Warga Mekaki Disarankan Tempuh Jalur Perdata

Selasa, 07 Februari 2012 – 21:21 WIB

JAKARTA - Upaya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnasham) untuk memediasi pihak-pihak yang bersengketa dalam terkait tanah di kawasan Teluk Mekaki di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, urung dilakukan. Sebab, pihak PT Teluk Mekaki Indah (TMI) tidak hadir pada pertemuan yang sedianya digelar Selasa (7/2).
 
Alhasil, Komnasham yang diwakili komisionernya, Johny Simanjuntak, hanya memperdalam kasus dengan memintai keterangan anggota Komunitas Masyarakat Adat Pancoran Salat (Kemas Pasal), Desa Pelangan, Sekotong, Lombok Barat. Dalam kesempatan itu Johny justru menyarankan kasus itu diselesaikan lewat jalur perdata.

‘’Nanti kami akan bersurat (kepada PT.TMI) menyarankan agar diselesaikan lewat jalur perdata saja,’’ ujarnya di Komnasham, Selasa (7/2) sore.

Terkait hal ini, kuasa hukum PT. TMI  Agus Kamarman yang dihubungi via telpon menegaskan bahwa pihaknya merasa tidak memiliki persolanan dengan status tanah tersebut. Jika memang harus ada yang menggugat secara perdata, maka pihak warga lah yang harus menggugat. Alasan Agus, pihaknya adalah pemilik sah tanah seluas 500 hektare itu.

‘’Kami adalah pemilik sah tanah ini berdasar SHGB. Jika harus ada gugatan mereka lah yang harus membuktikan kepemilikan tanah yang mereka klaim,’’ ujarnya.

Yang kini dipersoalkannya adalah, surat perlindungan yang diberikan Komnasham kepada Kemas Pasal. PT TMI menilai Komnasham telah melakukan kesalahan karena mengeluarkan surat permohonan perlindungan kepada mereka yang diduga melakukan pengergahan tanah.

‘’Seharusnya sebelum mengeluarkan surat Komnas harus melakukan investigasi dulu ke Lapangan. Jadi kami dirugikan dengan surat itu karenanya kami minta Komnasham segera mencabut atau merevisi surat tersebut,’’ imbuhnya.

Sementara terkait ketidakhadiran PT TMI pada pertemuan bersama di Komnasham, Agus berkilah bahwa pemberitahuan yang diterima terkesan mendadak.

Kasus ini sendiri bermula dari pengosongan lahan permukiman warga di kawasan Mekaki, 1991 silam. Alasannya lahan tersebut oleh Pemda dan Dinas Kehutanan dengan akan dijadikan area konservasi. Sementara warga yang menempati tanah tersebut dikirim sebagai Transmigran ke Donggala, Sulawesi.

Belakangan warga kembali dari daerah transmigrasi sekitar 1997 setelah mendegar kabar lahan permukiman mereka bukan dikonservasi namun telah dimiliki oleh PT.TIM dan akan dijadikan hotel.

Di sinilah perselisihan bermula. Warga merasa punya hak atas tanah sementara perusahaan mengantongi SHGB atas tanah tersebut. Terakhir pada 2008 lalu, seorang warga tewas dan sejumlah lainnya luka luka.

Korban menduga penganiayaan dan pembunuhan itu dilakukan oleh orang suruhan PT.TMI. Kini warga keberatan karena belum seluruh dari pelaku penganiayaan dijerat. Terlebih lagi mereka yang diduga terlibat dalam peristiwa itu kini masih berkeliaran dan memberikan ancaman pada warga.

Atas dasar ancaman ini Komnasham pada 17 Januari lalu mengeluarkan surat permohonan perlindungan bagi 20 warga adat  Kemas Pasal. Surat bernomor : 121/K/PMT/I/2012 itu dikeluarkan atas permohonan warga yang merasa terancam oleh aktifitas PT.TIM.(zul/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Taat Bayar UMP, Perusahaan Diusulkan dapat Insentif


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler