Dalam pengumuman anggaran federal pada awal Oktober, Pemerintah Australia menyebutkan persyaratan Bahasa Inggris yang harus dipenuhi bagi mereka yang mengajukan 'partner visa'.
Pejabat pelaksana Menteri Imigrasi Australia, Alan Tudge menjelaskan sejumlah rincian dari persyaratan bahasa Inggris bagi mereka yang mengajukan 'partner visa' yang akan mulai berlaku pertengahan tahun 2021.
BACA JUGA: Lockdown Dilonggarkan, Kapan Warga Melbourne Boleh ke Negara Bagian Lain?
"Kami akan meminta pelamar dan sponsor untuk memenuhi kemampuan bahasa Inggris tingkat fungsional atau setidaknya melakukan upaya untuk belajar Bahasa Inggris," jelasnya.
Alan menjelaskan, salah satu upaya yang ia maksud adalah dengan menjalani sekitar 500 jam kelas bahasa Inggris gratis.
BACA JUGA: ULMWP Bentuk UUD Sementara Papua Merdeka, Simak Pernyataan Benny Wenda
Pemerintah Australia menyebut syarat ini sebagai upaya untuk menciptakan "kohesi sosial" atau pembauran sosial.
Antariksa, warga Indonesia yang mulai menetap di Orange, NSW, Australia bersama keluarganya sejak 2019 tidak terdampak persyaratan baru Bahasa Inggris ini.
BACA JUGA: LPSK Gandeng Australia Kembangkan Program Perlindungan Saksi dan Korban
Namun, ia menilai proses aplikasi visa partner yang harus dilaluinya sangat rumit dan melelahkan.
"Paperwork-nya banyak banget dan yang sangat mengganggu sebenarnya bisa sangat personal ... misalnya bukti authenticity [asli] berupa ratusan foto dan ribuan Whatsapp message yang diminta."
"Kami beruntung karena menggunakan jasa lawyer, jadi sangat terbantu. Enggak terbayang kalau harus mengurus sendiri, apalagi ditambah syarat Bahasa Inggris," ujar Antariksa.
Meskipun memahami pentingnya penguasaan Bahasa Inggris sebagai bekal untuk tinggal di Australia, Antariksa tidak setuju jika klausul tersebut dijadikan Pemerintah Australia sebagai syarat resmi.
"Menurutku partner visa yang utama adalah otentisitas hubungan di antara dua orang. Hubungan itu mau berjalan seperti apa, dengan bahasa apa, itu bukan urusan negara, itu urusan orang-perorang, Negara nggak perlu ikut campur," kata Antariksa.
Rencana yang memperoleh tanggapan pro dan kontra ini ternyata bukan hal yang baru, setidaknya bagi mereka yang memiliki pasangan dan memilih menetap di negara-negara Eropa Barat. Photo: Setelah lulus ujian kemampuan Bahasa Belanda tingkat dasar di Indonesia, Tatty masih harus menempuh ujian lanjutan di Belanda. (Supplied.)
Saat memulai relasinya dengan sang suami asal Belanda lima tahun lalu, Tatty Jorritsma tahu ia harus mulai belajar Bahasa Belanda.
"Awalnya supaya bisa berkomunikasi dengan suami dan keluarganya, meskipun mereka juga bisa berbahasa Inggris," kata istri Rommert Jorritsma ini.
Namun, niat awal Tatty menjadi pengantar ke langkah besar lainnya.
Ia harus menempuh ujian integrasi warga di Kedutaan Besar Belanda di Jakarta, sebelum berangkat ke Belanda tahun 2019 lalu.
Bukti lulus ujian ini menjadi persyaratan untuk mendapatkan visa masuk Belanda dan izin tinggal sementara untuk jangka waktu panjang (Long Stay Visa atau MVV), tahap sebelum pengajuan izin tinggal (Residence Permit atau VVR). Sempat mengulang ujian Bahasa Belanda Photo: Rommert dan Tatty Jorritsma saat melangsungkan pernikahan di Belanda. (Supplied.)
Materi ujian yang diikuti Tatty terdiri dari pengetahuan umum dasar tentang Belanda dan Bahasa Belanda dasar (level A1), yang meliputi membaca, menulis, mendengar, dan berbicara.
"Materi pengetahuan umumnya juga dalam Bahasa Belanda. Jadi ada 100 gambar yang diperlihatkan di layar komputer, dan di setiap gambar ada pertanyaan mengenai gambar itu. Kita diminta memilih jawaban yang benar," ujar Tatty.
Untuk bisa dinyatakan lulus dan memperoleh sertifikat sebagai syarat MVV, angka minimal yang diperlukan adalah 60 untuk setiap materi.
Ujian ini tidak gratis. Masing-masing materi dalam ujian tersebut punya tarif sendiri yang jika ditotal berjumlah 150 euro.
Jadi, apabila kita tidak lulus di salah satu bagian materi saja, kita hanya harus mengulang dan membayar untuk materi tersebut dan bukan secara keseluruhan.
Pada kesempatan pertama, Tatty gagal memperoleh angka minimal untuk materi berbicara dalam Bahasa Belanda.
"Mungkin karena aksen Sunda saya yang kental dan ujiannya computer-based, artikulasi saya nggak dikenali oleh komputer," kata Tatty kepada Hellena Souisa dari ABC Indonesia.
"Jadi saat ujian ulang, saya memilih kata-kata yang lebih aman untuk aksen saya. Seperti saat ditanya apa warna favorit saya, sebenarnya jawabannya rood (merah), tapi saya jawab saja oranje yang pelafalannya sama dengan Bahasa Indonesia," tambahnya sambil setengah tertawa.
Strateginya berhasil. Tatty dinyatakan lulus dan berhak memperoleh sertifikat dan langsung mengajukan MVV yang disponsori sang suami.
Meski sekarang Tatty sudah bermukim di Belanda, masih ada tujuh ujian lainnya, termasuk Bahasa Belanda tingkat menengah, yang masih harus ditempuhnya sebagai bagian dari syarat pemegang visa partner. Ujian dan kursus gratis dari Pemerintah Perancis Photo: Natalia dan suaminya, Stephane Noel. Syarat sertifikat Bahasa Perancis diperlukan Natalia saat proses perpanjangan visa maupun aplikasi permanent residence. (Supplied.)
Pengalaman yang serupa juga dilakoni Natalia Noel yang dipersunting pria berkewarganegaraan Perancis, Stephane Noel.
Ia sempat gagal dalam ujian Bahasa Perancis dasar yang diikutinya di Kedutaan Perancis Jakarta enam tahun yang lalu.
Padahal, Natalia perlu memperoleh sertifikat kelulusan sebagai syarat mendapatkan visa ke Perancis.
"Saat gagal itu, saya diberi kursus gratis selama 40 jam oleh Kedutaan Perancis untuk memperlancar bahasa saya," ujarnya.
Materi ujian yang dijalani Natalie juga hampir sama dengan Tatty, yakni Bahasa Perancis dasar yang terdiri dari mendengar, menulis, berbicara, dan 10 pertanyaan tentang cara hidup di Perancis.
"Saya juga tidak membayar apa-apa untuk ujiannya. Setelah lulus ujian dan dapat sertifikat, saya langsung apply visa. Kira-kita dua bulan saya menunggu sebelum visanya keluar. Visanya juga gratis dan berlaku untuk satu tahun," kata Natalia. Photo: Natalia di tempat kursus Bahasa Perancis CLPS, bersama dengan teman-teman dari berbagai negara saat mengikuti kelas tingkat dasar. (Supplied.)
Tapi jangan pikir perjuangan Natalia sudah selesai. Setelah ia menginjakkan kaki di Perancis, Natalia masih dihadang beberapa ujian lainnya.
"Tiga bulan sebelum visa saya habis, saya diminta ke Kantor Imigrasi. Di sana saya dicek kesehatan ... kemudian diberi 200 jam gratis untuk kursus Bahasa Perancis sebelum dites lagi," kata Natalia.
Sertifikat tes Bahasa Perancis yang kedua di Perancis ini diperlukan Natalia untuk memperpanjang visanya selama setahun, meskipun masih level dasar.
Terlepas dari syarat untuk memperpanjang visa, Natalia merasa harus mengikuti kursus Bahasa Perancis sebagai bekal sosialisasi dan kerja.
"Saya ikut training Bahasa Perancis dan training kerja sesuai minat saya selama empat bulan. Ini sangat membantu sekali," ucap Natalia.
Di Perancis, setelah tiga tahun usia pernikahan, menurut Natalia, pasangan bisa mengajukan pendaftaran sebagai penduduk tetap yang berlaku selama sepuluh tahun.
"Syaratnya sebenarnya adalah dengan menunjukkan sertifikat Bahasa Perancis tingkat A2 (level menengah) dan dites pengetahuan tentang Perancis," jelas Natalia.
Namun, karena sudah mengikuti pelatihan training Bahasa Perancis untuk bekerja dan punya pengalaman kerja, saat mengajukan aplikasi penduduk tetap, Natalia tidak lagi diminta melampirkan sertifikat A2. Perlu disyaratkan 'supaya lebih bertanggung jawab'
Sama-sama menikah dengan orang Perancis, pengalaman Candra Purnama sedikit berbeda dari Natalia Noel.
Pria asal Aceh yang baru enam bulan lalu tiba di Perancis tidak perlu melalui kursus dan persyaratan Bahasa Perancis.
Candra merasa banyak diberi kemudahan oleh Pemerintah Perancis dalam hal pemberian izin tinggal dan kedatangannya di Perancis karena pertimbangan pandemi.
"Saya menyesal karena benar-benar nggak punya waktu untuk belajar Bahasa Perancis, dan sekarang saya merasa bersalah." Photo: Candra Purnama dan istrinya, Bleuenn Jacq. Candra merasa telah merepotkan keluarga besar istrinya karena tidak bisa berbahasa Perancis. (Supplied.)
"Keluarga istri saya berjuang keras untuk berkomunikasi dengan saya, dan saya rasanya seperti merepotkan," tambahnya.
Menurut Candra, ada baiknya kemampuan bahasa asing tingkat dasar dijadikan syarat sebelum tinggal di negara tujuan.
"Supaya lebih bertanggung jawab. Kalau nggak disyaratkan atau diwajibkan nanti takutnya nggak mau belajar. Padahal kan kita kan komunikasinya di sini nggak cuma sama pasangan," kata Candra.
"Jadi minimal kita bisa belanja atau beli roti sendiri lah, enggak perlu ditemani pasangan terus," tambahnya.
Selain untuk bersosialisasi sehari-hari, Candra merasa syarat kemampuan bahasa penting untuk pendatang seperti dirinya yang juga berniat bekerja di Perancis.
"Saya tahu nggak mudah ya belajar bahasa, apalagi dalam kasus saya kan Bahasa Perancis, jadi nggak seperti Bahasa Inggris yang sudah lebih internasional."
"Tapi ya jangan dijadikan beban. Ini kan perjuangan cinta, disiapkan dan dijalani saja sebaik-baiknya," kata pria berusia 26 tahun ini. Program untuk kesadaran berbudaya di Australia perlu ditingkatkan Photo: Antariksa memahami pentingnya kemampuan berbahasa Inggris, tetapi tidak setuju jika dijadikan sebuah syarat. (Supplied.)
Setelah menunggu 17 bulan, Antariksa akhirnya mendapat visa partner Australia bulan Juli tahun 2020.
Antariksa yang memperistri Edwina Brennan masih berharap Pemerintah Australia punya solusi lain demi asimilasi dan kohesi sosial selain menetapkan syarat Bahasa Inggris.
"Kalau ada masalah soal kohesi dan asimilasi [budaya], itu lain soal. Maka harus ada program mendorong kesadaran multikultural di Australia sendiri."
"Di masa lalu ada kurikulum Bahasa Indonesia, dan Bahasa Vietnam yang diganti dengan Bahasa Italia di sekolah setelah sekian tahun, logikanya apa?"
Menurut Antariksa, program-program yang mendorong keterbukaan di tingkat lokal Australia juga harus dilakukan.
"Sehingga kecurigaan-kecurigaan atau cara pandang yang negatif kepada kebudayaan non-Bahasa Inggris itu jadi berkurang. Saya kira masalahnya sebenarnya ada di tingkat itu," tutur Antariksa.
Baik Tatty, Natalia, dan Candra sama-sama menyadari bahwa selain soal hubungan personal dengan pasangan, ada juga unsur komitmen pada negara tempat mereka tinggal dalam wujud visa partner.
"Saya enggak keberatan [syarat kemampuan bahasa] karena menurut saya, ini kan syarat untuk bisa tinggal di negara yang bersangkutan, bukan syarat untuk mengukur sebuah relasi," kata Natalia.
Sementara Tatty merasa semua persyaratan yang dilewatinya di Indonesia pada akhirnya berguna untuk kehidupannya di Belanda yang serba mandiri.
"Kalau ada apa-apa dengan saya saat suami sedang kerja, minimal saya bisa minta tolong tetangga. Jadi wajar kalau negara punya syarat tertentu. Bagi saya, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung," ujar Tatty.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Apakah Tidak Memakai Beha Bisa Berbahaya Bagi Kesehatan Perempuan?