Warga Pemilik Keramba Jaring Apung Siap Alih Profesi

Senin, 02 Mei 2016 – 00:31 WIB
Ribuan keramba jaring apung di Danau Toba. Foto: Metro Siantar/Jawa Pos Group

jpnn.com - JAKARTA -  Warga masyarakat di sekitar Danau Toba yang memiliki usaha peternakan ikan (fish farming) dengan menggunakan Keramba Jaring Apung (KJA) siap alih profesi. Hanya saja, mereka harus mendapatkan modal awal untuk usaha baru dari pemerintah, termasuk pendampingan.

Demikian kesimpulan Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT), berdasar hasil perbincangan salah satu aktivisnya, Johannes Silalahi, dengan sejumlah warga pemilik KJA.
  
Boy Tonggor Siahaan dari YPDT dalam publikasinya menjelaskan, memang warga pemilik KJA dihadapkan pada pilihan sulit, yakni antara mempertahankan mata pencaharian yang menopang hidup keluarga mereka dan melestarikan lingkungan hidup di Danau Toba.

BACA JUGA: Begini Mesranya Pemerintah dengan Buruh di Bandung

“Mereka mengakui bahwa KJA mencemari lingkungan perairan Danau Toba, tetapi di sisi lain mereka juga mengakui keramba dapat meningkatkan pendapatan dan menampung tenaga kerja,” terang Boy Tonggor, menjelaskan hasil “investigasi Johannes Silalahi.

Dijelaskan, Johannes pada Selasa (26/4) menemui sejumlah warga, antara lain di salah satu lapo di Silalahi Nabolak.  

BACA JUGA: Alasan Kota Cilegon Menjadi Inisiator Sail to Krakatau 2016

Dari hasil perbincangan disimpulkan juga, pada awal memulai usaha itu, warga belum menyadari kalau KJA dapat mencemari lingkungan perairan Danau Toba.

“Namun ketika mereka sadar sudah makin jelas melihat bahwa KJA memang mencemari Danau Toba, mereka bingung harus bagaimana. Apakah mereka harus meninggalkan usaha KJA tersebut yang jelas-jelas menopang mata pencarian mereka untuk keluarga atau tetap mempertahankan usaha KJA sementara Danau Toba terus-menerus tercemar karena pelet ikan yang berkontribusi besar merusak kejernihan air Danau Toba (aek natio),” bebernya lagi.

BACA JUGA: Ribuan Peserta Nikmati Sunset di Anak Krakatau, Keren Banget!

Warga, ternyata, juga tidak tahu bahwa ada UU No. 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup. Begitu pun tentang aturan sejenis, baik berbentuk Perpres, Pergub, dan Perda Kabupaten).

“Bahkan menurut mereka, petugas kabupaten terkait pun belum pernah melarang usaha keramba. Belum ada sosialisasi untung-rugi keramba,” ujar Boy.

Dikatakan Boy, secara umum warga mau keramba dihentikan dengan solusi kompensasi usaha yang dapat mempertahankan pendapatan mereka tanpa merusak lingkungan, dengan modal awal dan pendampingan pemerintah.

“Tuntutan mereka cukup wajar. Peran pemerintah daerah sangat penting membantu mereka dalam mencari solusi tersebut,” pungkas Boy.

Diketahui, YPDT merupakan komunitas warga Batak di Jakarta yang memberikan perhatian serius terhadap upaya kelestarian Danau Toba, termasuk menjadikannya sebagai kawasan wisata yang bisa diandalkan. Tidak hanya diskusi, mereka juga melakukan aksi-aksi nyata di lapangan. 

Mereka juga menyoroti keramba jaring apung (KJA) yang semakin banyak jumlahnya di Danau Toba. 

Disebutkan, KJA itu  sudah jelas melanggar UU RI No. 23 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah menjadi UU RI No. 32 Tahun 2009  tentang Perlindungan dan Pengelolan Lingkungan Hidup.

“KJA tersebut sangat jelas telah menyebabkan pencemaran Danau Toba sebagaimana dinyatakan dalam UU RI No. 32 Tahun 2009, khususnya Pasal 1 angka 14 sampai dengan 17,” ujar Sandi Ebenezer Situngkir, Ketua Departemen Hukum dan Agraria YPDT, seperti dalam keterangan yang dipublikasikan lewat situs yang mereka kelola. (sam/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... May Day: Buruh di Bogor Malah Nyanyi Bareng Bupati


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler