“Kapolres tidak ada suaranya sama sekali. Hanya bupati yang menyampaikan hasilnya,” katanya, sambil menegaskan, kalau kapolres angkat bicara, maka dipertegas bahwa kapolres tidak bisa menyelesaikan masalah tersebut. “Paling kami katakan, dia (kapolres) tidak bisa menyelesaikan, mau bicara,” ujarnya.
Bahkan ketika ingin ditemui wartawan, kapolres enggan dan mewakilkan kepada Wakapolres Tabalong Kompol Iwan Surya. “Tidak ada. Pokoknya tidak ada,” kata Iwan, menegaskan taruhan jabatan yang dijanjikan kapolres saat pertemuan dengan warga dayak 14 hari lalu.
Sementara itu, hasil pertemuan tertutup di aula tengah mapolres diputuskan tuntutan warga ditolak. Dimana sudah disekapati seluruh forum koordinasi pimpinan daerah, terdiri dari Bupati Tabalong H Rachman Ramsyi, Kajari Tanjung Aksyam, Ketua Pengadilan Negeri Tanjung, Didik Jatmiko, Kepala BPN Tanjung Syarwani dan kapolres, tanpa perwakilan Adaro, di hadapan sembilan perwakilan warga.
Dalam kutipan berkas tertulis hasil keputusan tuntutan yang diberikan ke wartawan, alasan petinggi daerah itu dikarenakan permasalahan tanah ulayat yang diajukan warga dayak melalui Rully Ananda dan Ardiansyah sebagai perwakilan, kepada Adaro tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Agraria melalui Kepala BPN Nomor 5 tahun 1999 tentang pedoman penyelesaian masalah hak ulayat masyarakat hukum adat dan proses pembuktian melalui jalur hukum sesuai aturan yang berlaku harus tetap berjalan.
Selebihnya, perusahaan harus tetap peroperasi dan berjalan tanpa ada gangguan, dimana masyarakat serta pemerintah daerah dan instansi terkait harus bersama-sama menjaga sebagai asset daerah, asset Negara dan objek vital nasional. Ditambah, ajuan program Community Development (CSR) Adaro sebagai pengganti tuntutan segera dilaksanakan. Selain juga warga dayak harus membentuk tim pengusul program CSR, dalam rangka membahas program tersebut, sehingga bisa direalisasikan.
Semua hasil kesepakatan tersebut atas petunjuk Pemerintah Provinsi Kalsel saat melakukan kunjungan ke Tabalong beberapa waktu lalu, untuk membahas permasalahan itu.
Mengetahui hasilnya demikian, sembilan perwakilan warga pun keluar ruangan dengan kecewa dan langsung meminta ratusan warga dayak yang sudah menunggu di halaman depan mapolres untuk pergi pulang ke kampung mereka, Desa Kembang Kuning, Kecamatan Upau.
“Saya minta kita semua kembali ke kampung dulu, baru saya umumkan hasilnya. Kita pertemuan dulu, baru tentukan langkah selanjutnya,” kata Ardiansyah, perwakilan warga sambil meminta seluruh rekannya menjauh dari mapolres.
Melihat respon warga yang sempat berkerumun, mendengarkan rekannya, puluhan anggota polisi yang tidak kalah banyak dengan warga langsung berjajar di depan kantor mapolres untuk menghadang, jika terjadi bentrok.
Polisi-polisi penjaga sudah mengenakan peralatan pelindung tangan dan membawa pentungan bersiap dengan berjajar di depan kantor mapolres untuk menahan masa. Peralatan lainya, seperti tameng dan helm pun bahkan terlihat siap digunakan, meski tersusun rapi tidak jauh dari mereka.
Untung saja, situasi bisa dikendalikan dan suasana pun kembali normal tanpa ada tindak kekerasan. Pasalnya, perwakilan warga bisa mengimbau untuk meninggalkan mapolres.
Merasa tidak memihak mereka, warga dayak memutuskan melakukan aksinya menutup tambang kembali, sesuai komitmen awal. Lahan seluas 706 hektare di Desa Lok Batu Kecamatan Haruai atau KM 79 jalur pengangkut batu bara Adaro, ditutup.
Dari pantauan Radar Banjarmasin (JPNN Grup), penutupan jalur dilakukan dengan menggunakan tali rotan kembali. Hanya saja, tidak seperti penutupan awal menggunakan matera dan upacara adat.
Meskipun begitu, sebagian besar warga membawa senjata tajam berupa Mandau. Tidak lupa beberapa ateribut khas dayak dikenakan.
“Rencananya kami akan tutup tambang ini satu bulan. Selebihnya, akan kami bagi ke warga kembali untuk dibuat kebun atau terserah mereka,” jelas Matius, ketika menutup jalur tambang.
Pun begitu, warga dayak diminta tidak melakukan tindakan kekerasan dan kriminal. “Paling tidak kami akan mengeluarkan alat berat yang ada di lahan kami keluar. Jangan ada yang beraktivitas di sana,” imbuhnya.
“Kami berbuat ini karena kami merasa tanah kami dianggap tidak ada. Jadi kami menuntut hak. Hak ulayat milik warga dayak,” cetus Ardiansyah, di tengah tambang Adaro. (ibn/fuz/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ryan si Penjagal dari Jombang, Menari Topeng
Redaktur : Tim Redaksi