Ini adalah keempat kalinya warga Indonesia di Melbourne, Victoria, Australia kembali harus menjalani 'lockdown'. Sebagian di antara mereka mengatakan pengalaman ini telah membuka mata akan "kegagalan" Pemerintah Victoria dalam menangani pandemi COVID-19.

Pemerintah Victoria kembali memberlakukan 'lockdown' pada 27 Mei tengah malam untuk menekan angka kasus COVID-19, yang jumlahnya hingga hari ini sudah mencapai 65 dari 360 titik penularan.

BACA JUGA: Demonstran Pendukung Papua Merdeka Desak Australia Setop Menjual Senjata ke Indonesia

'Lockdown' tersebut resmi diperpanjang sejak Kamis tengah malam lalu (03/06) hingga satu minggu ke depan.

Beberapa bulan terakhir sebelum 'lockdown', lembaran kertas berisi kode QR untuk pelacakan kontak sering ditemukan di dinding pintu masuk tempat umum, seperti pasar swalayan, restoran, hingga bioskop di Melbourne.

BACA JUGA: Varian Delta COVID-19 Asal India Ditemukan Pertama Kali Lewat Penularan Lokal di Australia

Namun jarang dihiraukan oleh para pengunjung, seperti banyak dilaporkan.

Dalam praktiknya, hanya ada beberapa tempat yang memastikan pengunjung mereka menggunakan sistem tersebut, karena sifatnya yang tidak diwajibkan hingga Jumat lalu (28/05), saat Melbourne sudah mencatat 35 kasus aktif COVID-19.

BACA JUGA: Berikut Deretan Kabupaten/Kota yang Berpindah Status Menjadi Zona Merah

Sistem kode QR hanya 'seperti aksesori'

Harry Lim, warga Indonesia yang tinggal di kawasan Mount Waverley, mengaku bingung mengapa sistem pelacakan yang sudah berlaku sejak akhir November 2020 tersebut tidak dari dulu diwajibkan.

"Sebelum itu seperti aksesori saja, kenapa setelah pengalaman tahun lalu mereka enggak siap sistemnya?" kata Harry.

Menurutnya, bila dibandingkan dengan negara bagian lainnya di Australia, sistem pengendalian pandemi yang dilakukan Pemerintah Victoria termasuk "tidak kompeten".

"Mengapa state [negara bagian] lain ada lockdown tapi secara singkat dan mereka bisa mengaturnya?" kata Harry.

"Karena mereka itu semuanya sudah siap, contact tracer [pelacak kontak] segala sudah jelas," kata spesialis listrik yang sudah tinggal di Melbourne sejak 2010 tersebut.

Harry juga mengeluhkan sistem 'booking' jadwal vaksinasi di Victoria, yang sudah diterbitkan walau masih dalam mode "uji coba".

Situs tersebut sempat mengalami gangguan teknis setelah menerima lebih dari 77.000 panggilan dalam waktu 15 menit.

"Mengapa website dalam test mode [uji coba] bisa diterbitkan secara umum? Dan saya sempat booking tapi setelah itu, dikatakan situsnya maintenance [masih dalam perbaikan]," kata Harry yang berharap akan divaksinasi sesuai jadwal minggu depan.

Pemikiran bahwa Melbourne "gagal belajar dari negara bagian lain" belakangan ini menjadi topik hangat, terutama berkaitan dengan sistem kode QR untuk pelacakan.

Menurut penelusuran The Guardian, aplikasi pelacakan kontak Victoria memang mencatat jumlah 'check-in' yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan negara bagian lainnya.

Dari tanggal 13 hingga 31 Mei, Victoria hanya mencatat 18 juta 'check-in', sementara aplikasi pelacakan kontak NSW memiliki 50,6 juta jumlah 'check-in'.

Sementara itu, aplikasi pelacakan kontak di Queensland mencatat 45 juta 'check-in' dari akhir Februari hingga bulan Mei.

Mulai hari ini (04/06), semua bisnis di Victoria harus memastikan pengunjungnya memindai kode QR pelacakan, agar tidak dijatuhkan hukuman denda mencapai A$1,652 (Rp18 juta).

Karena diberlakukannya 'lockdown', beberapa tempat seperti salon, bioskop, taman hiburan terpaksa harus tutup, dan jumlah orang di pasar swalayan pun dibatasi.

Akibatnya, kesempatan kerja pun hilang bagi beberapa warga Melbourne, khususnya para pekerja lepas atau kasual.

Meski termasuk dalam golongan 'essential worker' atau pekerja di sektor penting, Harry memiliki kekhawatiran lain terkait situasi warga lainnya di tengah 'lockdown'.

"Saya tetap kerja normal, kerja di lapangan, secara umum tidak terpengaruh baik secara income [pendapatan] atau pekerjaan," ujarnya kepada Natasya Salim dari ABC. 

"Tapi kasihan mereka-mereka yang small business [memiliki bisnis kecil], kerja di hospitality [perhotelan], itu kasihan sekali," katanya. Pemerintah antar negara bagian saling 'menuding'

Kekhawatiran Harry dialami langsung oleh keluarga Diana Senjaya yang tinggal di kawasan Wyndham Vale, 542 kilometer dari pusat kota Melbourne.

Bisnis sewa peralatan suami Diana kehilangan sebagian besar pelanggan mereka yang berasal dari negara bagian lain atau daerah pedalaman, akibat 'lockdown' dan ditutupnya perbatasan antar negara bagian.

"Kami menerima banyak pembatalan dari segi penjualan karena para pelanggan tidak dapat datang [ke Melbourne] sekarang," ujar Diana. 

"Yang tadinya akan kami berikan layanan pemasangan juga kami harus batalkan," tambahnya yang bekerja sebagai 'business analyst' sebuah perusahaan listrik dan gas, dari rumah.

"Kekhawatiran saya dari segi keuangan sih."

Di tengah 'lockdown', Diana harus mengawasi kedua anaknya ketika mengikuti kegiatan belajar-mengajar secara 'online' di tengah banyaknya rapat kerja.

Menurutnya, "ada yang salah" dalam cara pemerintah Australia menangani pandemi COVID-19, yang mungkin secara tidak langsung menyebabkan 'lockdown' keempat ini.

"Kalau saya bilang kurangnya kerja sama antar negara bagian, mulai dari kurangnya konsistensi kualitas sistem karantina mereka, juga [faktor] dukungan dari pemerintah pusat," katanya.

Selain itu, perempuan yang sudah 11 tahun tinggal di Australia ini juga merasa kalau pemerintah antar negara bagian sering "saling tuding-menuding" kesalahan, bahkan ketika 'lockdown' sudah berlangsung.

"Sebagai warga, karena percaya pada pemerintah, kami ingin lebih melihat usaha mereka dalam memperbaiki situasi. Sepertinya mereka terlalu banyak menghabiskan tenaga untuk menjelaskan 'why this should not be on us'," katanya. Pelonggaran aturan di pedalaman Victoria 'berita baik'

Sementara itu, mulai hari ini (04/06), aturan 'lockdown' telah dilonggarkan di daerah regional Victoria yang mencatat nol kasus aktif.

Ini menjadi berita baik bagi Rebeca Kuncoro, yang tinggal di Ballarat, Victoria bersama suaminya.

"Itu kebijakan yang sangat baik sih ... karena memang kasihan kan untuk toko-toko yang selama ini kalau lockdown yang benar-benar buka cuma untuk esensial sekali," ujarnya.

"Sedangkan sebenarnya kasihan kalau tidak ada kasus tapi toko-tokonya pada tutup," kata Rebeca.

Walau demikian, kebijakan 'lockdown'  telah menunda jadwal ujian penyetaraan kedokteran yang seharusnya dilakukan oleh Rebeca di kota Melbourne.

Rebeca juga tidak bisa melakukan kunjungan rutin bulanan untuk berjumpa dengan teman gerejanya.

Bila membandingkan dengan pengalamannya di Sydney awal tahun lalu, Rebeca memang sudah menyadari seberapa ketat prosedur pelacakan kontak di sana.

"Waktu saya ke Sydney, kerasa banget. Waktu itu sudah tidak ada kasus sama sekali, cuma [kami] benar-benar ditungguin sampai semua harus scan satu per satu. Dan ada waktu check out juga," katanya.

"Jadi pelacakan kontaknya cepat."

Namun menanggapi sejumlah kritikan di media terkait 'lockdown' yang keempat kalinya, pejabat sementara Menteri Utama negara bagian Victoria, James Merlino mengatakan "tidak memiliki pilihan lain selain menerima saran dari kepala petunjuk kesehatan".

"Jika kita tidak melakukan ini [lockdown], COVID akan tetap dapat menyebar ... varian yang mengkhawatirkan ini nantinya tidak akan bisa dikendalikan dan orang-orang akan meninggal."

BACA ARTIKEL LAINNYA... Letjen Ganip Blusukan dan Sosialisasi Prokes di Pasar Bitingan

Berita Terkait