan dibahas dengan DPRD dan selanjutnya disahkan menjadi APBD.
"Jadi jangan dibalik seperti yang banyak terjadi sekarang. Ditetapkan dulu atas lobi-lobi eksekutif-legislatif baru disosialisasikan ke masyarakat. Jadi peran masyarakat tidak ada, mereka hanya menerima hasilnya saja. Jangan heran kalau kemudian masyarakat tidak menggunakan atau merawat fasilitas yang disediakan pemerintah," tuturnya.
Dia mencontohkan Kota Surabaya. Penyusunan RAPBD-nya bersumber pada hasil musrembang kelurahan. Di dalamnya dijabarkan, apa saja kebutuhan dan prioritas masyarakat selama lima tahun. Misalnya pelatihan pembibitan lele, pembangunan jalan akses ke makam, lampu penerangan jalan, dan pembangunan perpustakaan.
"Jadi ketika program ini tidak bisa diselesaikan tahun ini, akan dimasukkan dalam program pembangunan tahun berikutnya, sehingga terus berkelanjutan," tandasnya. (esy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Aktivis KAMMI Protes Tulisannya Dijiplak Politisi PKB
Redaktur : Tim Redaksi