“Kasus gizi buruk yang ada di Kotim sebenarnya bukan karena makanan, tapi lebih karena penyakit. Penyakit yang diderita karena lingkungan tempat tinggal yang kurang, artinya, pola hidup bersih dan sehat (PHBS) yang kurang, akhirnya timbul penyakit,” kata ahli gizi Kotim, Yuspihani kepada Radar Sampit (JPNN Grup).
Yuspihani menjelaskan, lingkungan yang bersih dan sehat saling berkaitan dengan penyakit gizi buruk. Lingkungan yang kotor dapat menimbulkan penyakit infeksi, sehingga walaupun asupan gizi anak mencukupi, namun infeksi tersebut memengaruhi status gizi anak.
Menurutnya, pemahaman orangtua terhadap asupan gizi anak sebenarnya sudah cukup bagus, artinya sebagian besar orangtua mengerti bagaimana makanan yang baik untuk anaknya. Hanya saja, karena PHBS nya kurang, atau karena ditunjang status ekonomi keluarga yang sulit, sehingga orangtua terkadang tidak bisa menyajikan makanan yang seimbang dan sesuai aturan.
“PHBS yang kurang itu diantaranya, megandalkan air sungai sebagai sumber air sehari-hari dan untuk MCK. Kemudian kebiasaan orang tua yang merokok di dekat anak balita, kebersihan lingkungan tempat tinggal, dan membuang sampah sembarangan, itu semua cukup memengaruhi,” ujarnya.
Yuspihani menambahkan, anak balita yang rentan mengalami gizi buruk biasanya berada di daerah pedesaan atau pedalaman. Pasalnya, sebagian besar warga pedalaman masih mengandalkan air sungai sebagai sumber kehidupan sehari-hari serta pola hidupnya kurang memenuhi standar kesehatan.
Yuspihani mencontohkan, dari kasus yang pernah ditanganinya di Kecamatan Kotabesi, seorang anak yang diserang diare akibat mengandalkan air sungai, menyebabkan berat badan anak turun drastis. Anak yang tadinya status gizinya baik, langsung jatuh ke kasus gizi buruk.
“Karena diare, kemudian dibawa ke RSUD, hanya 2-3 hari berat badannya turun drastis dan jatuh ke gizi buruk, artinya, gizi buruk bukan melulu karena asupan gizi kurang, tapi PHBSnya memengaruhi,” jelasnya.
Dinas Kesehatan Kotim sebelumnya mencatat, jumlah penderita gizi buruk di Kotim selama 2011 lalu sebanyak 11 orang dan 1 orang pada awal tahun ini. Sebaran penderita yakni, masing-masing 1 orang di Desa Ujung Pandaran, Desa Bagendang, Kota Besi, Parenggean, Kuala Kuayan, Desa Sebabi, dan 3 orang di Ketapang, serta Desa Pasir Putih 1 orang.
“Gizi buruk saat ini agak susah dideteksi. Tidak semua posyandu aktif agar deteksi ini bisa dilakukan sedini mungkin melalui penimbangan yang ada, tapi respon masyarakat terhadap keberadaan posyandu sangat kurang,” kata Kepala Dinas Kesehatan Kotim, Yuendri Irawanto.
Menurut Yuendri, karena kurangnya respons masyarakat, pihaknya sering menjumpai kasus gizi buruk dalam keadaan sakit. Setelah dilakukan pemeriksaan dan terdeteksi gizi buruk, baru dilakukan tata laksana.
“Padahal itu bukan keinginan kami. Kami berharap kerjasama dari semua pihak, baik masyarakat maupun lintas sektor, sehingga bisa mengaktifkan kembali posyandu agar kita bisa mendeteksi gizi buruk ini lebih cepat,” tandasnya. (rm-45)
BACA ARTIKEL LAINNYA... PNS Dilarang Diskusi Soal Pilgub
Redaktur : Tim Redaksi