Selama pandemi COVID-19, rencana untuk memesan tiket untuk pulang ke kampung halaman di Indonesia menjadi sebuah "trauma" bagi Anggia Edi yang tinggal di Jerman.
"Budget yang sudah kita tentukan, cuti yang sudah kita rencanakan jadi berantakan," ujar Gigi, panggilan akrab Anggia.
BACA JUGA: Hong Kong Larang Penerbangan dari Amerika, Inggris dan Australia
"Jadi jatuhnya marah, kesel, ... enggak tahu tiketnya bisa di refund dengan secepat itu apa enggak."
Setelah menggelar rapat terbatas pada 3 Januari lalu, Pemerintah Indonesia menetapkan waktu karantina bagi kedatangan luar negeri menjadi tujuh dan 10 hari.
BACA JUGA: Indonesia Setop Ekspor Batu Bara, Australia Berpeluang Cuan Besar
Padahal dua hari sebelumnya, Pemerintah Indonesia menetapkan aturan karantina 10 dan 14 hari tergantung negara asal, sebagaimana tertulis dalam SK Ketua Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Nomor 1 Tahun 2022.
Gigi terakhir kali bertemu keluarga besarnya di Indonesia pada tahun 2016. Ia pernah berniat pulang di tahun 2020, tapi rencana untuk pulang ke rumahnya di Sumatera Barat gagal karena terus berubahnya aturan karantina Indonesia.
BACA JUGA: Cara Taklukkan Covid-19, Ini Saran Bu Mega
Di Jerman, Gigi bekerja sebagai perawat rumah sakit, yang di saat pandemi COVID-19 sedang sangat dibutuhkan.
Karenanya, ia harus punya alasan kuat jika ingin mengajukan cuti maksimal tiga minggu dan butuh perencanaan yang baik.
"[Pulang] buat kita kan bukan buat konten, bukan buat likes Instagram. Enggak sama sekali," ujar Gigi menyuarakan kekecewaan diaspora Indonesia lainnya di Jerman.
"Kita cuma pengen pulang, kangen-kangenan, pengen peluk, merasakan suasana itu lagi. Itu saja sulit banget." Karantina 'bukan seperti masuk di penjara'
Sejauh ini, SK Ketua Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Nomor 1 Tahun 2022 memperuntukan tempat karantina pusat, yang bebas biaya bagi empat kelompok warga negara Indonesia sebagai pelaku perjalanan dari luar negeri.
Kelompok tersebut di antaranya adalah Pekerja Migran Indonesia (PMI), pelajar atau mahasiswa yang kembali setelah menamatkan pendidikan di luar negeri, dan pegawai pemerintah setelah melaksanakan perjalanan dinas ke luar negeri.
Gigi berharap agar ada keringanan aturan karantina bagi warga Indonesia di luar negeri yang tidak termasuk dalam kelompok tersebut, apalagi bila sudah menerima vaksinasi penuh.
"Semoga pemerintah punya sedikit kelonggaran untuk kami. Kami sudah divaksin, kami siap untuk PCR test jika sampai di sana," katanya.
Ia juga berharap jika karantina bisa dilakukan di rumah masing-masing.
"Dan kami juga siap kalau misalnya karantina di rumah sendiri, lapor setiap hari kalau kami tidak ke mana-mana, atau ditelepon dari dinas kesehatan Indonesia setiap hari untuk tahu kami di mana, video call, terserah yang penting kami di rumah."
Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI), Masdalina Pane mendukung ide karantina mandiri di rumah bagi pelaku perjalanan luar negeri yang datang ke Indonesia.
Menurutnya, karantina mandiri merupakan "hal yang lazim" dan tidak semua aspeknya harus dilakukan oleh Pemerintah.
Tapi ia mengatakan Pemerintah tetap memiliki tugas untuk mengawasi dan memantau kondisi kesehatan mereka menjalankan karantina di rumah, seperti yang dilakukan di negara-negara lain.
"Kalau memang bisa dilakukan di rumah dan sistem karantinanya cukup baik, sebenarnya Pemerintah tidak perlu turun tangan dengan sangat ketat seperti sekarang," katanya.
"Jadi karantina itu proses humanis sebenarnya, bukan proses seperti masuk di penjara. Tapi yang terpenting adalah sistem kita itu mampu untuk melakukan tracking pada mereka."
Sistem karantina mandiri di rumah sudah diberlakukan bagi pelaku perjalanan internasional yang tiba di beberapa negara seperti Australia, Jerman, dan Inggris.
Masdalina mengatakan karantina, yang secara teori diperuntukan bagi mereka yang belum positif COVID-19, seharusnya memungkinkan pihak bersangkutan untuk tetap bisa beraktivitas dengan catatan mereka tetap menjaga jarak dan tidak mengunjungi sarana publik.
Menurutnya, sistem 'neighbourhood' yang melibatkan RT-RW di sekitar rumah ditambah dengan penggunaan aplikasi pelacakan dengan maksimal memungkinkan ini terjadi.
Namun, disiplin penggunaan aplikasi pelacakan Peduli Lindungi yang menurutnya masih "naik-turun" dan sistem QR code yang "tidak konsisten di tempat publik" menjadi permasalahan lain. Apakah kebijakan karantina tujuh sampai 10 hari masuk akal?
Epidemiolog dari Griffith University, Dr Dicky Budiman, mengatakan situasi pandemi yang begitu dinamis dan tidak terprediksi bukanlah menjadi alasan jika kebijakan bisa diubah tiba-tiba.
"Untuk kebijakan penerapannya harus ada waktu … dan tentunya semua itu harus ada landasan yang kuat, bukan hanya karena misalnya di Amerika kasus COVID mengurang, kita ikut," ujarnya.
Menurutnya yang harus dilihat adalah kondisi pandemi di Indonesia sendiri selain juga pendekatan sains.
Dr Dicky mengatakan sebenarnya masa karantina 14 hari "menjadi sangat disarankan" bila melihat beberapa penelitian yang menyatakan masa inkubasi varian Omicron mencapai setidaknya lima sampai enam hari, dengan "97 persen data [orang yang terinfeksi] mulai menunjukkan gejala di hari ke-11 atau 12".
"Kalau pun sekarang misalnya dianggap akan diperpendek lagi, menurut saya harus ada penguatan," katanya.
Ini karena bila membicarakan ancaman, "kita harus betul-betul harus memperkuat respon, dalam hal ini karantina dan isolasi adalah setengah dari respon itu," ujar Dr Dicky.
"Tujuh hari boleh aja atau 10 hari, dengan catatan ada vaksinasi penuh bahkan booster dan dua tes negatif dalam 24 jam jeda menjadi sangat penting."
BACA ARTIKEL LAINNYA... Visa Novak Djokovic Dibatalkan Setelah Menunggu Berjam-jam di Bandara Melbourne