Sebagian warga Desa Tumbang Kalang, Kecamatan Antang Kalang, misalnya, banyak yang mendukung kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar Rp 1.500 menjadi Rp 6.000. Dukungan warga itu disebabkan selama ini warga pedalaman tidak pernah menikmati BBM bersubsidi. Harga BBM yang dijual ke warga jauh lebih mahal dari harga eceran pemerintah. Selain itu, BBM juga kerap langka, sehingga warga kesulitan memperolehnya.
“Tidak masalah jika harga bahan bakar minyak dinaikkan menjadi Rp 6.000 per liternya asalkan pendistribusiannya lancar dan kami mudah mendapatkannya,” kata Kepala Desa Tumbang Kalang, Hardy P Hadi kepada Radar Sampit (JPNN Grup).
Hardy menilai, subsidi BBM yang diberikan pemerintah selama ini tidak pernah dirasakan warga pedalaman dan masyarakat miskin. Harga BBM di Desa Tumbang Kalang dijual rata-rata Rp 10.000 baik untuk premium, solar maupun minyak tanah. Bahkan, BBM juga kerap kosong. “Penditribusian BBM disini cukup menyedihkan,” katanya.
Menurut Hardy, BBM bersubsidi selama ini banyak dinikmati oleh kalangan masyarakat menengah ke atas, terutama di perkotaan. Selain itu, BBM bersubsidi juga hanya menguntungkan para pelangsir dan penimbun BBM karena dijual kembali dengan harga yang lebih mahal.
Hasil survei pemerintah menunjukkan, sebanyak 77 persen masyarakat kelas menengah ke atas lebih banyak menikmati BBM bersubsidi. Sementara sisanya merupakan kelompok rumah tangga dengan penghasilan atau pengeluaran per-bulan terendah alias warga menengah ke bawah. Catatan Pertamina, alokasi BBM bersubsidi tahun 2011 sebanyak 41,78 juta kilo liter.
Dari alokasi tersebut, BBM jenis premium menempati urutan tertinggi yakni 61 persen disusul solar 35 persen, dan sisanya minyak tanah. Konsumsi premium sektor darat memperlihatkan, pengguna mobil pribadi dan sepeda motor paling tinggi menggunakan BBM subsidi yakni sebesar 93 persen. Data PPLS (Pendataan Program Perlindungan Sosial) 2008 juga menunjukkan, 99% masyarakat miskin tidak mempunyai sepeda motor, artinya mereka kecil kemungkinan menikmati subsidi BBM berupa premium dan solar.
“BBM bersubsidi hanya sedikit saja yang dinikmati masyarakat kelas bawah, khususnya seperti kami di pedalaman. Selebihnya dikuasai oleh orang kaya. Jadi kalau pun subsidi itu dihapus juga tidak masalah, yang penting kami mudah untuk mendapatkannya,” tegasnya.
Hardy juga mengharapkan agar Pemkab Kotim dapat mendirikan pangkalan BBM di pedalaman agar warga bisa mendapatkan harga BBM dengan harga normal dan tidak jauh berbeda dengan harga di kota. “Kami mendapatkan BBM dari para pelangsir dengan harga yang cukup tinggi. Karena itu, di pedalaman ini perlu dibangun pangkalan minyak,” katanya.
Pengecer BBM ke wilayah pedalaman, Rudy, sebelumnya mengatakan, pihaknya terpaksa menaikkan harga karena akses jalan yang sulit dan jauh dari perkotaan. “Kami menaikkan harga dengan memperhitungkan sulitnya akses menuju wilayah pedalaman,” kata pengecer yang memiliki izin resmi dari Kantor Perizinan Pelayanan Terpadu (KPPT) Kotim ini.
Catatan Radar Sampit, kenaikan harga BBM cukup besar diperkirakan bakal dialami warga di pedalaman atau yang jauh dari Kota. Diperkirakan kenaikan harga bisa mencapai Rp 15 ribu per liter. Junaidi (35) warga Desa Sungai Ubar Mandiri, Kecamatan Cempaga Hulu mengatakan, jika pemerintah menaikkan harga BBM, diperkirakan harganya bisa mencapai Rp 12.000 – Rp 15.000 per liter untuk semua jenis BBM.
Anggota DPRD Kotim, Dewin Marang sebelumnya mengungkapkan, warga pedalaman tidak mempermasalahkan harga BBM yang mahal asalkan BBM selalu tersedia dan mudah didapat. Warga cukup memaklumi karena biaya angkut BBM memang mahal akibat sulitnya akses transportasi.
“Sepanjang minyak itu ada, masyarakat di pedalaman sepertinya tidak mempersoalkan harganya yang mahal asalkan minyak itu selalu tersedia dan mudah didapat. Mereka cukup memaklumi sebab untuk biaya angkut ke sana memang mahal,” kata Dewin baru-baru ini. (ign/fuz/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Wakil Bupati Banyumas Tolak Kenaikan BBM
Redaktur : Tim Redaksi