Andrea Vincita sudah setahun tidak bertemu keluarganya di Indonesia.

Andrea yang kerja di bidang informasi teknologi di Brisbane meninggalkan keluarganya di Jakarta untuk pindah ke Australia di tahun 2013.

BACA JUGA: Warga Indonesia Ikut Sukseskan Penggunaan Tenaga Surya di Australia Selatan

Sekarang ia mengaku pasrah karena hanya bisa bertemu keluarganya secara virtual, lewat kirim pesan atau video call.

Apalagi karena perbataasan Australia yang belum pasti kapan dibuka, Andrea semakin berharap vaksin akan segera ada.

BACA JUGA: Warga Indonesia di Melbourne Memanfaatkan Tes dan Isolasi COVID-19 demi Insentif AUD 450

"Saya tahu ini mungkin masih lama karena perlu disebarluaskan ke seluruh dunia," katanya.

"Keluarga saya juga harus divaksinasi di Indonesia, jadi saya merasa tidak aman dan nyaman untuk ketemu langsung sampai ada vaksin, bahkan jika perbatasannya dibuka."

BACA JUGA: Melbourne Rayakan Dua Hari Nol Kasus COVID-19

"Saya menantikan adanya vaksin agar kita bisa aman lagi."

Andrea yang mengaku dirinya sangat pro-vaksin, termasuk satu dari mayoritas warga Australia yang mengatakan siap dan bersedia menerima suntikan vaksin. Tak semua merasa vaksin aman

Tapi saat pencarian vaksin COVID-19 masih terus dilakukan dan para peneliti juga perusahaan farmasi berusaha cepat melakukannya, ada beberapa komunitas tidak begitu yakin jika mereka mau disuntik.

Data eksklusif yang dihimpun ABC menunjukkan ada keraguan dari banyak orang yang mempertanyakan apakah vaksin COVID-19 itu aman.

Sekitar 70 persen dari survei yang dilakukan terhadap 2.000 orang di Australia merasa vaksin COVID-19 akan aman dan sekitar 12 persen menunjukkan keraguannya untuk disuntik bila vaksin tersedia.

Survei terhadap 2.000 orang di Australia dilakukan oleh Vox Pop Labs untuk ABC pada akhir September lalu.

Julie Leask, seorang ilmuwan sosial di University of Sydney yang khusus meneliti vaksin mengatakan data tersebut menunjukkan kondisi yang "cukup sudah terprediksi".

"Mayoritas warga Australia bersedia menerima vaksin COVID-19, sehingga sudah lebih dari setengahnya," katanya.

"Akan [selalu] ada sejumlah orang yang sedikit berhati-hati dan mereka ingin mempelajari lebih lanjut tentang vaksin sebelum mereka disuntik."

"Kemudian ada sejumlah kecil yang akan selalu menentang vaksinasi." Photo: Profesor Julie mengatakan penerimaan soal vaksin sangatlah beragam, komposisi antara yang setuju dan tidak berbeda tipis. (ABC News: Brendan Esposito)

 

Profesor Leask, yang telah mempelajari tren vaksin selama lebih dari dua dekade, mengatakan Australia dan dunia berada pada "waktu yang genting sekarang ini". Seberapa aman vaksin COVID-19?

Bulan lalu, Perdana Menteri Australia, Scott Morrison terpaksa membalikkan pernyataannya yang mengatakan akan mewajibkan suntik vaksin virus korona, yang kemudian ditentang kelompok anti-vaksin.

Meskipun tidak ada jaminan vaksin COVID-19 akan berhasil, atau bahkan disetujui, para ahli telah meminta politisi dan pemerintah untuk tetap berpegang pada sains untuk memastikan agar proses vaksin bisa lancar.

"Secara ilmiah, untuk memperlambat virus ini dan menyebar ke seluruh populasi, kami membutuhkan kekebalan di kalangan warga sebanyak 60 persen," kata Tony Cunningham, pendiri Westmead Institute dan pakar vaksin .

"Penduduk harus diyakinkan akan keselamatan. Itu yang penting." Photo: Tony Cunningham dari Westmead Institute mengatakan belum ada pencarian vaksin yang berlomba-lomba sangat cepat seperti saat ini. (ABC News: Brendan Esposito)

 

Profesor Cunningham, yang telah terlibat dalam penelitian vaksin selama hampir 40 tahun, mengatakan sebagian besar ketidakpastian berasal dari seberapa cepat uji coba keamanan dan kemanjuran vaksin yang sedang dilakukan.

Ia mengatakan uji coba yang biasanya memakan waktu setidaknya empat tahun ini, sekarang dilakukan jadi satu tahun.

Sementara para pengkritik vaksin COVID-19 akan selalu mencari "kesalahan apa pun".

"Ini situasi yang menantang," kata Profesor Cunningham, "seluruh sistem bergerak sangat cepat." Kapan vaksin COVID-19 tersedia masih belum jelas

Secara lokal, Pemerintah Australia telah berulang kali memberikan jaminan jika setiap vaksin COVID-19 harus lulus "proses penilaian dan persetujuan yang ketat" dari badan otoritas.

Meski pencarian vaksin global diubah menjadi senjata politik internasional yang kuat, belum ada vaksin di mana pun di dunia yang lolos uji coba fase ketiga.

Selain menjadi bagian dari inisiatif COVAX — koalisi global untuk penemuan inovasi saat pandemi, Pemerintah Australia telah mendukung potensi vaksin dari University of Queensland (UQ), yang sedang dalam uji coba pada manusia fase pertama dan akan disetujui pertengahan tahun depan.

Tetapi vaksin yang sedang dikembangkan oleh Oxford University dan perusahaan medis AstraZeneca dianggap oleh para ahli sebagai pelopor.

Vaksin tersebut, yang telah dipesan Pemerintah Australia sebanyak 33,8 juta dosis, sedang dalam proses uji coba tahap ketiga.

Menurut laporan yang diterima ABC, Oxford akan merilis hasil temuan seberapa manjur vaksin tersebut pada lansia dalam hitungan pekan.

CSL, satu-satunya produsen vaksin di Australia, telah meningkatkan teknologinya untuk memproduksi vaksin yang dikembangkan Oxford-AstraZeneca secara lokal dan berada dalam kesepakatan komersial terpisah dengan University of Queensland (UQ) di Brisbane.

Russell Basser dari CSL mengatakan perusahaannya juga secara aktif bekerja sama dengan pemerintah untuk memastikan setiap vaksin diproduksi dengan aman.

"Kami punya tugas besar, itu tanggung jawab yang penting," ujarnya. Photo: Andrea mengatakan telah menantikan pertemuannya dengan keluarganya, termasuk kunjungan keluarganya ke Australia. (ABC News: Stuart Bryce)

 

Sementara itu, di kamar tidurnya di Brisbane, Andrea Vincita berharap uji coba vaksin akan berjalan lancar sehingga dia bisa bersatu kembali dengan keluarganya di Jakarta

Dia mengatakan selama potensi vaksin lolos uji coba fase ketiga, ia akan memiliki "keyakinan penuh" pada vaksin.

"Saya rasa selama semua informasi ditampilkan dengan jelas kepada publik, mudah-mudahan publik cukup percaya."

Diproduksi oleh Erwin Renaldi dari artikel ABC News

BACA ARTIKEL LAINNYA... Syarat Mampu Bahasa Asing Untuk Partner Visa: Wajar atau Tidak Masuk Akal?

Berita Terkait