Dalam wawancara dengan surat kabar asal Lebanon Al-Akhbar yang pro-Assad, Sharaa menyerukan penyelesaian politik secara damai di negaranya. Mantan menteri luar negeri (menlu) Syria itu pun menyatakan bahwa Presiden Assad mungkin tak akan berperan dalam masa depan Syria.
Ini sekaligus semacam pengakuan dari pejabat tertinggi di Syria bahwa rezim Assad mustahil bisa memenangi perang. "Semakin lama, solusi bagi krisis Syria semakin kabur secara politik maupun militer," ujar Sharaa kepada koran yang berpusat di Kota Beirut itu, seperti dilansir Christian Science Monitor.
Dia juga menjawab sikapnya yang ingin menghilangkan kelangsungan politik rezim Assad. "Kita bukan bertempur untuk kelangsungan hidup individu atau sebuah rezim," tuturnya.
Secara tak langsung, tokoh yang menjabat menlu sejak era (almarhum) Presiden Hafez al-Assad (ayah Bashar al-Assad) itu seperti ingin menunjukkan perpecahan sikap di kalangan pemerintah Syria. Assad memilih solusi militer untuk mengakhiri krisis di Syria. Di sisi lain, sejumlah petinggi seperti Sharaa menghendaki penyelesaian secara politis.
Tetapi, dia juga menolak keterlibatan pihak lain dalam upaya mengakhiri konflik Syria. "Baik oposisi maupun rezim tidak punya hak ekslusif untuk mendikte masa depan Syria," tegasnya.
Menurut Sharaa, kedua kubu harus mau menahan diri dan kompromi untuk merumuskan solusi damai. Kompromi tersebut, lanjut dia, harus mencantumkan kesediaan kedua belah pihak untuk menghentikan segala bentuk kekerasan. Selanjutnya, mereka harus membentuk pemerintahan yang bersatu.
Hingga kemarin, pasukan pemerintah dan oposisi masih terlibat pertempuran sengit. Kendati begitu, Sharaa yakin bahwa tidak ada kubu yang akan memenangkan konflik berkepanjangan tersebut.
"Oposisi tidak akan pernah bisa mengakhiri pertempuran ini secara militer, seperti halnya pasukan keamanan dan militer yang tidak akan pernah bisa meraih kemenangan," ujar tokoh yang pernah dikabarkan dikucilkan rezim Assad itu. Dia pun mengimbau oposisi dan rezim mengakhiri konflik lewat perundingan.
Dalam perkembangan lain, oposisi justru sukses merebut pangkalan militer yang juga menjadi benteng pertahanan pasukan pemerintah di Kota Aleppo. Hanano Barracks merupakan pangkalan militer kedua yang jatuh ke tangan oposisi dalam sepekan terakhir. "Brigade al-Tauhid telah membebaskan fasilitas militer di Aleppo dari tangan rezim," klaim salah satu elemen oposisi itu dalam situsnya.
Penguasaan pangkalan yang menjadi pusat rekrutmen serta sekolah militer itu terjadi Sabtu lalu (15/12). Namun, Brigade al-Tauhid baru mengunggahnya secara resmi pada Senin lalu (17/12). Dalam pertempuran sengit di Aleppo itu, seorang komandan brigade terbesar di Aleppo tersebut tewas. Jenazah Kolonel Youssef al-Jader tampak bersimbah darah di tengah pertempuran.
Oposisi juga merebut dan menduduki akademi militer Syria di Tal Sheer, Provinsi Aleppo, Minggu lalu (16/12). Serangan oposisi tak hanya memorak-porandakan tempat pelatihan militer itu. Sejumlah personel militer Syria tewas. Jenazah mereka tergeletak di halaman akademi dan hanya ditutupi selimut.
Pada saat yang sama, jet tempur pemerintah Syria juga melancarkan serangan udara di Damaskus dan sekitarnya. Syrian Observatory for Human Rights (SOHR) menyebut, serangan terbaru itu sengaja menarget kawasan pinggiran selatan ibu kota.
Enam serangan mendarat di kawasan Hajar Aswad dan Kamp Yarmouk yang merupakan wilayah hunian warga Palestina. "Sedikitnya, delapan orang tewas dalam serangan di Kamp Yarmouk," terang jubir SOHR.
Serangan itu juga membuat belasan orang lain terluka. Rata-rata, mereka luka karena kena serpihan rudal atau peluru. Sedangkan kontak fisik pasukan pemerintah dan oposisi pasca-serangan udara tersebut merenggut sedikitnya tiga nyawa.
Sementara itu, dunia internasional mulai mencemaskan penggunaan senjata berat oleh kedua pihak yang berkonflik di Syria. Belakangan, oposisi juga menggunakan berbagai senjata canggih dalam melakukan perlawanan. Itu terjadi setelah mereka beberapa kali merebut gudang senjata milik militer Syria dan membajak tank serta kendaraan pasukan pemerintah.
Amerika Serikat (AS) khawatir senjata-senjata modern itu jatuh ke tangan pihak yang tidak bertanggung jawab. Pasalnya, ada elemen oposisi Syria yang dinilai berpaham radikal. Washington bahkan tidak mau mengakui kelompok itu sebagai bagian dari oposisi dan cenderung menyebut Front al-Nusra sebagai organisasi teroris.
Tidak hanya sukses merebut senjata dari militer Syria, oposisi pun mendapat pasokan senjata dari negara-negara tetangga. Misalnya, senapan serbu otomatis AK-47, granat berpeluncur roket (RPG), dan rudal yang bisa membidik pesawat dari darat. Karena meningkatnya koleksi senjata oposisi itulah, rezim Assad diduga mengerahkan rudal Scud belakangan ini. (AP/AFP/RTR/hep/dwi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mal Ramai Pengunjung, Pria AS Lepaskan 50 Tembakan di Areal Parkir
Redaktur : Tim Redaksi